Skip to main content

Apa Ada Angin di Surakarta (27)

Ada sederet makna yang tercelup dalam do'a. Selintas, hal tersebut terkesan biasa-biasa saja. Namun, terdapat impresi yang mengernyitkan seisi dada menyesak. 

Ini tentangmu. Tentangmu yang jauh disana. Tentangmu dan kenanganmu, membuat semesta bertanya, "adakah kalimat canda yang menyerta, dalam setiap jumpa?"

Nampaknya, tentangmu dan kenangmu itu, hanyalah ilusi saja. Ia hanyalah sekedar kalimat jiwa, yang menetap dalam rongga dada yang terluka. Bukan sebuah lukisan abstrak yang beralih dan beranjak, dari kegagalan meminangmu.

Tentu, ini bukan kesalahanmu. Ini murni kesalahanku, yang dengan tega meninggalkanmu, ditengah birunya cinta sedang menempuh geloranya. Aku tidaklah tega sebenarnya, namun apalah daya, keadaanlah yang memaksanya, untukku pergi meninggalkan histori yang pernah tercipta.

Aku meninggalkanmu waktu itu, sambil mengucap "barangkali, ini sudah jalannya". Seketika itu, air matamu menetes, mengaliri pipi halusmu. Semestapun ikut menderita waktu itu, menatap gadis manis dihadapanku, tengah menelan pedihnya perpisahan. Waktu itu juga, engkau hanya terdiam membisu. Mengecap rindu yang sepihak, mengenyam cinta yang pergi dalam sekejap.

Engkau tentunya mengerti, bahwa diriku bukanlah keabadian. Engkau pastinya lebih paham, kalau cinta tidak selamanya memahami, akan sebuah rindu yang menggema. Sedang, memiliki kehilangan, adalah menu sarapanmu setiap pagi tiba, sesaat setelah mata indahmu terbuka. 

Sesaat setelah aku menemuimu ditengah keriuhan Kota, engkau menarik jaket yang aku pegang. Katamu, "ini sebagai jaminan, bahwa diriku akan berpindah tempat esok harinya". Saat itu pun, sesak dada menelan pahitnya kehilangan, semakin mendera, menusuk jantung hati terdalam.

Sesampainya aku di Kota yang aku tuju, engkau menghubungiku berulang kali. Namun, tak satu pun pesan dan panggilan yang aku respon. Dalam hati, aku berkata, "maaf sayang, bukan maksudku begitu, ini hanyalah cara terbaik, agar engkau mampu melupakan diriku yang hina ini".

Kini, engkau yang kala itu, aku tinggalkan sendiri, lenyap dalam senyap, terseret debu-debu jalanan. Mungkin, saat ini engkau tengah memadu kasih dengan orang lain, yang jauh lebih baik dari diriku.

Dan tentunya, do'a aku sematkan pada kebahagiaanmu bersama dirinya. Semoga, tak lagi kau temukan orang yang hanya singgah sementara, seperti halnya diriku waktu itu.

Sekali lagi, maafkan aku, yang dahulu pernah menggores luka pada hatimu. Dan semoga, angin di Surakarta ini, mampu memberikan nafas baru, bagi dirimu, yang sudah 6 (enam) tahun tak bersuara. 

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 17 November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-