Menahan diri dari lapar dan haus barangkali jauh lebih mudah, dari pada menahan diri untuk tidak mencintainya. Apalagi, dirinya adalah bagian yang sempat menyita waktu.
Dirinya pernah menjadi sekuncup bunga, yang amat engkau tunggu masa mekarnya. Betapa tidak halu, menunggu kapan sang bunga merekah harumnya.
Sesaat setelah kerongkongan terbasahi oleh hidangan berbuka, semenjak itulah kerinduan akan temu, menjadi bungkuk mengharap rembulan.
Tidakkah dirimu merasainya, adinda?
Misalnya, pada jumpa kita di malam menjelang ramadhan tahun lalu. Atau, terbesitkah dalam benakmu, pada "ketika" yang sempat menjadi ingatan termanis "kita".
Adinda, bersamaan dengan riuh malam yang paling sepi ini, aku telah sampai pada titik gusar kedirian, yang menjelma atas meta-makna wajahmu.
Disana, ada kata yang begitu mencengkram seisi dada. Katanya, mungkinkah kau aku, menyatu kembali ditengah nada-nada ketaman asmara.
Bah! Adindaku . . .
***Banyumas, 13 Mei 2020.
Comments
Post a Comment