Desa saya, secara geografis tidak atau belum terdeteksi oleh sistem GPS. Sebab, GPS hanya mampu membaca letak benda mati, melalui kecanggihan satelitnya. Sedang Desa saya, merupakan sebuah kerumunan orang yang jelas tidak stag dalam satu letak dan lokasi.
Umur Desa saya yang cukup tua, membuat pengalaman demi pengalaman terukir dan tercatat oleh sejarah. Baik itu pengalaman manis, maupun pahit. Baik itu tercatat secara teks, maupun lewat omong ke omong.
Pengalaman manis sejauh ini, alhamdulillahnya lebih banyak secara kuantitatif, apabila dibandingkan dengan pengalaman buruknya.
Namun, yang menjadi perhatian paling signifikan, sekaligus menyita energi, adalah pengalaman pahit. Itu alamiah manusia yang masih di ambang normal.
Pengalaman pahit di Desa saya, cukup banyak. Diantaranya kelesuan anggota masyarakat untuk menghadirkan spirit keagaamaan, kemalasan akan literasi, kegagapan pada isu kontemporer, ekonomi yang masih hobby minus, serta beberapa masyarakatnya yang memilih berpindah ke lain Desa, sebab tidak betah dan merasa tidak terpenuhi kebutuhannya.
Perkembangan dan kemajuan Desa, sebenarnya terus digalakkan dari waktu ke waktu. Evaluasi dan inovasi jelas rutin dibicarakan dan diupayakan, entah dalam bentuk narasi, pun dalam aspek aksi.
Akan tetapi, yang namanya manusia, tentu tidak bisa tidak pernah tertidur, atau seminimal-minimalnya ngantuk terhadap keadaan disekelilingnya. Maka, disitulah terjadi perampokan.
Pelaku yang menjadi perampok, umumnya kita namakan sebagai penjahat. Walaupun Desa saya ini cukup senior secara umur, namun tetap saja tidak menutup kemungkinan untuk terkecoh situasi dan kondisi.
Perampokan yang belum lama ini terjadi di Desa saya, bukanlah perampokan biasa. Kalau perampokan biasa, paling hanya mengambil harta ataupun yang lebih kongkret adalah uang.
Di Desa saya, perampokannya ialah menyangkut "masa depan wanita", bahasa fulgarnya keperawanan sang wanita.
Kalau ditelisik asbabun nuzul, kenapa keperawanan bisa sampai terrampok, jelas memiliki jawaban yang berragam. Bisa karena khilaf yang terfasilitasi, atau selain dari pada itu. Yang jelas, dari dua hal asbab diatas, yang paling intens terjadi adalah oleh karena khilaf yang terfasilitasi itu.
Khilaf yang terfasilitasi itu, maksud saya adalah si laki-laki merayu, sedang si perempuan menikmati rayuan. Entah, si laki-laki ini bermain fair (baca: tidak memakai jimat), atau memakainya. Itu bukan masuk dalam pembahasan kita.
Perampokan terhadap keperawanan perempuan di Desa saya, bukanlah hal yang pertama. Namun sudah terjadi beberapa kali. Mirisnya, hal tersebut dilakukan oleh orang yang cukup terpandang dan bisa dibilang menjadi pusat perhatian sebagian besar masyarakat Desa.
Ini problem yang cukup mengernyitkan dahi Mas Kepala Desa (KaDes), sesaat setelah si korban memberitakan. Mas KaDes, kemudian tidak diam begitu saja. Ia langsung bergegas menemui si korban perampokan itu, kemudian menanyakan kronologi kejadian.
Si korban menuntut agar pelaku dijatuhi hukuman yang berat, sedang Mas KaDes menarik nafas panjang, tanda ia tengah manaruh pertimbangan. Sebab, bagi Mas KaDes, ini merupakan kasus yang amat berat, karena yang menjadi pelaku adalah mantan teman dekatnya.
Sementara Mas Kades sedang berusaha mencari formula terbijak, sebagian masyarakat termlongo-mlongo atas skandal yang terjadi di Desa saya itu. Sebagian lainnya, berdo'a untuk kasus ini tidak terulang lagi, sembari menyodorkan berbagai solusi.
Sesaat setelah si korban berpisah dengan Mas Kades, semenjak itulah imaji dan logika Mas Kades beralih pada Desa tetangga, yang ternyata sudah lebih berpengalaman mengalami kasus semacam dan sejenis.
Dari kasus perampokan itu, nampaknya bukan hanya korban yang tengah dilanda badai ujian, namun badai ujian itu, ternyata juga berlaku bagi Mas Kades, pun berlaku bagi si pelaku. Tentu dalam presisinya masing-masing.
Moral!? Bah.
Jelas, tidak memandang cover.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 27 November 2019.
Comments
Post a Comment