Format masa depan, hampir selalu menyisakan ambiguitas yang sanggup mengernyitkan kepala. Misteri yang senantiasa melekat padanya, kadangkala bisa menaruh bias kognisi.
Kita bisa memberi tanda koma terhadap sikap, namun tidak pada waktu yang terus berjalan. Rentetan pengalaman pribadi yang terakumulasi dengan fenomenologis publik, menjadi sajian kompilasi yang serba membingungkan.
Jalan terjal mungkin pernah terlalui, akan tetapi tidak semuanya sanggup memberi arti. Keharusan memiliki 'nalar belajar', nyatanya tak semudah membicarakannya. Kita kerap kelimpungan, akan hal-hal demikian.
Syahdan, ketika manusia ber-sosial, tetap saja ia tengah menempuh ruang sunyinya. Walaupun secara eksistensial, ia terkoneksi dengan sekitaran.
Maka tak heran, Jung pernah membeber terkait Psychology and Religion, 1938. Yang disana, ia memberikan penegasan bahwa, jiwa manusia memiliki bawaan imanen.
Dan itulah, background terpenting dalam menempuh jalur sutra, masa keakanan. Dimana kesadaran individual, sanggup meretas ke kesadaran kolektif yang fenomenologis.
***Banyumas, 25 Juni 2020.
Comments
Post a Comment