Seandainya waktu bisa di jeda, barangkali manusia akan menemui evaluasinya sendiri. Sayangya, sifat dan sikap waktu tidaklah demikian.
Ditengah era yang serba materialistik ini, dalam arti arus besarnya. Tidaklah mudah untuk menaruh manajerial yang paling kondusif, apalagi sistematika yang beradab. Bukan berarti tidak ada yang kondusif dan beradab, hanya saja, sekali lagi arus utama kita bukanlah itu.
Era yang oleh saintis sufistik dianggap "perang dunia ke-3", menjadikan kebringasan perut diposisikan sebagai yang utama. Lawan dari sifat dan sikap humanis, dalam pengertian praksis.
Pertentangan-pertentangan memang selalu ada, namun baik dalam makna fisik maupun psikis, dalam tribun sosiologis maupun antropologis.
Pertentangan dapat menarik konklusi, namun juga mampu mendorong distorsi yang baru sama sekali. Sedang, manusia yang "tulus", akan menuai initial noting: waspada orientasi.
Kita yang minim pengetahuan tentang masa depan, hendaknya saling "iba" satu sama lainnya. Dengan catatan, bukan dalam ruang dan dimensi yang eksploitatif, kebalikan dari kolaboratif.
"Perang dunia ke-3" ini, menandai begitu banyak clash. Itu sebenarnya alamiah saja, untuk tidak mengatakan setting-an dari elite konspirator.
Namun, dari itu semua (baca: perang dunia ke-3), titik maksimalitas yang dapat kita tempuh, adalah siaga dan waspada untuk menjaga "keamanan batin", dari guyuran deras orientasi materialistik.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 24 November 2019.
Comments
Post a Comment