Debu-debu jalanan, letupan-letupan obrolan, riuh-rendah nada dan suara, menyatu dalam aktifitas sudut Kota Surakarta.
Sesaat setelah lampu-lampu dinyalakan, ternyata engkau masih menjadi sosok yang aku perjuangkan. Engkau adalah satu dari sekian cita, yang aku tempatkan pada catatan juang.
Nostalgia SMA, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, dan nama anak yang dulu sempat tersemat, kini lenyap. Setelah orang tuamu memberi keputusan sepihak.
Pedih pastinya, namun apalah daya, diriku hanyalah balungan kere semata. Dan, yang paling menyedihkan adalah, engkau rela memutus tali yang pernah kita sama-sama ikat.
Begitu mudahnya engkau berbohong pada rasamu sendiri. Begitu ringannya, tali ikatan itu, lepas begitu saja.
Cincin yang pernah aku sematkan pada jari manismu, kini terlepas dan terhempas, membersamai riuhnya angin di Surakarta.
Seketika itu juga, benak ini berfikir "bagaimana mungkin aku akan sanggup melupakanmu, bagaimana caranya?"
Entahlah, waktu itu aku hanya bisa membisu, menerima apa adanya atas sikapmu itu.
Mungkin, ini aku hanyalah angin lalu bagimu. Namun bagiku, engkau tetaplah rumah tempat rinduku merekah.
Tetapi kini, rumah itu hanyalah hiasan dinding hati, yang jelas tak mungkin lagi, menjadi tempatku merebahkan rindu yang menyesakkan dada.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 17 November 2019.
Comments
Post a Comment