Apa yang salah dari suara-suara kendaraan, yang berlalu-lalang di jalanan Solo-Yogya. Sehingga membuat seluruh isi dada, mengelupas beribu-ribu makna.
Sebuah makna, tentang dirimu yang memapar senyum. Perihal dirimu, yang memilih untuk terdiam dalam senyap, melihatku pergi untuk selamanya.
Agaknya, cinta dan cita, yang sama-sama pernah kita bangun, tak berbekas sama sekali. Agaknya, lubang hati yang sempat sama-sama kita isi itu, runtuh seketika waktu.
Coretan kisah, goresan kasih, luluh lantah diterjang kencangnya angin di Surakarta. Seperti hilang begitu saja, membersamai goresan tinta kelam perjalanan.
Barangkali, sikap deterministikmu itu adalah sebab kepergianku. Bukan soal, keberbedaan yang nyata. Bukan pula, soal orang ketiga.
Sesudah aku mengabarkan semuanya, apakah gerangan imbasnya? Apakah gerakan langkah lanjutannya? Atau, hanya lusuh dan luruh, tentang asa dan rasa yang sempat ada?
Tapi, yang jelas, sungai-sungai disini, masih tetap mengalir, menuju dada yang sesak oleh terpaan gelora cinta, dari pelupuk matamu.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 19 November 2019.
Comments
Post a Comment