Skip to main content

Posts

Apa Ada Angin di Surakarta (34)

Nampak dengan amat jelas, gambar kongkret wajahmu. Keluguan dan keprofesionalan, adalah satu kesatuan. Mengintegral, membaur dalam sorot mata, warna wajah, dan kebakuan ucap, pun pada gimik tubuh. Awalnya canggung, lama-lama nanggung. Awalnya sayup-sayup senyum, lama-lama sodoran kelakar kagum. Bening matamu, putih wajahmu, legit senyummu, terangkum dalam satu temu waktu itu. Siang dan sore. Itu saja, sementara. Sebab, angin Surakarta malam ini, agaknya merasa terganggu proses semedinya, oleh karena guyuran gerimis yang diam-diam mampu dengan lugas, menepis benang merah wajahmu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 29 November 2019.

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (6)

"Biarlah kulangitkan rindu Dan biarlah hujan menetes dari balik iris hitammu Masih saja kurenungkan disini Asa-asa yang harus kurajut kini dan esok hari Tanpa mengijinkan mimpi untuk lebih dulu merajut bulu mataku Tak perlu menunggu waktu lebih lama Tak ingin seperti kemarin Seperti saat kuseduh rindu dengan hangatnya senja Ketika aromanya pun mulai bercerita Tentang hitam pekat kopimu Tentang kita yang duduk berhadapan Sedang kita tak kunjung beradu pandang Dan kamu, masih saja menatap kura-kura yang sibuk tengkurap di cangkang" Begitulah katamu, yang engkau kirimkan kemarin hari. Sebuah sajak paling menggurita, dipenghujung sela-sela rindu yang tengah menyesak di dada. Sedang, sesaat aku membacanya, sontak, angin di Surakarta pun, begitu cemburu. Oleh karena rambu cinta, yang melukis pelangi di pekatnya hari. Dan sekejap, bunga-bunga pun berjatuhan. Katanya, tak lagi kuat, menanti dan menahan, hangatnya pertemuan. Wallohu a...

Rhapsody Gulita (4)

Entah dengan bahan baku apa, Tuhan meracik ciptaan-Nya, sampai-sampai tepat di bawah hidungmu, terdapat pelangi yang merakah. Jelas tergambar, mercusuar yang menyinari seluruh ruangan, adalah muncul dari balik indah senyumanmu. Semacam jus strawbery yang baru saja dihidangkan, senyummu mampu melepas dahaga kepedihan.  Melebar dan meluas, kedalam sekujur pori-pori hati. Tapi, sungguh sayang, itu hanyalah sekejap.  Apapun itu, yang jelas, keindahan malam ini, mencipta rhapsody yang mampu menabur bunga, sehingga aku dan nafasku terjatuh kedalam imaji antah-barantah. Hah!? Bodohnya aku ini, yang tak berani, membersamaimu malam ini. Beruntungnya, robusta lampung dihadapan, mampu sedikit meredam rasa rindu yang membuncah, oleh karena senyummu yang kerap bersambung. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 28 November 2019.

Kuasa Panglima, Kuasa Ala Kadarnya.

Resiko menjadi berpengalaman, adalah dimintai pengalaman. Sah-sah saja. Namun, yang mesti dipahami, ialah tentang masa pada masing-masing rentang waktu, amatlah berbeda. Walaupun, unsur-unsurnya ada yang memiliki kesamaan demi kesamaan. Salah satu anak muda yang berparas normal, waktu itu mendatangi Pak Simad yang tengah "menanti wangsit". Anak muda itu, datang ke Simad bermaksud untuk meminta petuah, arah dan petunjuk.  Anak muda ini, konon berkeinginan menjadi "panglima tertinggi", dalam suatu cipratan kebudayaan. Kita sebut saja, sebuah komunitas yang beranggotakan anak muda juga. "Pak Simad, saya minta masukannya dong", kata anak muda tadi, sambil memegang kreteknya. Pak Simad yang relatif halus itu, menimpali dengan halus pula. Ia mendahului jawaban untuk anak muda tadi, dengan sebuah kronologi dan fenomena yang kerap terjadi pada anak muda lainnya. Adalah mengenai "kiblat" pemikiran. "Saya menemui, anak-anak muda b...

Rhapsody Gulita (3)

Kerap kali ada diksi-diksi yang tak mampu terucap dalam kata. Apalagi, saat engkau dengan teduhnya menatap. Sesekali mulut terbata, berulangkali justru hati tersundut gagap, pun tingkah beralih menjadi gugup tak beraturan. Apa yang terjadi gerangan? Sulit untuk disulut, malah-malah kretek selalu menjadi pelampias dahaga rindu, yang jelas engkau suguhkan. Bukan hanya tersuguh beberapa kali, namun setiap hari. Berulang kali, titik dada mengelupas menjadi sari-sari rasa, yang terperas oleh papas dari parasmu. Bahkan, yang paling signifikan adalah, kelakar-kelakar manja perihal senyummu yang tertetes. Membuat denyut jantung, terhenti untuk sementara. Betapa mudahnya, hati yang telah mantap pada posisinya, beralih menuju purnama senyummu.  Entah karena cahaya yang memancar dan menyerbak, atau tentang candu yang diam-diam membunuh? Bukan! Ini bukanlah salahmu, ini jelas salahku! Salahku, yang menaruh ranjau rindu, diatas tepian danau kala itu. Dan kini, senyummu ...

Initial Noting: Topeng Konformitas.

Disela-sela meniti karir menjadi kuli kedai, ada sederet fenomena yang tercecer. Diantara itu semua, ada satu dari sekian banyak yang bertransformasi menjadi initial noting.  Adalah makna topeng dan segala ekspresinya, dalam rentang perjalanan hidup ini. Topeng adalah alat peraga peran, dalam pertunjukkan drama teatrikal. Menjadi manusia yang bertopeng lebih dari satu, bukanlah pekerjaan yang bisa dibilang simple. Tidak bisa dibilang simple, dalam artian "ketika dijelaskan menggunakan verbatim". Karena itu lebih dari sekadar kata, namun sudah berwujud lelaku. Soal topeng yang lebih dari satu, kata kunci yang hadir adalah profesionalisme. Sebelum kata "muna" melabel. Sebab, seekor Bunglon tidak bisa dibilang "muna", karena ia hanya menjalankan taqdirnya, untuk mampu survive ditengah segala kondisi alam. Kata sebagian saintis, topeng manusia hanya satu. Sedang pada realitanya, topeng itu bisa beribu-ribu, sangat elastis menyesuiakan ir...

Kabar Terakhir, Hanya Penjahat.

Desa saya, secara geografis tidak atau belum terdeteksi oleh sistem GPS. Sebab, GPS hanya mampu membaca letak benda mati, melalui kecanggihan satelitnya. Sedang Desa saya, merupakan sebuah kerumunan orang yang jelas tidak stag dalam satu letak dan lokasi. Umur Desa saya yang cukup tua, membuat pengalaman demi pengalaman terukir dan tercatat oleh sejarah. Baik itu pengalaman manis, maupun pahit. Baik itu tercatat secara teks, maupun lewat omong ke omong. Pengalaman manis sejauh ini, alhamdulillahnya lebih banyak secara kuantitatif, apabila dibandingkan dengan pengalaman buruknya.  Namun, yang menjadi perhatian paling signifikan, sekaligus menyita energi, adalah pengalaman pahit. Itu alamiah manusia yang masih di ambang normal. Pengalaman pahit di Desa saya, cukup banyak. Diantaranya kelesuan anggota masyarakat untuk menghadirkan spirit keagaamaan, kemalasan akan literasi, kegagapan pada isu kontemporer, ekonomi yang masih hobby minus, serta beberapa masyarakatnya ...

Apa Ada Angin di Surakarta (33)

Kuda-kuda batin macam apa yang paling ampuh, untuk menahan sesaknya nalar oleh serangan tatap matamu.  Tatap matamu itu, semacam sinar purnama yang menyorot seisi bumi jiwa. Menerkam hati yang kalut, mencuat ke seluruh pelosok dada yang lembab oleh tangis. Kau tersenyum, sedang aku termenung. Kau menatap, sedang aku tak mampu sedikitpun berkecap. Dan, kau menoleh, disitulah aku diam-diam memperhatikanmu. Entah, apa ada angin di Surakarta? Yang jelas, malam ini kamu sedang cantik-cantiknya. Sedang, bunga ditepi jalan pun, cemburu menyaksikan dirimu yang tengah berbinar. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 26 November 2019.

Tenang! Ketua RT Kita, Masih Nomal.

Mendapat kepercayaan sebagai ketua RT, bukanlah tanggung jawab yang mudah untuk diemban. Apalagi, perkara yang diurus itu beraneka-ragam jenis dan spesifikasinya. Heterogenitas yang tak mungkin dapat dihindari, membuat uncertainty semakin menjadi-jadi. Perkara yang mainstream belum usai digarap, sudah bermunculan perkara yang anti mainstream. Terkadang hal-hal yang mainstream saja dapat membuat pusing 8 keliling, apalagi yang anti mainstream, sesekali benar-benar ngrusak tatanan ati. Ketua RT adalah panglima seluruh program kebijakan, jika khilaf kerap kali pula menjadi biang keladi kerusuhan. Tugas utamanya jelas, ialah mengamankan dan menyamankan satu sama lainnya. Ditengah krisis stagnasi ide, ketua RT kita, terkadang memilih untuk ber-meditasi sejenak. Menepikan diri dari keramaian, untuk meminta wangsit kepada ilahi. Meminta petunjuk kepada semesta, perihal apa dan bagaimana keberlanjutan sikap dan laku yang terbaik untuk masyarakat yang dipimpinnya. Namun kali in...

Rhapsody Senjakala (2)

Jalanan Solo-Yogya, masih cukup menyita berpuluh perhatian. Kali ini, warna langit tak seperti biasanya. Walaupun, rhapsody senjakala terus-menerus menyusun ritmenya. Sebuah ritme, perihal temu yang terkatung-katung angin dan reruntuhan dedaunan. Rhapsody senjakala yang tak seindah biasanya, menumbuhkan citra yang cukup membius seisi dada. Apalagi, wajahmu hari ini, masih saja tak berbinar seperti waktu-waktu sebelumnya. Barangkali, akan lebih baik, jika apa yang kita sebut sebagai keinginan, untuk sementara ini disimpan dalam-dalam. Bukan dalam arti disimpan begitu saja, akan tetapi diolah dengan semestinya. Olahan tentang keingingan, menandai ada yang perlu di proses. Dalam hal ini di pilah-pilih, mana yang seharusnya dan mana yang tidak semestinya. Sorot matamu yang membuncah, tak lagi mampu menepis segala gundah. Hanya saja, rintik gerimis yang terlewati tadi, cukup mendinginkan jiwa dan raga yang perlahan terbunuh sepi. Engkau dengan jelas paham, tentang siklu...

Apa Ada Angin di Surakarta (32)

Betapa mudahnya dirimu memegang pundak kiriku waktu itu. Angin dan dedauan pohon kelapa, dengan amat jelas menjadi saksi bisu sentuhan tanganmu itu. Tak terkecuali, berpuluh pasang mata disana, ikut serta bersaksi dalam rentang hidupnya. Mungkin, sangkaku, engkau khilaf. Namun, sangkaku salah. Engkau ternyata menikmati khilafmu itu. Dan aku, sialnya terlena akan kenimkatan khilaf yang engkau ajukan. Diam-diam engkau memendam orientasi kebusukan. Pelan-pelan engkau memasuki, apa yany disebut "pendahuluan" dosa-dosa. Dan lagi-lagi, kesialanku datang kembali, engkau menikmati, sedang aku terlena kenikmatan. Siapa yang menyangka, akan semua ini. Apakah itu karena sebabmu saja, atau juga sebabku? Ini pertanyaan yang cukup terlambat muncul. Sebab, dosa termanis telah dan sampai pada titik nadir. Engkau tertawa, sedang aku terluka. Engkau berkelakar, sedang aku tercabik dan hancur. Sungguh, malam itu menjadi kekelaman yang menghujam. Yang kemudian, angin di Sura...

Initial Noting: Waspada Orientasi.

Seandainya waktu bisa di jeda, barangkali manusia akan menemui evaluasinya sendiri. Sayangya, sifat dan sikap waktu tidaklah demikian. Ditengah era yang serba materialistik ini, dalam arti arus besarnya. Tidaklah mudah untuk menaruh manajerial yang paling kondusif, apalagi sistematika yang beradab. Bukan berarti tidak ada yang kondusif dan beradab, hanya saja, sekali lagi arus utama kita bukanlah itu. Era yang oleh saintis sufistik dianggap "perang dunia ke-3", menjadikan kebringasan perut diposisikan sebagai yang utama. Lawan dari sifat dan sikap humanis, dalam pengertian praksis. Pertentangan-pertentangan memang selalu ada, namun baik dalam makna fisik maupun psikis, dalam tribun sosiologis maupun antropologis. Pertentangan dapat menarik konklusi, namun juga mampu mendorong distorsi yang baru sama sekali. Sedang, manusia yang "tulus", akan menuai initial noting: waspada orientasi. Kita yang minim pengetahuan tentang masa depan, hendaknya salin...

Initial Noting: Kulminasi Tinggi Rendah.

Akan selalu ada titik kulminasi dalam setiap pergumulan, dari yang mikro sampai yang makro. Bahkan tak terkecuali, pada setiap diri manusia. Kulminasi itu, semacam menandai adanya sebuah revolusi, bukan sekadar reformasi. Kalai sudah revolusi, maka potensialitasnya bisa sampai "berdarah-darah". Yang saya maksud sebagai kulminasi disini, jelas dalam artian yang konotatif. Bisa bermakna jatuh sejatuh-jatuhnya, atau berarti naik senaik-naiknya. Lagi-lagi "sikap" lah yang akan mampu "berbicara banyak".  Layaknya lapar, akankah selalu menunjuk pada si miskin, atau bisa menunjuk pada si kaya? Miskin dan kaya disini, apakah hanya ekonomi an sich? atau ada indikasi lain, dari sekadar soal perut? Mungkinkah soal ketenangan hidup, akan menjadi primer?  Nampaknya, arus besar kita belum beranjak kesana. Dengan realitas ini, seminimal-minimalnya, kita memperoleh insight, untuk manaruh waspada dan siaga, khususnya terhadap dinamika yan...

Initial Noting: Konotasi Perubahan.

Apa yang terlihat, dan apa yang terdengar, belum tentu itu yang terjadi. Maka tidak heran, kalau Agama memberi sinyalamen agar kita menaruh "tabayun", dalam tiap-tiap peristiwa. Tabayun tersebut, menandai satu dari sekian peristiwa yang membutuhkan clarity. Supaya, bersih dan murni kegelapan yang mendera fenomena. Dari sikap tabayun itu, dapat diperoleh momentum untuk mengambil jeda, terlebih dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Ketidakabadian dunia dan seisinya, pun menempatkan secara absolut, tentang makna sejati perubahan.  Perubahan yang berangkat dari kata "ubah", memiliki definisi yang meluas. Dalam arti, selalu mengikuti arus situasi dan kondisi. Pun, perubahan tersebut, menyingkap fakta yang denotatif sekaligus kenotatif. Terkadang primer, acapkali juga sekunder. Ketepatan sikap manusia terhadap presisi primer dan sekunder, akan berimplikasi pada nada yang menyejukkan jiwa dan raga. Akan berbeda, jika yang primer di sekunder...

Apa Ada Angin di Surakarta (31)

Selepas kepergianmu, cuaca disini sontak tidak menerima akan putusan yang engkau berikan itu. Seolah menandai kalahnya sebuah usaha, yang dahulunya sama-sama kita semai bersama. Aku yang menaruh harapan besar kepadamu, akan mimpi-mimpi keindahan pelangi, kini musnah sudah. Engkau ternyata lebih memilih untuk memisahkan, tali ikat janji-janji yang pernah terhubung amat kencang. Cuaca tak menerima, sedang angin pun cemburu. Menyaksikan keterputusan sumpah setia, yang sempat kita sama-sama ucap. Nyatanya, bibir ini belum sepenuhnya kering, akan kalimat-kalimat sumpah setia itu. Walaupun betapa pahit kenyataan ini, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya, apa adanya, menyaksikan engkau bahagia bersamanya. Agaknya, kita perlu merungkan arti kesetiaan. Terutama, pada janji yang telah tiba pada relung hati terdalam. Lebih-lebih, patutnya kita malu, akan semua hal yang pernah kita upayakan, yang kesemuanya itu, disaksikan dengan romantic oleh angin di Surakarta ...

Initial Noting: Rentang Siklus.

Sebagai pengembara kehidupan, setidaknya kita akan menemui 2 hal, khususnya dalam konteks masa. Adalah "masa lalu" dan "masa depan". Jalan yang membentang dan rangkaian siklus yang terlewati, merupakan satu dari sekian banyak hal yang memberi makna. Hal tersebut, berjalan secara autommaticly. Kerap kali malah tanpa disadari. Manusia terbentuk oleh lingkungan, dan manusia membentuk lingkungannya. Dua hal yang jelas selalu berkelindan, baik langsung maupun secara implisit. Saat seseorang memakan coklat, secara sadar maupun tidak sadar, ia akan terpengaruh oleh kandungan kimiawi, kemudian berimplikasi pada mekanisme fisiologisnya. Satu siklus terlewati, yaitu kinerja mulut, dan skema kerja pencernaan. Begitu pula pada hal lainnya, misalnya saat seseorang duduk diatas kursi, sembari mendengarkan musik, maka pada rentang waktu tersebut, terdapat siklus pendengaran dan pemaknaan. Pendeknya, akan selalu ada initial noting, dalam pergumulan dan permenun...

Rhapsody Gulita (2)

Lagi-lagi, dengan amat sangat terpaksa, rhaspody itu hadir kembali. Dan, lagi-lagi aku harus mengatakan dengan gamblang, bahwa hiasan dinding yang indah itu, bukanlah lawan tandingmu. Kerudung merah, kaca mata bulat, dan tatap anggunmu itu, jelas menusuk se-isi nurani. Engkau disana, sedang aku disini. Disini, di sisi gulita malam yang gelap.  Kalaupun boleh menoleh, tentu saja jiwa dan raga ini tak menolaknya. Namun, hal itu adalah kesalahan.  Sebab, engkau bukanlah sendiri, melainkan bersamanya. Sedang, lampu-lampu pun jelas mencemburui hal itu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 21 November 2019.

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (5)

Wajah jalanan di komplek Stasiun Solo Balapan, kali ini cukup lenggang. Menandai, dini hari telah tiba.  Dini hari adalah sebelum cahaya. Sebelum sayup-sayup penduduk, memulai aktifitas yang ragam jenisnya. Ditengah lalu-lalang yang cenderung lenggang ini, nampaknya diri ini masih menyimpan timbunan memori yang cukup merimbun.  Terlebih, pada ucap janji yang telah tergores. Tentang asa untuk sesegera menjumpaimu, di tanah kelahiranmu, tanah kelahiran kita. Asa yang akan sama-sama kita upayakan itu, sudah dan telah kita sematkan dalam dada.  Kadangkala, rindu membuncah dan merekah. Pun, rindu itu kerap menyesakkan dada, oleh karena jiwa ini menghirup manisnya aromamu. Satu hal yang pasti selalu memberi konklusi, adalah senyumanmu, pipi kemerahanmu, dan gelang bertali hitam yang sampai sekarang masih aku simpan. Wallohu a'lam. Surakarta, 21 November 2019.

Rhapsody Gulita (1)

Sesaat setelah nada dan suara riuh-rendah, mulai terhimpit gulita, kau menjadi satu dari sekian purnama. Indahmu natural, senyummu merekah, sedang tatapmu menyala. Barangkali, musuh terbesar hiasan-hiasan dinding, adalah parasmu yang lugu itu. Engkau yang datang membawa tas kecil dipundakmu, menyapaku dengan lembut. Apakah gerangan semua ini? Apa iya, ini hanyalah sebuah imaji yang meng-ilusi? Atau, semacam surga cinta yang hadir, dikala gulita menjumpai? Nyatanya, rhapsody kembali hadir membersamai angin disini. Iya disini, tepat dihadapanmu sayangku. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.

Rhapsody Senjakala (1)

Tepat setelah gerimis mengguyur seluruh dedaunan, kau masih menjadi satu dari sekian banyak perhatian. Senandung lagu cinta, menjadi titik paling rhapsody. Engkau tau, aku selalu memujamu. Dalam gelap gulitanya, denting sang waktu. Romantic tone. Adalah nada dan suara, yang terpadu dalam simphony cinta. Pertemuan denganmu malam itu, tentu masih menjadi memori termanisku. Waktu itu, engkau memintaku untuk menuliskan sajak cinta untukmu. Dan aku, tentu menyanggupi kehendakmu itu. Namun, tepat sesaat setelah aku kirimkan sajak cinta itu, kau memberi sinyal yang teramat pahit untukku telan. Yaitu, tentang pilihan hatimu. Engkau memilihnya, dengan alasan ketepatan waktu. Katamu, diriku terlambat. Katamu juga, diriku lebih tepat jika harus tidak memilikimu seutuhnya. Kala itu, pena dan tinta menjadi saksi, betapa rhapsody yang aku bangun, runtuh seketika. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 20 November 2019.