Skip to main content

Korban Virus (1)


Saya kira tidaklah mudah, untuk melewati hari demi hari hanya berteman hape dan buku. Kadangkala, saya juga perlu pergi jalan-jalan, misalnya ke rumah teman atau ke komplek pasar membeli molen dan martabak.

Ketika uang terbatas membeli kretek, maka yang lainnya belum sanggup terbeli, mengingat pekerjaan sebelumnya telah hilang. Sedang, tabungan pun akan habis. Semua terpaksa ditahan, tentu rasanya setengah mati.

Usaha untuk menemukan keseimbangan baru jelas dilakukan. Dari mencari informasi kontekstual di youtube, wa, dan google, sampai bertanya ulang terkait potensi bakat diri. 

Ditengah pencarian keseimbangan baru itu, kabar baiknya datang dari blog saya yang kedapatan sudah bisa menampilkan iklan. Saya bersyukur akan hal itu, walaupun uang yang dihasilkan sementara, belum cukup untuk membayar uang parkir motor di alun-alun. 

Syahdan, kondisi kekinian memang agak sulit untuk beradaptasi. Kita bisa mengingat, bahwa saat sebelum adanya pandemi, tidak semua orang juga bisa beradaptasi, apalagi ditengah pandemi yang mana ruang gerak fisik amat terbatas ini. Ekonomi lumpuh, sekolah pincang, kebudayaan mati suri.

Mungkin saja, alam sedang berpesan kepada penghuninya. Bahwa peradaban itu, sifatnya unik. Bisa jadi, kita tidak lagi menilai kemarjinalan suku baduy, seperti sebelumnya. Pun, pada term negara dunia 1, 2, 3, barangkali tak lagi relevan.

Seperti halnya Darwin mengemukaan, bahwa yang bisa bertahan bukanlah mereka yang pintar, tetapi ia yang selalu siap menghadapi perubahan. 

Hal tersebut ada benarnya, mengingat betapa ada orang yang memilih bunuh diri dari pada menanggung hutang cicilan mobil, sebab pekerjaannya sebagai supir pendapatannya hilang. Dan berbagai contoh lainya, yang betul-betul kerap diluar nalar kita.

Memang, tak ada pilihan lain untuk bersikap gotong royong. Terlebih kepada mereka yang tidak terbiasa, dengan diksi perubahan dan adaptasi. Termasuk saya, beberapa teman-teman, dan mungkin juga Anda yang sedang membaca ini.

Gotong royong yang manusiawi, sebenarnya bukan terletak pada pemberian cuma-cuma uang dan sembako. Akan tetapi, bagaimana kita bisa sama-sama setara, sebagai manusia yang berfikir, tanpa ada yang "diatas" atau "dibawah".

***Banyumas, 11 Mei 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-