Selepas kepergianmu, cuaca disini sontak tidak menerima akan putusan yang engkau berikan itu. Seolah menandai kalahnya sebuah usaha, yang dahulunya sama-sama kita semai bersama.
Aku yang menaruh harapan besar kepadamu, akan mimpi-mimpi keindahan pelangi, kini musnah sudah. Engkau ternyata lebih memilih untuk memisahkan, tali ikat janji-janji yang pernah terhubung amat kencang.
Cuaca tak menerima, sedang angin pun cemburu. Menyaksikan keterputusan sumpah setia, yang sempat kita sama-sama ucap. Nyatanya, bibir ini belum sepenuhnya kering, akan kalimat-kalimat sumpah setia itu.
Walaupun betapa pahit kenyataan ini, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya, apa adanya, menyaksikan engkau bahagia bersamanya.
Agaknya, kita perlu merungkan arti kesetiaan. Terutama, pada janji yang telah tiba pada relung hati terdalam.
Lebih-lebih, patutnya kita malu, akan semua hal yang pernah kita upayakan, yang kesemuanya itu, disaksikan dengan romantic oleh angin di Surakarta ini.
Semoga, denting waktu yang terus berjalan, menyembuhkan luka dan kepedihan, atas semua kegaduhan dunia, oleh sebab kepergianmu.
Dan semoga, angin di Surakarta ini, mampu mengeringkan luka, yang sampai saat ini, masih basah, oleh derai tangis yang mengaliri seisi pipi.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 23 November 2019.
Comments
Post a Comment