Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2020

Mukadimah Arah

Malam tiga puluh Dadaku bak tercelup wangi nirwana, terpeluk hati kedalam sejuknya Malam tiga puluh Bersaksi atas nama gelisah, men-jeda waktu bersanding pasrah Malam tiga puluh Terpapar wajah elegi-nya, parasmu parasmu parasnya Malam tiga puluh Menandai juni berlalu, tersapu debu debu itu  Dan, sampai pagi menyala Parasmu parasmu parasnya, menandai mukadimah-nya arah tema ***Banyumas, 1 Juli 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (6)

Barangkali, yang sampai saat ini masih luput dari perhatian saya, dan mungkin kita semua adalah soal kelegaan menerima. Apabila kita lihat disekitar, banyak sekali terdapat kasus-kasus berat, yang sebenarnya sanggup teratasi secara tidak berat. Misalnya dari mulai pembunuhan, bunuh diri, korupsi, perampokan, kemalingan, pemerkosaan, hamil diluar nikah, narkoba, miras, perceraian, dlsb., hemat saya berakar dari ketidaklegaan batin individu terhadap realitas yang tengah dihadapinya. Pandemi yang tengah melanda sejak beberapa bulan yang lalu, bisa kita simpulkan memberi sumbangsih persoalan baru bagi dunia, untuk juga mengatakan memiliki dampak yang positif pula. Namun, tak sedikit akar soal pandemi ini, memberi pengaruh pada kasus-kasus yang sudah saya sebutkan diatas. Kembali ke term kelegaan batin, bahwa mungkin hal ini tidak kentara sebagai biang keladi kasus-kasus yang tertulis dalam riset-riset, namun itu tidak kemudian menurunkan kepercayaan saya dalam melihat persoalan secara jern...

Perempuan Cisadane (3)

Sertakan semua kesahmu pagi ini, atau kau menangis kemudian Kau manusia, tak lekang oleh luka Katamu, semua sudah berlalu sahaja Kataku, seluruhnya masih tersisa di dada Aku mengerti itu Memahami sepenuhnya, suasana rasa Kau berdiam, bersembunyi diantara keruhnya kita Sedang aku, masih mencumbui kepada Lalu, sementara tak bergumam sapa Dan kita, terlelap tanya Menunggu gulita, setiap paginya ***Purwokerto, 28 Juni 2020.

Perempuan Cisadane (2)

Bentangan jarak me-luang logika, mencari ruang benak cerita Kau disana,  aku dimana Rumit memecah cerita berlumur angka Kita sedang silang hadap Membelakangi gawai bersama, menuai curiga kedepannya Aku mengerti kondisi, kau tidak Dan diantara seluruhnya, teruntai semoga selaksa Bagaimana ini semua, kau bertanya Sedang apa kau kini, aku curiga ***Purwokerto, 28 Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (5)

Format masa depan, hampir selalu menyisakan ambiguitas yang sanggup mengernyitkan kepala. Misteri yang senantiasa melekat padanya, kadangkala bisa menaruh bias kognisi.  Kita bisa memberi tanda koma terhadap sikap, namun tidak pada waktu yang terus berjalan. Rentetan pengalaman pribadi yang terakumulasi dengan fenomenologis publik, menjadi sajian kompilasi yang serba membingungkan. Jalan terjal mungkin pernah terlalui, akan tetapi tidak semuanya sanggup memberi arti. Keharusan memiliki 'nalar belajar', nyatanya tak semudah membicarakannya. Kita kerap kelimpungan, akan hal-hal demikian. Syahdan, ketika manusia ber-sosial, tetap saja ia tengah menempuh ruang sunyinya. Walaupun secara eksistensial, ia terkoneksi dengan sekitaran.  Maka tak heran, Jung pernah membeber terkait Psychology and Religion, 1938. Yang disana, ia memberikan penegasan bahwa, jiwa manusia memiliki bawaan imanen.  Dan itulah, background terpenting dalam menempuh jalur sutra, masa keakanan. Dimana kesada...

Menuju Pagi Menyulam Sepi

Menuju pagi, tergeletak cadas ramai yang letih Buyar mimpi terkelupas lemas Menuju pagi, ragam wajah membuncah lelah Sisi lain hidup, mengulang sisa sejarah Menuju pagi, Sayup bibir sang pujanga Iramanya, melambat pekak Menuju pagi, tepian surga bias melugas Getar kaca jendela, menegur hati berkala Sampai pada akhirnya, terpisah nada-nada  Mereka, berkutat lekat penat diujung mata merampas bunga ***Cilacap, 22 Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (5)

Masa depan yang sejatinya memiliki sifat privat-personal dengan Tuhan, bukanlah hal yang sama sekali tabu. Walaupun masa depan memuat sisi yang misteri, akan tetapi kita bisa melihat disekitaran-orang terdekat, betapa banyak mata kita diperlihatkan dengan orang-orang yang dulunya menekuni bidang A, kini banting haluan ke bidang X. Dalam rangka me-waspadai kemelencengan jalur karir, maka sikap fokus adalah kuncinya. Sekalipun distraksi selalu muncul setiap hari, bahkan permenitnya. Kuda-kuda fokus memang berat, apalagi jika keadaan berubah amat cepat seperti akhir-akhir ini, yang kerap menelan format idealitas-konkret. Satu-satunya rahasia umum yang berlaku untuk menghadapi misteria masa keakanan, adalah keimanan terhadap yang Maha mengerti rahasia.  Jalan berserah, menjadi term logis, untuk tetap melangsungkan misi kekhalifahan, dengan tetap menaruh kesiapsiagaan atas nama kepastian perubahan. ***Cilacap, 21Juni 2020.

Pusaran Relasi Absurditas (4)

Frekuensi komunal, pasti selalu berakar dari koherensi tematik. Hal-hal yang berkelindan didalamnya, ada banyal hal. Utamanya, perihal hubungan. Hubungan mengandung arti keterkaitan antara dua hal atau lebih, yang bertolak dari term "saling" pragmatikal, dan atau simbiosis mutualisme. Hubungan memiliki korelasi multidimensional, yang berakar dari kesinambungan kebutuhan. Hal yang tidak kentara dari hubungan adalah frekuensi komunal sebagaimana kita singgung diatas. Frekuensi komunal menyangkut hajat hidup manusia yang terus melingkar, serta tidak akan lekang oleh warna laju tumbuh-kembang sains dan teknologi mutakhir. Dalam tataran kekinian, nampaknya kita akan terus menerus dihadapkan dengan pola umum yang berlaku. Misalnya, naik-turunnya kohesifitas sosial. Apalagi, situasi yang tengah melanda dunia, adalah pandemi. Syahdan, frekuensi komunalitas pada abad milenium ini, tengah di uji melalui fenomena media sosial, yang memberikan space kepada publik untuk berekspresi secara...

Pusaran Relasi Absurditas (3)

Arah langkah memuat dimensi tarikan dan dorongan bagi pejalannya, berangkat dari kesenangan yang terfasilitasi oleh kesempatan dan kemampuan. Sebelum sampai menentukan titik tujuannya, manusia akan selalu diributkan terlebih dahulu oleh pergolakan batinnya, dari soal sederhana yang menyejarah antara "iya" atau "tidak". Keributan atau percekcokan batin itu, mengandung unsur yang serba holistik. Dari ekspektasi sederhana, sampai yang rumit dan kompleks. Semua saling mengalahkan, dan seluruhnya mencari pembenarannya. Diantara pelbagai pilihan apa dan kemana arah langkah itu akan dituju, alamiahnya proses mental, akan membentuk format kiri dan kanannya dalam gambaran imajiner. Disanalah, struktur ideal dan real akan diuji secara berkala. Mungkin, reng-rengannya akan melaju dalam skala kecepatan cahaya. Entah berapa lama reng-rengan tersebut berlangsung, tentunya hal tersebut berlaku selama umur manusia berlangsung. Walaupun ritme yang ada, serba dinamis dan beragam tema...

Pusaran Relasi Absurditas (2)

Keluasan sikap antara satu manusia dengan manusia lainnya, biasanya tergambar dari sisi keramahannya. Orang yang dewasa, akan memilih lembut ketimbang kasar. Memilih untuk rendah hati, dari pada arogan. Pada sisi lainnya, manusia yang serba unik ini, mengalami dinamika kejiwaan yang sebenarnya sangat cepat, namun juga lamban. Cepat di asosiasikan terhadap perubahan mood, sedang lambat di asosiasikan kepada perubahan gerak. Mood dan gerak keduanya integralistik, sekalipun tak selalu kausalistik. Manusia sebagai figur peradaban, memuat sisi sunyi dalam dirinya. Seperti menyimpan rahasia diatas rahasia, semacam menyembunyikan suara ditengah jeritan jiwa. Yang nampak, tak selalu yang nyata. Sesekali, yang nyata itulah yang senyatanya. Kini kita sama-sama bisa menyaksikan, betapa arus perubahan dunia sebegitu cepatnya menggeliat, walaupun sejatinya itu tidak mengganti yang esensi. Ia tak lain hanya cover semata, ataupun kemasan an sich. Akar kesejarahan manusia tetaplah sama, ialah menggant...

Pusaran Relasi Absurditas (1)

Diantara pergolakan batin manusia, akan selalu memunculkan sebuah formula yang memetik dirinya pada ruang transformatif. Rentetan kejadian alam nyata yang terbatas, dan fenomena alam batin yang tak terbatas, memuat dialektika yang serba saling melengkapi. Terlebih, atas nama hubungan antara dirinya dengan yang Maha. Relasi manusia secara privat dengan yang Maha ini, secara awam kita sebut sebagai jalan keberagamaan ataupun jalur spiritualitas. Manusia yang selalu bersinggungan dengan relasi sosial sesama maupun alam raya, automaticly memuat nilai-nilai privat yang amat rahasia dengan yang Maha itu. Dari sana, barangkali kita akan menamainya secara sederhana, dengan sebutan dualitas identitas, yaitu identitas internal dan identitas eksternal. Yang internal itu terrepresntasi dalam imajinasinya memandang dirinya sendiri, sedang yang eksternal, memuat identitas dari arah sosial sekitarnya. Identitas yang memiliki sifat serba dinamis ini, kadangkala beraroma positif ataupun negatif dalam a...

Lebam Diri

Entah berapa lama, aku menempuh ini Jalan panjang, romansa Pada letupan sengkarut, tersimpan lebam diri menganut Mereka tak akan mengerti,  nafas lelah sang pencari Ditengah rentetan sejarah, tertegun kelam wajah kelabu Pekat menyelinap, tersisa lenyap ***Banyumas, 21 Juni 2020.

Formula Bersama

Dari kata, yang tak terlupa Dari wajah,  yang paling mengena Aku ber-dalih atas semua Mulai be-ralih menuju cita Bukan maksudku melupakan kita Namun inilah jalan tepatnya Menanti, memang melelahkan Mencari, mungkin meresahkan Maka,  bersamalah Ajakku, kepada engkau disana ***Purwokerto, 20 Juni 2020.

Wanita Pantai Utara

Ada beberapa hal, yang mungkin luput dari perhatianku Misalnya, tentang angamu dan lukamu Ada beberapa hal, yang barangkali menyeret prasangkaku Misalnya, guratan penamu dan senyum rekah bibirmu Banyak hal, sebenarnya yang aku sama sekali tidak mengerti Misalnya, perihal kita yang mungkin terjebak diantara kegaduhan dunia Tetapi, bolehkah sebenarnya, bibir ini mengucap tulus padamu, adinda Misalnya begini, "temani aku pulang menuju tempat asalmu", atau "temani aku pulang menuju tempat asalku". Namun, aku terlalu pengecut untuk mengatakan itu semua Terlebih, aku hanyalah manusia yang masih terbungkam senyapnya hasrat purba ***Purwokerto, 16 Juni 2020.

Perempuan Cisadane (1)

Ada kejenuhan yang begitu pelik,  saat aku yang harus mengalami Gundah, kerap membius hati yang bernasib sepi Pada waktu malam menjelang pagi, sapamu menggeliat nurani Berbisik tentang aku, dalam tatapan engkau Hal-hal remeh menjadi pusaka, untuk lubang bernama jiwa  Engkau, menepikan pelukan gelap Engkau, menabur benih sukma Dan hanya engkau, memerantarai pagi, atas nama hati ***Purwokerto, 16 Juni 2020.

Semestinya Kita

Ada bayang yang memadat,  di sela angin bersanding ombak Terdapat bayang yang memadat, diantara luka mengulit pekat Sepi mencekam nurani,  ketika cinta tak ubah sepi Kita semestinya berjanji, atas nama rindu melebar sunyi ***Cilacap, 15 Juni 2020.

Deru Ombak Terasa

Deru ombak terasa menawan, bila hadirmu tak sudah ditelan angan... Deru ombak terasa mencekam, jika hadirmu beranjak kesudahan... Deru ombak terasa mengekang, kala  hatimu tak lagi mengiang ***Cilacap, 15 Juni 2020.

tak ada yang lebih prasasti

Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Digulungnya kenangan berakar jemari Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Dikepungnya kenangan berakar janji Tak ada yang lebih prasasti, dari wajah bulan juni Diseoknya pelukmu menusuk sanubari ***Cilacap, 15 Juni 2020.

Bagaimana Tuhan

Bagaimana aku bisa melindunginya, jika diriku sendiri masih rutin melukai Bagaimana mungkin aku membahagiakan dirinya, bila diriku sendiri masih kerap mengancamnya Bagaimana lagi... Bagaimana lagi... Bagaimana lagi... Tuhan... Aku lemah tak berarti Aku hancur tak berbentuk lagi Tuhan... Tolonglah aku dan nafasku ini... ***Banyumas, 15 Juni 2020.

Kemana Lagi

Kemana lagi arah langkah mesti beranjak... Bila semua sudut menutup dirinya Bagaimana lagi rasa mesti mencari... Jika semua ruang menggigil beku  Siapa lagi mesti terluka... Andai waktu berjalan kaku Aku dan semuanya... Berpaling dari semestinya Aku dan semuanya... Berontak hati mencekam suasana ***Banyumas, 15 Juni 2020.

hanya lagu

Hanya lagu yang bisa aku dengar. . .(1) Bukan kabarmu Hanya lagu yang bisa aku nikmati. . .(2) Bukan wajahmu  Hanya lagu yang bisa memahami. . .(3) Bukan hatimu  ***Banyumas, 13 Juni 2020.

langit imaji

aku menatap ke langit imaji. . . bertanya kabarmu hari ini aku menatap ke wajah diri. . . bergumam sepi lewat detak hati aku menatap ke dinding sanubari. . . berkaca mata menjelma sunyi ***Banyumas, 13 Juni 2020.

malam itu

malam itu kita bertemu. . . tepat ditengah pusat kota berlalu malam itu kita bertemu. . . disana, aku tersihir sapamu malam itu kita bertemu. . . tak bisa kubayangkan sesudah itu sampai pada suatu waktu,  hatimu memilih berlalu, meninggalkan jejak kelabu ***Banyumas, 13 Juni 2020.

kita,

kita, enggan berlari ke arah mimpi. . . geram, menengok kisah men-tragedi kita, berpaling hati penuh misteri. . . enggan, bersanding pilu mendaki kita, menyimpan rahasia hari ini. . . tentang hati, yang menunggu arti ***Banyumas, 13 Juni 2020.

Ada Wajahmu Disini

Ada wajahmu disini. . . Diatas bayang, tanah berduri Ada wajahmu disini. . . Tepat diantara luka yang mengajari Ada wajahmu disini. . . Terngiang dalam menghujam sanubari ***Banyumas, 13 Juni 2020.

Mengapa Semua

Mengapa semua begitu sesak terasa Kepada hati, engkau bertanya. . . Mengapa semua begitu kaku menjelma Kepada hati, kita bertanya. . . Mengapa semua begitu resah mengada Kepada hati, mereka bertanya. . . Dan, malam berganti hujan Kepada hati, aku berserah kekosongan ***Banyumas, 12 Juni 2020.

Bukan Sekadar Angka Bukan Sekadar Aksara

Benar dan salah merubah bubrah Tekad bulat menitik resah Bentangan suasana, telah menyejarah Dan, 24 bukan sekadar angka 24 bukan sekadar aksara Mereka, adalah jalan kita Mereka, adalah jalan menemuinya Nun, Tak mudah mengistirahatkan kata Tak ringan melupakan rasa Hari ini, aku kembali menyelip rangka Satu persatu tercoret rencana Masa esok, warna keluarga tercipta Demikian luasnya, menembus jiwa Sedang, engah masih mencarinya Rumah sederhana, di ujung fana ***Banyumas, 12 Juni 1996.

Menemukan Presisi Pola Pengasuhan

Tulisan ini, saya buat berdasarkan pengamatan yang sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari, baik itu interaksi secara langsung, maupun interkasi yang bersifat maya, media sosial. Semoga bisa memberikan trigger bagi kita, untuk senantiasa mampu memperbaiki yang sebelumnya keliru, dan juga mampu meningkatkan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya sudah baik. Pembahasan dalam tulisan ini, menyangkut tentang pendidikan karakter dan pola asuh, yang kemudian di fokuskan pada bagaimana melihat kembali, perihal pola asuh yang "mungkin" dahulu sempat menggores luka, untuk kemudian sanggup disembuhkan. Pendidikan karakter sebagai proses membentuk perilaku yang baik, mempunyai salah satu hal yang "agaknya" luput dari perhatian kita khususnya, dan  masyarakat umumnya. Hal yang agaknya luput tadi, ialah terkait dengan pembahasan "luka pengasuhan" saat anak-anak. Luka pengasuhan saat anak-anak, kerap terjadi kepada bapak/ibu yang hari ini memiliki anak. Pola ...

sementara

Sementara, hanya hitam Kegersangan yang merajam Riuh mengitar kebisingan, tak teredam Sementara, hanya hitam Roda mata meliar, bak pengadilan masa silam Pongah, sombong menusuk lebam Sementara, hanya kelam Meluas keseluruhan isi alam Mengulik wajah penuh sia, menabrak dinding dada runyam ***Banyumas, 11 Juni 2020.

Bugenvil Disini

Padamu yang menyita separuhnya Menyangga ruang tanya Menempuh rumitnya rahasia Padamu yang menyala purnama Tak ada salah sangka merindunya Menyimpan selembar cinta di wajahnya Padamu yang merenggut nestapa Memejam rasa tak berkata Bermakna hampir seluruhnya Padamu yang berwangi bunga Merenggut halu bersanding luka Meroda mengendap mengudara Padamu cinta sesungguhnya Mengikat mimpi di surga Bugenvil disini menyaksikannya ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Sajakala Misteria

Kita, memutus tali ikat suasana Meminjam kuasa semesta, menebus jumpa purbakala Yang, irisan alam menjadi saksinya Ini karena kau dan aku, pun seluruhnya Mencipta karsa, paling lama Sampai ketika buah bernama cinta Membersama panjang, kisah romansa Sajakala misteria  Beranjak dari, menuju ke Alam raya jadi saksinya Goresan tinta, sediakala Dan lagi kita Adalah penerima, sesudahnya Sajakala misteria  Beranjak dari, menuju ke Kita menyadur wajah sama-sama Mengayun kata, dalam batin resahnya Sampai ketika, titik menjelma bunga Merebak juang, menyeret fana ***Banyumas, 10 Juni 2020.

tersisa (kita)

(kita) kerap bertaruh ini dan itu menabur cinta, dibawah langit yang serupa mata (kita) terpejam oleh rasa bersalah oleh kenang yang melinang oleh candu yang menggebu (kita) punya hati yang sejenis tapi tidak dengan ceritanya (kita) memiliki pikiran yang sejenis tapi bukan pada kenyataan didalamnya kemudian, (kita) menaruh waktu yang menjelma  kedap suara diawalnya endap makna diakhirnya sampai seluruhnya menjadi semunya kuasa (kita) tak mampu lagi menoleh luka sebab semuanya, hanya tenang yang tersisa ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Yang Tertunda

Betapa ruang begitu sesak menyita Dari malam berganti siang Akankah disana terdapat (kita) Aku, mencarimu sebenarnya Tepat di ujung jalan tanda tanya Menaruh harap cerita, diatas nuansa bahagia Engkau, hadir bersama luka yang sempat ada Menjadikannya titik balik, atas nama cinta semesta Memberi motif berbunga, berkait dengan capaian mimpi seluruhnya Sampai pada akhirnya, (kita) sama-sama menyerah untuk semua Menantikan datangnya berita, perihal rasa yang tertunda ***Banyumas, 10 Juni 2020.

Pada Meta

Ada yang sengkarut diantara ribuan gores jejak Dari yang nyata, sampai yang makna Kita hanya sanggup merabanya Dan nihil, memastikannya Kumpulan malam menjadi satuan Bergantinya siang, sekadar melabur perjumpaan Sedang, kita terperanga diatas seluruhnya Mata melihat yang fana Telinga mendengar yang fana Suasana kalut, terendap ke laksana Mega mendung bercerita, hujan turun tak mereda Alam batin bercengkrama, perihal gurau di dalamnya Dan wajahmu, melukis senyum pada meta  ***Banyumas, 9 Juni 2020.

terbagi

Aku terbagi ramahmu, tergulung kedalam wajahmu Ceria, menggurita diantara seluruhnya Sampai pada akhirnya, pelikmu larut menuju dada, melumpuh di kepala ***Banyumas, 8 Juni 2020.

Kembali Menemui

Aku memang pernah menjadikanmu mahkota Walaupun kemudian, aku lah orang yang terdepan menghancurkanmu Engkau pasti sangat terpuruk oleh karena, aku Engkau rela bertaruh diri, demi kelangsungan kita Maafkan aku, kasih. . . Bukan maksudku melukaimu, tetapi inilah jalan paling tepat bagi kita Karena, aku tak berdaya, bila pada akhirnya, engkau hancur lebih sesak dari ini Pergilah... Dan, peluk ia Rangkulah jiwanya, bahagiakan paginya Sebab, Dirinya lah yang sahih tulus mencintaimu Dirinya lah, yang mutlak rela membersamaimu Bukan aku, yang jelas-jelas sadar meninggalkanmu ***Banyumas, 7 Juni 2020.

Arah Rasa

Ada arah yang tak mungkin terkejar Ada pula, ruang yang tak dapat melebar Semuanya, berkabung dalam satu peristiwa Saat ini, engkau mungkin tengah beradu logika Misalnya, perihal siapa dan dimana... Siapa sosoknya, dan dimana singgahnya Barangkali, sangatlah mudah hati dan kepala, menampung itu semua Pun, pada langkah kaki, yang terus berjalan, walau letih Tetapi sadarkah, bila seluruhnya, terus meroda makna Kita, yang tengah kesulitan meramu apa adanya, terpaksa bisu soal rasa Semuanya, mengendap riuh di dada ***Purwokerto, 6 Juni 2020.

Tanpa Pernah Bertanya

Pada adinda, nun jauh disana Kata orang, jarak bukanlah penghalang Katanya, ia hanya soal rasa yang berbalut suasana Angin disana, Angin disini, Nyata berbeda Engkau mungkin saja tak merasa  Bahwa disini, aku bergetar begitu hebatnya Merindukanmu, menantikan warna wajahmu Adinda, aku ingin sekali meruyumu Meminjam tanganmu, untukku genggam didadaku Dibawah malam yang bertema dirimu, ijinkan aku mengenang kita Mengenang semua jalan yang amat lugu, saat hujan membasuh rambutmu Disana, kita sempat beradu cemburu Mengeja rasaku dan rasamu Sampai pada akhirnya, semua memisah temu  Dan engkau, memilihnya tanpa pernah bertanya padaku ***Banyumas, 4 Juni 2020.

Pentingnya Tujuan

Rentang jalan, selalu mengikat sejarahnya. Kita barangkali amat yakin dengan pilihan ini, atau itu. Tetapi, waktulah yang akan merajai buktinya. Kehidupan memang kerap membingungkan. Pun, selalu penuh dengan kejelasan. Dualitas yang pasti adanya dalam hidup itu, terbungkus dalam dinamika sedih dan bahagia. Cara hidup yang benar, hanyalah cara yang mampu mengantarkan ke tujuan.  Dari hal sederhana ini, kita diingatkan kembali, betapa fatalnya hidup, apabila memegang tujuan yang keliru. ***Banyumas, 4 Juni 2020.

Menyita Rasa Seluruhnya

Sungguh, jiwa tergetar olehnya Oleh wajah, yang menyita rasa seluruhnya Aku mengerti, ini hanya terjadi pada diri ini Berbeda disana, denganmu Yang mungkin, masih haus akan panorama  Disini, bukan maksudku mengganggumu Hanya saja, angin malam dihadapku , berhembus rutin menyebutmu Ia menyebut namamu, merangkul peluhmu Bagimu, ini mungkin hanya dalih yang menyerpih Mungkin juga, sekadar rayu kelabu nan sembilu Namun, asalkan engkau tahu Betapa sulit bagiku, tergerak hati untuk sampai memilihmu Kini,  Bila wajahku sudah tak lagi menjadi titik perhatianmu, tak apalah Setidaknya, aku telah menjadi bagian terpenting demi menggapai impianmu Meski perih, tak lekang menyayat jiwaku ***Banyumas, 3 Juni 2020.

Titik Henti Disana

Biarlah, semua mengalun semestinya Curiga dan kecewa, pada saatnya membuatmu berbiasa Tetapi, selalu ada hal yang luput dari tanya Misalnya, apakah mungkin taqdir berbohong untuk menyita? Kita, na'asnya tergenggam kaca yang sama Perihal sesak, yang mengabur abu derita Itu bukan kesalahan Buka pula, soal ketepatan Karena titik henti disana, tak dapat berubah asalnya ***Banyumas, 2 Juni 2020.

Senantiasa Bertajuk

Selalu ada "selat", ditengah luka yang menyayat Musim terus berubah Sedang suasana, mengitari arahnya Kita pasti kerap kewalahan menghadapi itu, sampai-sampai tersungkur jatuh ke lembah nadir Tetapi, seperti padanan "selat" Ia menuai setidaknya dua tepian Melabuh ke kiri, atau ke kanan Tentu masing-masing kita telah paham, utamanya pada kiri dan kanan yang mewujud konotatif Entah kanan atau kiri, keduanya suci azali Sampai pada kebimbangan paling gusar, kita semua berbatin lirih Bahwa dunia, tak lebih sebagai pena cerita yang senantiasa bertajuk Sebuah cerita, tentang warisan, kepercayaan, dan pengingkaran ***Banyumas, 2 Juni 2020.

Hingga "Saat"

Sampai menjadi puisi, lintasmu mengendap arti Apa gerangan semua ini? Hingga "saat", belum menggubah misteri Sampai menjadi sajak, arahmu menyala rasa Apa gerangan semua ini? Hingga wajah, berlalu sepi Sampai terlelap mimpi, yakinku mengalun senyap Apa gerangan semua ini? Hingga menanti, tak ubahnya bunuh diri ***Banyumas, 2 Juni 2020.