Mendapat kepercayaan sebagai ketua RT, bukanlah tanggung jawab yang mudah untuk diemban. Apalagi, perkara yang diurus itu beraneka-ragam jenis dan spesifikasinya. Heterogenitas yang tak mungkin dapat dihindari, membuat uncertainty semakin menjadi-jadi.
Perkara yang mainstream belum usai digarap, sudah bermunculan perkara yang anti mainstream. Terkadang hal-hal yang mainstream saja dapat membuat pusing 8 keliling, apalagi yang anti mainstream, sesekali benar-benar ngrusak tatanan ati.
Ketua RT adalah panglima seluruh program kebijakan, jika khilaf kerap kali pula menjadi biang keladi kerusuhan. Tugas utamanya jelas, ialah mengamankan dan menyamankan satu sama lainnya.
Ditengah krisis stagnasi ide, ketua RT kita, terkadang memilih untuk ber-meditasi sejenak. Menepikan diri dari keramaian, untuk meminta wangsit kepada ilahi. Meminta petunjuk kepada semesta, perihal apa dan bagaimana keberlanjutan sikap dan laku yang terbaik untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Namun kali ini, upaya meditasi sang ketua RT terganggu, sebab ada satu dari kejadian yang pernah ia takuti, adalah menyangkut problem "amoral", yang dilakukan oleh salah dua masyarakatnya.
Problem amoral jelas merupakan problem kunci. Semacam titik kulminasi dari seluruh problem yang ada. Kalau sekadar stagnasi ide, itu tidaklah sulit, tinggal mengadakan discourse cilik-cilikan saja, itu sudah mampu menuai kebaruan narasi.
Yang kita sebut sebagai problem kunci diatas, terkadang tidak mampu di handel dengan mekanisme organisasi. Pun, kerap kesulitan untuk diredam menggunakan approach kekeluargaan. Sebab, morality itu menyangkut yang imanen dan transdenden, juga cultural bawaannya.
Kabar baiknya, ketua RT kita, saat ini tengah berusaha mencari resep paling mujarab untuk soal morality diatas. Ia masih terus mencari formula yang paling filosofis, dan humanis.
Yang paling njaremi ati, problem morality diatas, lebih sering "terlakukan" oleh mereka yang punya pengalaman, tentang seluk-beluk laku yang ia bidangi. Sedang ketua RT kita, minim pengalaman akan lelaku bidang itu.
Tetapi tenang sajalah, toh empirisme tak melulu menang melawan rasionalisme. Jadi, perangkat literasi kausalitas yang dimiliki ketua RT kita, cukup bisa reliable, untuk melerai problem, seminimal-minimalnya, upaya logic untuk menghadirkan perlindungan.
Karena yang paling berharga dari itu semua, ketua RT kita punya cinta yang melampaui, yang semata-mata ia hadirkan untuk terjaganya kondusifitas arena belajar bagi masyarakatnya.
Kita patut bersyukur, bahwa ketua RT kita itu, masih punya nafas naluri yang normal. Tidak seperti, beberapa manusia yang ada disekitarnya.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 26 November 2019.
Comments
Post a Comment