Akan selalu ada titik kulminasi dalam setiap pergumulan, dari yang mikro sampai yang makro. Bahkan tak terkecuali, pada setiap diri manusia.
Kulminasi itu, semacam menandai adanya sebuah revolusi, bukan sekadar reformasi. Kalai sudah revolusi, maka potensialitasnya bisa sampai "berdarah-darah".
Yang saya maksud sebagai kulminasi disini, jelas dalam artian yang konotatif.
Bisa bermakna jatuh sejatuh-jatuhnya, atau berarti naik senaik-naiknya.
Lagi-lagi "sikap" lah yang akan mampu "berbicara banyak".
Layaknya lapar, akankah selalu menunjuk pada si miskin, atau bisa menunjuk pada si kaya?
Miskin dan kaya disini, apakah hanya ekonomi an sich? atau ada indikasi lain, dari sekadar soal perut?
Mungkinkah soal ketenangan hidup, akan menjadi primer?
Nampaknya, arus besar kita belum beranjak kesana.
Dengan realitas ini, seminimal-minimalnya, kita memperoleh insight, untuk manaruh waspada dan siaga, khususnya terhadap dinamika yang "absolut". Untuk kemudian, mengambil konasi terbaik untuk revolusi.
Wallohu a'lam.
Surakarta, 24 November 2019.
Comments
Post a Comment