Barangkali, yang sampai saat ini masih luput dari perhatian saya, dan mungkin kita semua adalah soal kelegaan menerima. Apabila kita lihat disekitar, banyak sekali terdapat kasus-kasus berat, yang sebenarnya sanggup teratasi secara tidak berat.
Misalnya dari mulai pembunuhan, bunuh diri, korupsi, perampokan, kemalingan, pemerkosaan, hamil diluar nikah, narkoba, miras, perceraian, dlsb., hemat saya berakar dari ketidaklegaan batin individu terhadap realitas yang tengah dihadapinya.
Pandemi yang tengah melanda sejak beberapa bulan yang lalu, bisa kita simpulkan memberi sumbangsih persoalan baru bagi dunia, untuk juga mengatakan memiliki dampak yang positif pula. Namun, tak sedikit akar soal pandemi ini, memberi pengaruh pada kasus-kasus yang sudah saya sebutkan diatas.
Kembali ke term kelegaan batin, bahwa mungkin hal ini tidak kentara sebagai biang keladi kasus-kasus yang tertulis dalam riset-riset, namun itu tidak kemudian menurunkan kepercayaan saya dalam melihat persoalan secara jernih.
Akar masalah riset-riset yang mengatasnamakan ekonomi, sejatinya hanyalah untuk memudahkan manusia dalam mengidentifikasinya. Sebab, kalau individu apalagi masyarakat disebut mengalami gangguang batin, bagi masyarakat kita itu tidak familiar dan cenderung kurang etis.
Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab adalah, bagaimana cara melegakan batin?
Akhir-akhir ini, saya sedang diberikan bejibun fenomena nyata di masyarakat terkait hal tersebut.
Setelah saya amati, nampaknya masyarakat kita yang mengalami kasus-kasus mengerikan diatas, tidak mampu untuk lebih tenang menerima soal dan kemudian mengahadapinya.
Bukan hanya ketenangan menerima dan menghadapi, dalam rangka menuai kelegaan batin. Ada hal lain yang berkelindan didalamnya, ialah dendam yang disimpan rapih dalam ingatannya. Hal tersebut, bisa kita temukan dalam wawancara kualitatif, dengan para pelaku kasus-kasus diatas.
Syahdan, tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini, terutama soal kelegaan batin yang penuh rahasia dalam diri setiap individu. Karena yang nampak tenang, belum tentu tenang dan yang terlihat lega, bisa jadi sangat berkecamuk. Maka yang realisitis, adalah menjaga kewarasan diri kita sendiri untuk terus berupaya bersikap "lega menerima", ditengah gejolak dunia yang selalu berubah, salah satunya dengan mengingat sumber dari segala sumber.
***Banyumas, 29 Juni 2020.
Comments
Post a Comment