Kerap kali ada diksi-diksi yang tak mampu terucap dalam kata. Apalagi, saat engkau dengan teduhnya menatap. Sesekali mulut terbata, berulangkali justru hati tersundut gagap, pun tingkah beralih menjadi gugup tak beraturan.
Apa yang terjadi gerangan? Sulit untuk disulut, malah-malah kretek selalu menjadi pelampias dahaga rindu, yang jelas engkau suguhkan. Bukan hanya tersuguh beberapa kali, namun setiap hari.
Berulang kali, titik dada mengelupas menjadi sari-sari rasa, yang terperas oleh papas dari parasmu. Bahkan, yang paling signifikan adalah, kelakar-kelakar manja perihal senyummu yang tertetes. Membuat denyut jantung, terhenti untuk sementara.
Betapa mudahnya, hati yang telah mantap pada posisinya, beralih menuju purnama senyummu.
Entah karena cahaya yang memancar dan menyerbak, atau tentang candu yang diam-diam membunuh?
Bukan! Ini bukanlah salahmu, ini jelas salahku! Salahku, yang menaruh ranjau rindu, diatas tepian danau kala itu.
Dan kini, senyummu perlahan redup, membersamai lalu-lalang kendaraan, di penghujung pergantian malam dan siang.
Rhapsody gulita, lagi-lagi muncul dengan amat tega, yang dengan jelas sengaja, menggurui derita.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 27 November 2019.
Comments
Post a Comment