Skip to main content

Posts

Apa Ada Angin di Surakarta (33)

Kuda-kuda batin macam apa yang paling ampuh, untuk menahan sesaknya nalar oleh serangan tatap matamu.  Tatap matamu itu, semacam sinar purnama yang menyorot seisi bumi jiwa. Menerkam hati yang kalut, mencuat ke seluruh pelosok dada yang lembab oleh tangis. Kau tersenyum, sedang aku termenung. Kau menatap, sedang aku tak mampu sedikitpun berkecap. Dan, kau menoleh, disitulah aku diam-diam memperhatikanmu. Entah, apa ada angin di Surakarta? Yang jelas, malam ini kamu sedang cantik-cantiknya. Sedang, bunga ditepi jalan pun, cemburu menyaksikan dirimu yang tengah berbinar. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 26 November 2019.

Tenang! Ketua RT Kita, Masih Nomal.

Mendapat kepercayaan sebagai ketua RT, bukanlah tanggung jawab yang mudah untuk diemban. Apalagi, perkara yang diurus itu beraneka-ragam jenis dan spesifikasinya. Heterogenitas yang tak mungkin dapat dihindari, membuat uncertainty semakin menjadi-jadi. Perkara yang mainstream belum usai digarap, sudah bermunculan perkara yang anti mainstream. Terkadang hal-hal yang mainstream saja dapat membuat pusing 8 keliling, apalagi yang anti mainstream, sesekali benar-benar ngrusak tatanan ati. Ketua RT adalah panglima seluruh program kebijakan, jika khilaf kerap kali pula menjadi biang keladi kerusuhan. Tugas utamanya jelas, ialah mengamankan dan menyamankan satu sama lainnya. Ditengah krisis stagnasi ide, ketua RT kita, terkadang memilih untuk ber-meditasi sejenak. Menepikan diri dari keramaian, untuk meminta wangsit kepada ilahi. Meminta petunjuk kepada semesta, perihal apa dan bagaimana keberlanjutan sikap dan laku yang terbaik untuk masyarakat yang dipimpinnya. Namun kali in...

Rhapsody Senjakala (2)

Jalanan Solo-Yogya, masih cukup menyita berpuluh perhatian. Kali ini, warna langit tak seperti biasanya. Walaupun, rhapsody senjakala terus-menerus menyusun ritmenya. Sebuah ritme, perihal temu yang terkatung-katung angin dan reruntuhan dedaunan. Rhapsody senjakala yang tak seindah biasanya, menumbuhkan citra yang cukup membius seisi dada. Apalagi, wajahmu hari ini, masih saja tak berbinar seperti waktu-waktu sebelumnya. Barangkali, akan lebih baik, jika apa yang kita sebut sebagai keinginan, untuk sementara ini disimpan dalam-dalam. Bukan dalam arti disimpan begitu saja, akan tetapi diolah dengan semestinya. Olahan tentang keingingan, menandai ada yang perlu di proses. Dalam hal ini di pilah-pilih, mana yang seharusnya dan mana yang tidak semestinya. Sorot matamu yang membuncah, tak lagi mampu menepis segala gundah. Hanya saja, rintik gerimis yang terlewati tadi, cukup mendinginkan jiwa dan raga yang perlahan terbunuh sepi. Engkau dengan jelas paham, tentang siklu...

Apa Ada Angin di Surakarta (32)

Betapa mudahnya dirimu memegang pundak kiriku waktu itu. Angin dan dedauan pohon kelapa, dengan amat jelas menjadi saksi bisu sentuhan tanganmu itu. Tak terkecuali, berpuluh pasang mata disana, ikut serta bersaksi dalam rentang hidupnya. Mungkin, sangkaku, engkau khilaf. Namun, sangkaku salah. Engkau ternyata menikmati khilafmu itu. Dan aku, sialnya terlena akan kenimkatan khilaf yang engkau ajukan. Diam-diam engkau memendam orientasi kebusukan. Pelan-pelan engkau memasuki, apa yany disebut "pendahuluan" dosa-dosa. Dan lagi-lagi, kesialanku datang kembali, engkau menikmati, sedang aku terlena kenikmatan. Siapa yang menyangka, akan semua ini. Apakah itu karena sebabmu saja, atau juga sebabku? Ini pertanyaan yang cukup terlambat muncul. Sebab, dosa termanis telah dan sampai pada titik nadir. Engkau tertawa, sedang aku terluka. Engkau berkelakar, sedang aku tercabik dan hancur. Sungguh, malam itu menjadi kekelaman yang menghujam. Yang kemudian, angin di Sura...

Initial Noting: Waspada Orientasi.

Seandainya waktu bisa di jeda, barangkali manusia akan menemui evaluasinya sendiri. Sayangya, sifat dan sikap waktu tidaklah demikian. Ditengah era yang serba materialistik ini, dalam arti arus besarnya. Tidaklah mudah untuk menaruh manajerial yang paling kondusif, apalagi sistematika yang beradab. Bukan berarti tidak ada yang kondusif dan beradab, hanya saja, sekali lagi arus utama kita bukanlah itu. Era yang oleh saintis sufistik dianggap "perang dunia ke-3", menjadikan kebringasan perut diposisikan sebagai yang utama. Lawan dari sifat dan sikap humanis, dalam pengertian praksis. Pertentangan-pertentangan memang selalu ada, namun baik dalam makna fisik maupun psikis, dalam tribun sosiologis maupun antropologis. Pertentangan dapat menarik konklusi, namun juga mampu mendorong distorsi yang baru sama sekali. Sedang, manusia yang "tulus", akan menuai initial noting: waspada orientasi. Kita yang minim pengetahuan tentang masa depan, hendaknya salin...

Initial Noting: Kulminasi Tinggi Rendah.

Akan selalu ada titik kulminasi dalam setiap pergumulan, dari yang mikro sampai yang makro. Bahkan tak terkecuali, pada setiap diri manusia. Kulminasi itu, semacam menandai adanya sebuah revolusi, bukan sekadar reformasi. Kalai sudah revolusi, maka potensialitasnya bisa sampai "berdarah-darah". Yang saya maksud sebagai kulminasi disini, jelas dalam artian yang konotatif. Bisa bermakna jatuh sejatuh-jatuhnya, atau berarti naik senaik-naiknya. Lagi-lagi "sikap" lah yang akan mampu "berbicara banyak".  Layaknya lapar, akankah selalu menunjuk pada si miskin, atau bisa menunjuk pada si kaya? Miskin dan kaya disini, apakah hanya ekonomi an sich? atau ada indikasi lain, dari sekadar soal perut? Mungkinkah soal ketenangan hidup, akan menjadi primer?  Nampaknya, arus besar kita belum beranjak kesana. Dengan realitas ini, seminimal-minimalnya, kita memperoleh insight, untuk manaruh waspada dan siaga, khususnya terhadap dinamika yan...

Initial Noting: Konotasi Perubahan.

Apa yang terlihat, dan apa yang terdengar, belum tentu itu yang terjadi. Maka tidak heran, kalau Agama memberi sinyalamen agar kita menaruh "tabayun", dalam tiap-tiap peristiwa. Tabayun tersebut, menandai satu dari sekian peristiwa yang membutuhkan clarity. Supaya, bersih dan murni kegelapan yang mendera fenomena. Dari sikap tabayun itu, dapat diperoleh momentum untuk mengambil jeda, terlebih dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Ketidakabadian dunia dan seisinya, pun menempatkan secara absolut, tentang makna sejati perubahan.  Perubahan yang berangkat dari kata "ubah", memiliki definisi yang meluas. Dalam arti, selalu mengikuti arus situasi dan kondisi. Pun, perubahan tersebut, menyingkap fakta yang denotatif sekaligus kenotatif. Terkadang primer, acapkali juga sekunder. Ketepatan sikap manusia terhadap presisi primer dan sekunder, akan berimplikasi pada nada yang menyejukkan jiwa dan raga. Akan berbeda, jika yang primer di sekunder...

Apa Ada Angin di Surakarta (31)

Selepas kepergianmu, cuaca disini sontak tidak menerima akan putusan yang engkau berikan itu. Seolah menandai kalahnya sebuah usaha, yang dahulunya sama-sama kita semai bersama. Aku yang menaruh harapan besar kepadamu, akan mimpi-mimpi keindahan pelangi, kini musnah sudah. Engkau ternyata lebih memilih untuk memisahkan, tali ikat janji-janji yang pernah terhubung amat kencang. Cuaca tak menerima, sedang angin pun cemburu. Menyaksikan keterputusan sumpah setia, yang sempat kita sama-sama ucap. Nyatanya, bibir ini belum sepenuhnya kering, akan kalimat-kalimat sumpah setia itu. Walaupun betapa pahit kenyataan ini, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya, apa adanya, menyaksikan engkau bahagia bersamanya. Agaknya, kita perlu merungkan arti kesetiaan. Terutama, pada janji yang telah tiba pada relung hati terdalam. Lebih-lebih, patutnya kita malu, akan semua hal yang pernah kita upayakan, yang kesemuanya itu, disaksikan dengan romantic oleh angin di Surakarta ...

Initial Noting: Rentang Siklus.

Sebagai pengembara kehidupan, setidaknya kita akan menemui 2 hal, khususnya dalam konteks masa. Adalah "masa lalu" dan "masa depan". Jalan yang membentang dan rangkaian siklus yang terlewati, merupakan satu dari sekian banyak hal yang memberi makna. Hal tersebut, berjalan secara autommaticly. Kerap kali malah tanpa disadari. Manusia terbentuk oleh lingkungan, dan manusia membentuk lingkungannya. Dua hal yang jelas selalu berkelindan, baik langsung maupun secara implisit. Saat seseorang memakan coklat, secara sadar maupun tidak sadar, ia akan terpengaruh oleh kandungan kimiawi, kemudian berimplikasi pada mekanisme fisiologisnya. Satu siklus terlewati, yaitu kinerja mulut, dan skema kerja pencernaan. Begitu pula pada hal lainnya, misalnya saat seseorang duduk diatas kursi, sembari mendengarkan musik, maka pada rentang waktu tersebut, terdapat siklus pendengaran dan pemaknaan. Pendeknya, akan selalu ada initial noting, dalam pergumulan dan permenun...

Rhapsody Gulita (2)

Lagi-lagi, dengan amat sangat terpaksa, rhaspody itu hadir kembali. Dan, lagi-lagi aku harus mengatakan dengan gamblang, bahwa hiasan dinding yang indah itu, bukanlah lawan tandingmu. Kerudung merah, kaca mata bulat, dan tatap anggunmu itu, jelas menusuk se-isi nurani. Engkau disana, sedang aku disini. Disini, di sisi gulita malam yang gelap.  Kalaupun boleh menoleh, tentu saja jiwa dan raga ini tak menolaknya. Namun, hal itu adalah kesalahan.  Sebab, engkau bukanlah sendiri, melainkan bersamanya. Sedang, lampu-lampu pun jelas mencemburui hal itu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 21 November 2019.

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (5)

Wajah jalanan di komplek Stasiun Solo Balapan, kali ini cukup lenggang. Menandai, dini hari telah tiba.  Dini hari adalah sebelum cahaya. Sebelum sayup-sayup penduduk, memulai aktifitas yang ragam jenisnya. Ditengah lalu-lalang yang cenderung lenggang ini, nampaknya diri ini masih menyimpan timbunan memori yang cukup merimbun.  Terlebih, pada ucap janji yang telah tergores. Tentang asa untuk sesegera menjumpaimu, di tanah kelahiranmu, tanah kelahiran kita. Asa yang akan sama-sama kita upayakan itu, sudah dan telah kita sematkan dalam dada.  Kadangkala, rindu membuncah dan merekah. Pun, rindu itu kerap menyesakkan dada, oleh karena jiwa ini menghirup manisnya aromamu. Satu hal yang pasti selalu memberi konklusi, adalah senyumanmu, pipi kemerahanmu, dan gelang bertali hitam yang sampai sekarang masih aku simpan. Wallohu a'lam. Surakarta, 21 November 2019.

Rhapsody Gulita (1)

Sesaat setelah nada dan suara riuh-rendah, mulai terhimpit gulita, kau menjadi satu dari sekian purnama. Indahmu natural, senyummu merekah, sedang tatapmu menyala. Barangkali, musuh terbesar hiasan-hiasan dinding, adalah parasmu yang lugu itu. Engkau yang datang membawa tas kecil dipundakmu, menyapaku dengan lembut. Apakah gerangan semua ini? Apa iya, ini hanyalah sebuah imaji yang meng-ilusi? Atau, semacam surga cinta yang hadir, dikala gulita menjumpai? Nyatanya, rhapsody kembali hadir membersamai angin disini. Iya disini, tepat dihadapanmu sayangku. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.

Rhapsody Senjakala (1)

Tepat setelah gerimis mengguyur seluruh dedaunan, kau masih menjadi satu dari sekian banyak perhatian. Senandung lagu cinta, menjadi titik paling rhapsody. Engkau tau, aku selalu memujamu. Dalam gelap gulitanya, denting sang waktu. Romantic tone. Adalah nada dan suara, yang terpadu dalam simphony cinta. Pertemuan denganmu malam itu, tentu masih menjadi memori termanisku. Waktu itu, engkau memintaku untuk menuliskan sajak cinta untukmu. Dan aku, tentu menyanggupi kehendakmu itu. Namun, tepat sesaat setelah aku kirimkan sajak cinta itu, kau memberi sinyal yang teramat pahit untukku telan. Yaitu, tentang pilihan hatimu. Engkau memilihnya, dengan alasan ketepatan waktu. Katamu, diriku terlambat. Katamu juga, diriku lebih tepat jika harus tidak memilikimu seutuhnya. Kala itu, pena dan tinta menjadi saksi, betapa rhapsody yang aku bangun, runtuh seketika. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.

Senjakala di Pelupuk Matamu

Sebenarnya, apa dan bagaimana aku harus mengerti tentangmu. Maksudku, tentang apa yang terdapat dibalik bening bola matamu, dan tentang bagaimana gelombang cahaya yang memancar darinya? Sungguh, ini adalah saat dimana sekujur tubuh, merasa sesak oleh karena sorot wajahmu yang berbinar itu. Namamu? Rumahmu? Masih menjadi tanya yang bertanda. Apalagi perihal cintamu itu. Mungkin, ini hanyalah sebuah temu yang berujung tiada jemu. Bagiku, menemuimu adalah candu, yang membersamai garis merah jalanan yang tak bertepian. Namun, ada satu dari sekian keindahan yang hadir kala itu, adalah tepat dibawah alis matamu, terdapat warna jingga yang merekah. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 19 November 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (30)

Apa yang salah dari suara-suara kendaraan, yang berlalu-lalang di jalanan Solo-Yogya. Sehingga membuat seluruh isi dada, mengelupas beribu-ribu makna. Sebuah makna, tentang dirimu yang memapar senyum. Perihal dirimu, yang memilih untuk terdiam dalam senyap, melihatku pergi untuk selamanya. Agaknya, cinta dan cita, yang sama-sama pernah kita bangun, tak berbekas sama sekali. Agaknya, lubang hati yang sempat sama-sama kita isi itu, runtuh seketika waktu. Coretan kisah, goresan kasih, luluh lantah diterjang kencangnya angin di Surakarta. Seperti hilang begitu saja, membersamai goresan tinta kelam perjalanan. Barangkali, sikap deterministikmu itu adalah sebab kepergianku. Bukan soal, keberbedaan yang nyata. Bukan pula, soal orang ketiga. Sesudah aku mengabarkan semuanya, apakah gerangan imbasnya? Apakah gerakan langkah lanjutannya? Atau, hanya lusuh dan luruh, tentang asa dan rasa yang sempat ada? Tapi, yang jelas, sungai-sungai disini, masih tetap mengalir, menu...

Eksplanasi Meta Makna: 107 Muhammadiyah.

Pengetahuan sains, memiliki komponen "apa", "bagaimana", dan "untuk apa". Komponen tersebut, tergabung dalam philosophy ontologis-epistemologis-aksiologis. Untuk sampai pada pemaparan mengenai "apa", "bagaimana", dan "untuk apa", kita harus memasukkan fenomena. Misalnya fenomena yang paling populis di jagat raya, adalah makna hidup. Kenapa makna hidup?  Sederhana saja, karena setiap manusia itu hidup. Ketika manusia hidup, maka dengan alamiah, ia akan mencari makna hidup. Jadi, makna hidup adalah "apa", dalam fenomena diatas. Taruhlah disini, bahwa makna hidup adalah mampu bermanfaat seluas-luasnya.  Sekarang, kita lanjut dalam term "bagaimana". Maka, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana makna hidup itu? Bagaimana mencarinya? Jadi, "bagaimana mencari", kemudian menjadi bagaimana mampu bermanfaat seluas-luasnya. Katakanlah disini, bahwa mampu bermanfaat seluas-luasnya, dengan me...

Apa Ada Angin di Surakarta (28)

Debu-debu jalanan, letupan-letupan obrolan, riuh-rendah nada dan suara, menyatu dalam aktifitas sudut Kota Surakarta. Sesaat setelah lampu-lampu dinyalakan, ternyata engkau masih menjadi sosok yang aku perjuangkan. Engkau adalah satu dari sekian cita, yang aku tempatkan pada catatan juang. Nostalgia SMA, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, dan nama anak yang dulu sempat tersemat, kini lenyap. Setelah orang tuamu memberi keputusan sepihak. Pedih pastinya, namun apalah daya, diriku hanyalah balungan kere semata. Dan, yang paling menyedihkan adalah, engkau rela memutus tali yang pernah kita sama-sama ikat. Begitu mudahnya engkau berbohong pada rasamu sendiri. Begitu ringannya, tali ikatan itu, lepas begitu saja. Cincin yang pernah aku sematkan pada jari manismu, kini terlepas dan terhempas, membersamai riuhnya angin di Surakarta. Seketika itu juga, benak ini berfikir "bagaimana mungkin aku akan sanggup melupakanmu, bagaimana caranya?"  Entahlah,...

Apa Ada Angin di Surakarta (27)

Ada sederet makna yang tercelup dalam do'a. Selintas, hal tersebut terkesan biasa-biasa saja. Namun, terdapat impresi yang mengernyitkan seisi dada menyesak.  Ini tentangmu. Tentangmu yang jauh disana. Tentangmu dan kenanganmu, membuat semesta bertanya, "adakah kalimat canda yang menyerta, dalam setiap jumpa?" Nampaknya, tentangmu dan kenangmu itu, hanyalah ilusi saja. Ia hanyalah sekedar kalimat jiwa, yang menetap dalam rongga dada yang terluka. Bukan sebuah lukisan abstrak yang beralih dan beranjak, dari kegagalan meminangmu. Tentu, ini bukan kesalahanmu. Ini murni kesalahanku, yang dengan tega meninggalkanmu, ditengah birunya cinta sedang menempuh geloranya. Aku tidaklah tega sebenarnya, namun apalah daya, keadaanlah yang memaksanya, untukku pergi meninggalkan histori yang pernah tercipta. Aku meninggalkanmu waktu itu, sambil mengucap "barangkali, ini sudah jalannya". Seketika itu, air matamu menetes, mengaliri pipi halusmu. Semestapun ikut m...

Apa Ada Angin di Surakarta (26)

Masih adakah angin di Surakarta? Masih adakah, secercah rasa yang dulu pernah singgah? Masih adakah, rindu yang kita kecap bersama di kala gelap menyapa? Disini, ditempat yang pernah kita singgahi.   Kau pernah berkeluh kesah, tentang hidup yang begitu semerbak pedih. Dan, disana, pada saat yang sama, pundakku pernah kau sandari, sebagai pelipur duka. Namun kini, kau pergi. Meninggalkan tetes hujan yang sama-sama pernah kita nikmati. Membersamai masa indah, yang dulu sangat kita cintai. Sedang disini, aku hanya berteman segelas kopi, bersama kenangmu, yang memahit sedikit demi sedikit. Apa iya, aku adalah orang yang sudah terlampau dalam mencinta. Apakah iya, aku adalah harap, yang hanya kau balas dengan kalimat "aku memilihnya karena orang tua?" Begitu mudahnya. Begitu mudahnya engkau pergi, dengan kenangan termanis yang pernah kita jalani. Meninggalkan luka, menyayat palung batinku, meresap pedih, meneteskan air mata, menyesakkan dada. Memang tida...