Cara pandang bukan hanya beragam, namun sangat dinamis, bahkan pada diri setiap individu. Kita bisa menjumpai hal tersebut pada banyak hal, salah satunya pada diksi "sepeda", akhir-akhir ini.
Kedinamisan yang melekat pada cara pandang, terkadang disalahartikan sebagai ketidak konsistenan atau kelabilan sikap. Padahal jelas-jelas, dinamika selalu mewarnai kehidupan, dari mulai metabolisme tubuh sampai ekosistem pasar global.
"Indonesia memang sudah melaksanakan persatuan, akan tetapi kita belum mewujudkan kesatuan", kata 'orang gila' yang saya temui tahun 2017. Mendengar kalimat itu, saya hanya mengiyakan saja, sambil tetap mendengarkan orang gila tadi ngoceh, sekaligus ngacung-ngacung buku yang ia tulis sendiri, katanya.
Ketika kejadian 2017 tersebut saya ingat-ingat kembali, ternyata ada benarnya juga. Walaupun diksi persatuan dan kesatuan itu perbedaannya betul-betul tipis, akan tetapi, maknanya berbeda 180 derajat. Pertanyaanya, apa yang berbeda?
Jawaban paling mendekati untuk mengudar keberbedaannya, terletak pada frasa; kami bersatu, dan kami satu kesatuan. Letak penekanannya jelas lain.
Syahdan, segala mekanisme untuk menyatu dalam ranah universal, agaknya masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Sebab kesenjangan yang nyata, merupakan biang keladi kerusuhan kesejarahan. Lain cerita, misalnya individu sama-sama sadar, apabila segala macam behavior, tidaklah berdiri pada ruang hampa.
***Banyumas, 7 Juli 2020.
Comments
Post a Comment