Apa yang terlihat, dan apa yang terdengar, belum tentu itu yang terjadi. Maka tidak heran, kalau Agama memberi sinyalamen agar kita menaruh "tabayun", dalam tiap-tiap peristiwa.
Tabayun tersebut, menandai satu dari sekian peristiwa yang membutuhkan clarity. Supaya, bersih dan murni kegelapan yang mendera fenomena.
Dari sikap tabayun itu, dapat diperoleh momentum untuk mengambil jeda, terlebih dalam konteks ruang dan waktu yang ada.
Ketidakabadian dunia dan seisinya, pun menempatkan secara absolut, tentang makna sejati perubahan.
Perubahan yang berangkat dari kata "ubah", memiliki definisi yang meluas. Dalam arti, selalu mengikuti arus situasi dan kondisi.
Pun, perubahan tersebut, menyingkap fakta yang denotatif sekaligus kenotatif. Terkadang primer, acapkali juga sekunder.
Ketepatan sikap manusia terhadap presisi primer dan sekunder, akan berimplikasi pada nada yang menyejukkan jiwa dan raga.
Akan berbeda, jika yang primer di sekunderkan, sedang yang sekunder di primerkan.
Disitulah, letak siap dan siaga, atas benturan kecil maupun besar, pada gejala psikis kita. Apalagi, ditengah uncertainty kehidupan mutakhir ini, sangat amat diperlukan.
Hendaknya, yang konotasi lekatkan pada kata perubahan, menjadi satu dari sekian juta perhatian. Utamanya, pada ambang sadar kita, dalam menapaki tiap-tiap initial noting realitas, yang kerapkali ganas dan bernas.
Namun, apakah siang dan malam itu, adalah hal yang berlainan? Atau, justru malah lebih manunggal, ketimbang angka satu?
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 23 November 2019.
Comments
Post a Comment