Jalanan Solo-Yogya, masih cukup menyita berpuluh perhatian. Kali ini, warna langit tak seperti biasanya. Walaupun, rhapsody senjakala terus-menerus menyusun ritmenya. Sebuah ritme, perihal temu yang terkatung-katung angin dan reruntuhan dedaunan.
Rhapsody senjakala yang tak seindah biasanya, menumbuhkan citra yang cukup membius seisi dada. Apalagi, wajahmu hari ini, masih saja tak berbinar seperti waktu-waktu sebelumnya.
Barangkali, akan lebih baik, jika apa yang kita sebut sebagai keinginan, untuk sementara ini disimpan dalam-dalam. Bukan dalam arti disimpan begitu saja, akan tetapi diolah dengan semestinya.
Olahan tentang keingingan, menandai ada yang perlu di proses. Dalam hal ini di pilah-pilih, mana yang seharusnya dan mana yang tidak semestinya.
Sorot matamu yang membuncah, tak lagi mampu menepis segala gundah. Hanya saja, rintik gerimis yang terlewati tadi, cukup mendinginkan jiwa dan raga yang perlahan terbunuh sepi.
Engkau dengan jelas paham, tentang siklus yang kerap membunuh perlahan. Apalagi, warna langit kali ini mendung, menciprat hati yang tengah dirundung kepedihan mendalam.
Akan tetapi, hanya satu dari sekian keindahan yang mampu menenangkan. Adalah wajahmu, yang selalu menyinari dikala gelap membersamai.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 25 November 2019.
Comments
Post a Comment