"Biarlah kulangitkan rindu
Dan biarlah hujan menetes dari balik iris hitammu
Masih saja kurenungkan disini
Asa-asa yang harus kurajut kini dan esok hari
Tanpa mengijinkan mimpi untuk lebih dulu merajut bulu mataku
Tak perlu menunggu waktu lebih lama
Tak ingin seperti kemarin
Seperti saat kuseduh rindu dengan hangatnya senja
Ketika aromanya pun mulai bercerita
Tentang hitam pekat kopimu
Tentang kita yang duduk berhadapan
Sedang kita tak kunjung beradu pandang
Dan kamu, masih saja menatap kura-kura yang sibuk tengkurap di cangkang"
Begitulah katamu, yang engkau kirimkan kemarin hari.
Sebuah sajak paling menggurita, dipenghujung sela-sela rindu yang tengah menyesak di dada.
Sebuah sajak paling menggurita, dipenghujung sela-sela rindu yang tengah menyesak di dada.
Sedang, sesaat aku membacanya, sontak, angin di Surakarta pun, begitu cemburu.
Oleh karena rambu cinta, yang melukis pelangi di pekatnya hari.
Oleh karena rambu cinta, yang melukis pelangi di pekatnya hari.
Dan sekejap, bunga-bunga pun berjatuhan. Katanya, tak lagi kuat, menanti dan menahan, hangatnya pertemuan.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 29 November 2019.
Comments
Post a Comment