Keluasan sikap antara satu manusia dengan manusia lainnya, biasanya tergambar dari sisi keramahannya. Orang yang dewasa, akan memilih lembut ketimbang kasar. Memilih untuk rendah hati, dari pada arogan.
Pada sisi lainnya, manusia yang serba unik ini, mengalami dinamika kejiwaan yang sebenarnya sangat cepat, namun juga lamban. Cepat di asosiasikan terhadap perubahan mood, sedang lambat di asosiasikan kepada perubahan gerak. Mood dan gerak keduanya integralistik, sekalipun tak selalu kausalistik.
Manusia sebagai figur peradaban, memuat sisi sunyi dalam dirinya. Seperti menyimpan rahasia diatas rahasia, semacam menyembunyikan suara ditengah jeritan jiwa. Yang nampak, tak selalu yang nyata. Sesekali, yang nyata itulah yang senyatanya.
Kini kita sama-sama bisa menyaksikan, betapa arus perubahan dunia sebegitu cepatnya menggeliat, walaupun sejatinya itu tidak mengganti yang esensi. Ia tak lain hanya cover semata, ataupun kemasan an sich.
Akar kesejarahan manusia tetaplah sama, ialah mengganti yang pernah ada, melanjutkan, kemudian memperbarui yang sudah tidak kompatibel. Lingkaran ini, memutar terus sampai titik henti yang unpredictable.
Syahdan, term-term sejenis homo deus, sejatinya hanyalah penamaan untuk memudahkan penyebutan saintifik. Tentu tidak mudah, jika yang Maha, jelas-jelas eskplisit memberitahu manusia kecuali itu sedikit.
***Banyumas, 21 Juni 2020.
Comments
Post a Comment