Betapa mudahnya dirimu memegang pundak kiriku waktu itu. Angin dan dedauan pohon kelapa, dengan amat jelas menjadi saksi bisu sentuhan tanganmu itu. Tak terkecuali, berpuluh pasang mata disana, ikut serta bersaksi dalam rentang hidupnya.
Mungkin, sangkaku, engkau khilaf. Namun, sangkaku salah. Engkau ternyata menikmati khilafmu itu. Dan aku, sialnya terlena akan kenimkatan khilaf yang engkau ajukan.
Diam-diam engkau memendam orientasi kebusukan. Pelan-pelan engkau memasuki, apa yany disebut "pendahuluan" dosa-dosa. Dan lagi-lagi, kesialanku datang kembali, engkau menikmati, sedang aku terlena kenikmatan.
Siapa yang menyangka, akan semua ini. Apakah itu karena sebabmu saja, atau juga sebabku? Ini pertanyaan yang cukup terlambat muncul.
Sebab, dosa termanis telah dan sampai pada titik nadir. Engkau tertawa, sedang aku terluka. Engkau berkelakar, sedang aku tercabik dan hancur.
Sungguh, malam itu menjadi kekelaman yang menghujam. Yang kemudian, angin di Surakarta ini, menertawai kekonyolan sikap dan tindakan malam itu.
Oh, kejamnya engkau, yang tega dan sengaja, melukai cinta dan rindu, milik sederet hati.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 24 November 2019.
Comments
Post a Comment