Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2020

Gulungan Kolom

Pertengahan 2017, saya pernah sangat 'bernafsu' mengumpulkan kliping koran pada kolom opini. Sejauh yang saya ingat, dalam beberapa hari, ada ratusan lembar yang terkumpul. Wajar saja, karena saya cukup rajin datang ke gudang salah satu balai desa di Purbalingga, sembari KKN. Satu koran, terdapat satu kolom opini. Disana, saya rajin membawa gunting kecil milik Pak Kades. Semata-mata untuk menggunting khusus di kolom opini saja. Ratusan lembar kliping itu, saya gulung setiap harinya. Ada yang sudah di baca, ada yang sekadar di tumpuk dulu.  Gulungan kliping itu, kini masih ada di Solo. Sengaja dulu saya bawa dari Purwokerto, sebagai penambah referensi hidup. Sebab, penulis kolom opini itu, beragam profesi. Walaupun, mayoritas adalah produk sekolah mainstream kita. Syahdan, sudah sejak lama saya ingin memiliki perpustakaan sendiri di depan rumah. Dan berharap, kolom opini tadi bisa menjadi salah satu jenis koleksinya. Termasuk majalah-majalah sastra yang sempat saya ...

Beranjak Tua

Beranjak tua, kita disuguhi pelbagai curiga. Entah tentang cinta, juga perihal cita. Menuju masa nanti, kita mendapati kefanaan diri. Mengeja tanda, menapaki jejak mendaki. Dirimu juga diriku mengerti, ini tidak mudah. Apalagi, detik demi detik terlalui begitu saja, dan terkadang melindas lepas tak semestinya. Kita, seharusnya paham betul, akan dinginnya malam yang mencekam. Disana, kau dan aku sama-sama sempat merasakan, betapa romansa membunuh satu persatu janji, di kala sungai duka membasahi dada yang setia menanti.  Kini, alam membias fatamorgana. Betapa menua, menjadikan kita semakin sadar, akan ada masa di depan sana, dimana daun-daun jatuh ikut serta merasakan kehadiran rasa kita, yang membersama jejak rumah menuju kota. ***Banyumas, 28 April 2020.

Kembali Cahaya

Dahulu, kita sempat memejam mata, di kala rindu itu ada. Kita sempat sama-sama tertegun, misalnya saat meminum air putih di kota perantauan, sembari terbayang masing-masing dari kita tersenyum merekah. Dahulu, ada malu yang selalu hadir ditengah deru ramai kampus itu. Misalnya, saat kita tak sengaja berpapasan di depan gedung perpustakaan.  Disana, aku pernah mencuri pandangku menujumu, sesekali pura-pura tak melihat, padahal dengan amat jelas, dari kejauhan kita sudah saling tatap. Dahulu, kita mungkin saling sembunyi mengirim do'a, berharap tak seorangpun mengetahuinya, termasuk diantara kita, kecuali diketahui oleh Tuhan yang Maha. Dahulu, dahulu. . . Dahulu jelas berbeda, dengan kini. Kita, barangkali tak saling mengerti betul tentang cinta. Mungkin pula, tak saling memahami benar, akan makna rindu yang tersemat pada Adam dan Hawa. Tetapi cahaya. . . Betapa terkadang, hati ini larut padamu. Ia kerap dipersimpangan, antara mengikhlaskan atau me...

Pura Pura Manusia

Secara angka, saya tidak mengetahui dengan detail berapa banyak orang yang terkena PHK oleh tempat ia bekerja, namun yang jelas angkanya tidaklah sedikit.  Pun, pada mereka yang kehilangan mood-nya dalam belajar di sekolah maupun kampus. Beberapa orang memilih bunuh diri, oleh karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan keadaan akhir-akhir ini. Syahdan, semua berubah sama sekali. Beberapa orang kemudian menilai sesuai kemampuannya. Secara garis besar, terdapat 2 (dua) pendapat yang berkembang di masyarakat kita, dalam menilai keadaan per-sebulan terakhir ini. Pertama, mereka menilai ini adalah konspirasi elite global. Kedua, menilai ini merupakan teguran dan ujian dari Tuhan.  Dari kedua pendapat tersebut, terdapat kesamaan. Adalah mereka sama-sama tidak "berdaya", untuk menjadi pahlawan ditengah keadaan ini. Kecuali, kontribusi kecil sesuai bidangnya. Tetapi, semoga penilaian saya salah. Karena tentu, kita mengharapkan ada 'something' dari manapun ia ber...

Keberatan Menjadi Indonesia

Bukan barang yang mudah untuk mampu menerima keadaan sulit, seperti 4 (empat) pekan akhir-akhir ini. Situasi dan kondisi sulit, secara sederhana bisa dibagi menjadi 2 (dua) wilayah besar, yaitu kelangsungan harian dan proyeksi masa depan. Pertama, kelangsungan harian. Hal tersebut, bisa kita maknai sebagai kebutuhan "mainstream" manusia seluruhnya, ialah primer (sandang, pangan, papan). Apabila yang pertama ini mengalami gangguan, maka sudah bisa dipastikan semua hal yang melingkupinya pun ikut terganggu, termasuk 'proyeksi kedepan'. Untuk yang pertama tadi (baca: kelangsungan harian), sangatlah sensitif dalam kehidupan sosial kita, Indonesia. Orang bisa apatis terhadap 'nyinyiran medsos', tetapi tidak dapat menafikan rasa laparnya. Orang mampu berbeda soal pilihan presiden, namun akan satu suara perihal urgensitas pangan. Kedua, proyeksi kedepan. Ini sebenarnya bisa di iris kedalam 2 (dua) konteks, ialah ruang dunia dan ruang akhirat. Walaupun se...

Pejamkanlah

Sebelum cahaya, Aku bermunajat kepada semesta. Aku memohon kepada-Nya, perkenankanlah kami memohon ampunan. Sebelum cahaya, Berikanlah kami rahman-Mu. Cipratkanlah kepada kami, rahim-Mu. Sebelum cahaya, Ijinklah kami ber-puasa, menahan diri dari segala yang tersia. Sebelum cahaya, Limpahkanlah kepada kami, seribu lipatan keberkahan, sampai kami lupa, kepada segala fananya dunia. Sebelum cahaya, sucikanlah hati kami, layaknya embun pagi yang bersahaja. Menyambut cahaya, Pejamkanlah mata kami, dari semua yang membabi buta. ***Banyumas, 24 April 2020.

Menanti Jumpa

Sementara, baru semu yang aku tatap Melindas sukma, berkabung canda. Kita sempat saling menengok luka. Mengiris rasa, yang tersaji dalam rencana. Engkau adalah bagian, Sedang aku, menjadi alasan hujan, menepi dari awan. Kita mengerti ini tidak mudah. Apalagi, engkau pernah memberi pesan, Jika suatu saat, akan ada jumpa, Bersama teduh pohon kelapa. Aku menantinya, Engkau menunggunya. Kita, merindukannya. ***Purwokerto, 23 April 2020.

Menghadap Pulang

Dibawah atap curiga. Berkalung sepi, penuh teka-teki. Disana, ada kita yang berbelit tanya. Kita, rupa-rupanya sedang melukis kata. Menebar kebisingan dada, menuai seisi rasa. Yang, berselimutkan cita dan cinta. Rasa-rasanya, kita lalu bersimpul sengkarut. Berjuang urai, menengadah liarnya logika. Kemudian bertekad tindak, pada hadapan yang Maha. ***Purwokerto, 22 April 2020.

Gadis Gadis Desa

Gadis-gadis desa itu, tak berhenti menatap rerumput hijau di tepian. Sesekali, ia menjamah angin di sekitaran lewat resap hidungnya. Sembari, terdengar sayup pipit, mencandra kedua telinga mereka. Berkata kedua mata mereka, menarik irama dekade jalan. Kerinduan akan jumpa, tak terperikan dari gambar wajah mereka. Titik-titik nestapa, teramat jelas mengulas luas disana. Gadis-gadis di desa itu, mensuar makna terjal nasibnya. Bertanya kepada semesta, perihal akan yang menyerta. Bergumam sesal, atas ulah para pendahulunya. ***Purwokerto, 22 April 2020.

Hanya Hatimu

Lalu, adakah simpul yang terbalut atas sempat itu. Adakah keterangan baru, atas nama kegusaran itu. Sedang, Aku terpelalak jatuh, oleh kepongahan diriku. Di jurang kedalaman, yang bersanding dengan kebingungan tak berujung. Disana, aku bertanya tentang hari esok kita. Dan kembali, hanya hatimu yang bertahan diantara. ***Purwokerto, 21 April 2020.

Hanya (mu)

Padamu, yang tak sirna ditelan ambisi. Kepada hati, yang tak lekang oleh kebisingan janji. Hanya kepadamu, ragaku berserah pasrah. Untuk kesekian tragedi, ucap maafku berkali. Atas nama putihnya hati, ijinku menatap berseri. Hanya kepadamu, jiwaku berserah pasrah. ***Purwokerto, 20 April 2020.

Dari Dalam Ke Dalam

Dari sudut gelap yang paling terang, bermilyar cita teriring saling. Mereka, memendam tekad menuju ruang baru. Beradu tuju, demi ketersampaian untuk tumbuh menuju. Sampai pada masanya, hanya satu dari kesekian yang berhak mendapat. Ia jawara, bagi mereka yang sempat ada disana. Ia terpilih, diantara baris-baris pilihan. Meski taqdir menuai gempita, dan betapa suka-cita tak terbendung menggurita. Tapi, tetap saja terdapat liang cemas manusia. Adalah, pada bagaimana jalan cerita. ***Purwokerto, 20 April 2020.

Terhubung

Selalu ada ketersambungan, ditengah keterputusan. Bahkan, jika engkau berjalan ke utara, sedang aku menuju selatan. Entah dirimu yang kusebut cinta, atau dirimu yang kusebut kita. ***Purwokerto, 20 April 2020.

Engkau Yang Selalu Ada Dalam Ingatan

Wajah, yang selalu ada dalam ingatan. Wajah, yang tak pernah absen dari kesejarahan diri. Figur, yang menjadi titik berangkat dan kepulangan sekaligus. Inginku, sampaikan ini secara langsung. Harapku, bisa aku pesankan padamu, lewat tangis yang menderu. Tetapi, sungguh tak kuasa aku memikul malu. Betapa tulus cinta dan kasihmu. Betapa pengorbanan, tak cukup waktu menghitungnya. Sampai-sampai, diriku ini tak terperikan untuk meneteskan peluh yang terpendam. Atas nama Tuhan yang maha dari segala maha. Aku gagal mengemban amanah tersiratmu. Aku gagal menanggungjawabi semua mimpi yang engkau titipi. Dan aku teramat bangkrut, untuk mampu memelukmu dari dalam sanubari. Kini, yang tersisa hanyalah permohonan dari lubuk terdalamku. Tolong, maafkan buah hatimu. ***Purwokerto, 20 April 2020.

Bagaimana Mungkin

Sebenarnya, aku lebih sering geram kepada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku mengukir pelangi, jika aku sendiri buta warna. Bagaimana mungkin aku menahan laju hujan, bila aku sendiri kerap terbuai oleh derasnya. Bah!  Umur semakin tua, tak jua aku temui cahaya. Umur sedemikian melaju, sedang aku terlampau lugu. Bagaimana mungkin aku membanggakan anak-cucu, sedang jalan seolah membujur kaku. Tidakkah diri ini sadar, bahwa nestapa terlanjur menggurita. Memalukan saja! Ah! Tak sepadan, bila semua harus aku terjang. Tak seimbang, jika semua harus aku telan. Sama sekali tak adil, andaikan mata terpelalak bungkam. Bagaimana mungkin!? Bagaimana mungkin aku menghadap, jika perangaiku masih berirama laknat. Bagaimana mungkin aku menghadap, bila cuaca berlogat tak siap. Kau seharusnya begini! Kau harusnya begitu! Omong kosong, kau! ***Purwokerto, 19 April 2020.

Saat Semuanya Hilang

Diatas semua derita, aku membayangkan kehadiran pelita. Sebuah pesan, yang datang tak menghilang. Ia setia, menjembatani, dan suka-rela membersama. Atas nama semua bahagia, aku terpaku pada ucapan logika. Bahwa dunia, tengah di landa luar biasanya fenomena. Terbungkam curiga, terkapar dalam khawatirnya suasana. Dibawah alam imaji, aku tak terima semua ini terjadi. Menyangkal penggalan informasi, menepis guratan delusi. Bahkan, harus mencekik mati indahnya basa-basi. Mungkin, engkau tak percaya akan hal ini. Misalnya, apa guna lagi kemewahan  gengsi. Jika pada saat tertentu, harus punah oleh batasan kalkulasi. Aku, mereka, dan barangkali kita semua, telah sampai pada titik sadar paling gusar. Ialah pada ruang sempat, yang tertandas oleh janji imani. ***Purwokerto, 18 April 2020.

Peluk Semesta

Apa artinya menggubah rasa, tanpa mengenal tanda koma. Apa artinya jika berusaha, namun nihil dari skema. Apa artinya berenang, bila tak berkepak tangan-tangan. Apa artinya berlari, tanpa kepayahan yang berdikari. Apa artinya semua itu... Artinya apa itu semua... Semua itu apa artinya... Lahir, tumbuh, berkembang,.....etc.  Berjuang, berserah,.....etc. Jatuh, bangun,.....etc. Terpuruk, bangkit,.....etc. Sedang, semesta terus memelukmu. Kemudian berkata, "tugasmu mencari, menemui, lalu menyetiai tanpa tepi". ***Purwokerto, 17 April 2020.

Kita, aku dan mereka...

Kita, mungkin tak pernah mampu berhenti dari kegaduhan ruang tanya. Kita, barangkali akan terus berpeluh menuju kosong yang paling sesak. Kita, agaknya melambat di tengah laju yang mengarus. Kita, lebih sering melupa di antara khawatirnya dunia. Kita, aku dan mereka... Paling juara memuai logika, menyisir lesat ke penghujung ephemera. ***Purwokerto, 17 April 2020.

Wajah Beragam Tema

Dunia, kini menggubah alam suasana. Menjadikannya sejuk di mata, mengalirkan seribu satu peribahasa. Aku dan mungkin kita, barangkali sempat mendambakan rintik air di penghujung sabana. Merindui dogma sangkakala, mempelajari dan mengurai yang masih tanda tanya. Berpuluh episode telah melawat begitu derasnya, sampai dada tergurat bejibun simulakra. Namun, tak sepercik jua keterangan menghinggap, menjadi metafora berkaki makna. Diantara kegaduhan semesta, yang masih tersisa adalah wajah dengan beragam tema. Pada titik nadir persimpangan jalan, agaknya kita merindui ajakan alam untuk berpulang menuju keharibaan. ***Purwokerto, 16 April 2020.

Menginjak Cemburu

Aku cemburu kepada daun... Sebab, ia amat rela menampung embun. Aku pun, iri kepada tanah... Bukan karena rela di injak, tetapi sebab ia tak pernah dendam kepada mereka yang menginjak. Sebegitu pun, aku cemburu... Kepada engkau yang terluka, namun tak pernah menggagasnya. Padahal, teramat perih ia merobeknya. Tetapi, bahkan lebih jauh dari pada itu. Betapa aku cemburu padamu... Yang sedemikian rela memangku pilu, tanpa pernah terkecap elu. Disini, aku hanya sanggup menatapmu, dalam kaca yang berwajah aku. Sedang telinga, hanya terisi sesak oleh untaian halu wajahmu. Padamu, yang meniti dalam ke jantung qalbu. ***Purwokerto, 16 April 2020.

Sesalku

Dibalik ceria, aku menyimpanmu dalam sukma. Memendam sendiri kekalutan, tenggelam menuju pelarian panjang. Diriku kini sembunyi, walau hati berkata tak perlu. Terkadang, hati pun bercakap tak tentu. Semisal hatimu, yang ternyata tak lagi merekah untukku. Aku meninggalkanmu... Aku menyakitimu... Dan tentu, mengecewakanmu. Tetapi, harapku engkau bisa memahami. Bahwa aku, lebih memilih tersakiti, dari pada menelan sesal ini. ***Purwokerto, 14 April 2020.

Menuju Pulang

Apakah engkau pernah bertanya pada jendela didepanmu, tentang mimpi yang masih jauh dari bayang.  Adakah, misalnya kepada pintu engkau bergumam, perihal waktu yang melindasmu dengan kasar.  Yang tak memperdulikanmu sama sekali, dan tak memamahimu sepercik pun. Aku sering melakukannya, kawan... Bahkan sesekali, rasa ini jauh pergi entah kemana.  Dan, pikiran ini lepas begitu saja, tak mengerti apa maunya. Ya...amat membosankan. Hidup memang sederet ujian, dan sejuta pertanyaan. Ia menyelinap begitu cepat, pada setiap dinding tatapan. Terlebih, pada ruang gelap yang paling terang. Walaupun pada saatnya nanti, engkau akan menertawakannya, saat semua telah berubah membaik.  Dan engkau, akan mengatakan; betapa setiap detik, adalah keresahan menuju pulang. ***Purwokerto, 14 April 2020.

Atap Suara

Apakah adinda mengingat, misalnya perihal catatan itu. Engkau menggores tinta dengan hati yang berbunga. Engkau pula, yang menaruh rasa diatasnya. Apakah adinda tidak lupa, soal temu disana. Waktu itu, matahari sedang melirikmu dengan nada. Dan tumpukan buku-buku, yang bersaksi amat candu. Adinda, sesekali pernahkah dikau menghujat irama.  Menenggak dinginnya bilur. Atau, mengeja senjakala beratap suara. Aku pernah adinda... Pernah mengalaminya. Bahkan, larut didalamnya. Adindaku... Engkau perlu mengerti ini. Mengerti akan semuanya, Memahami bahwa aku tak berharap, jika aku hanyalah aku. ***Purwokerto, 12 April 2020.

Padamu Kesana

Detak mengganti detik. Disana, aku tak sanggup mengeja. Tak bisa biasa sepertinya. Aku terjerembab dalam tanya yang menganga. Tapi, aku pun beranjak kesana. Menuju patah yang paling meresah. Kata ini memang untukmu. Walau iramanya, jelas sumbang diatas meja. Menuai gelisah, mengenangmu jauh ke penghujung dalam nestapa. ***Purwokerto, 11 April 2020.

Duka Semesta

Ada jarak yang tak sanggup di kejar. Ia, sejenis dengan rembulan tipis di langit sana. Tetapi, apa guna waktu tanpa ruang... Pekat tak lagi memikat. Bahkan, menciderai se-isi sisi. Tak sadarkah peluh, kini teramat luruh... Sedang, bait-bait rasa tak lagi membersama. Sebab, sudah ada tanda setelahnya. Bahwa wajahmu, telah terhanyut duka semesta. ***Purwokerto, 11 April 2020.

Karantina Snap Judgment

Kira-kira pada bulan Februari-Maret awal 2020 lalu, saya pernah mengalami sebuah kondisi yang sangat enak. Misalnya kalau menggunakan teori hierarchy need milik Abraham Maslow, maka semua tingkatan saya miliki.  Pada saat situasi itu, saya sempat pada titik pertanyaan yang cukup krusial: "Kok hidup ini enak benar, padahal dulu saya sering menderita", ada apa gerangan semesta?". Akan tetapi, pertanyaan itu tidak kemudian saya seriusi untuk mendapatkan jawabannya. Walaupun, pertanyaan tadi jelas menggumpal di kepala dan hati saya. Pada suatu ketika, kira-kira pertengahan Maret, tanpa diduga saya mengalami migrain dan nyeri pada separuh tubuh sebelah kiri. Setelah saya cek, ternyata sumber sakitnya ada di gigi. Kemudian saya bergumam, "ah sakit gigi biasa, wong skripsi saya saja tentang sakit gigi". Tanpa memperdulikan sakit gigi itu, saya tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya; nulis catatan di blog, narik ojek, kuliah, dan nyicil-nyicil ni...

Perempatan Iblis-Malaikat

Argumentasi atas pemaknaan Qodo dan Qodar, amat ciamik sudah dilakukan oleh tokoh pembaharu Islam sekaliber Djamaludin Al-Afghani. Konsep dialog Socrates, logika Aristoteles, pun pada modernitas yang dimulai dari Descartes. Saling tambal-sulam konsepsi antar tokoh, sudah berjalan ratusan abad. Sedemikian hebatnya gagasan, tak terpelikan dari pertikaian psikis yang melelahkan, bahkan pertumpahan darah yang mengerikan. Dalam tiap-tiap rentang jalan yang dilalui manusia, mesti selalu mengada kesejarahannya. Tinta kelam atau tinta emas, menjadi option pertaruhan yang abadi. Bahkan, perebutan bergaining position adalah semacam achievment yang mutlak terjadi. Dalam tulisan ini, saya tidak sedang bertaruh ide di meja ring tinju. Tidak berharap menang-kalah, tinggi-rendah, mulia-hina, dst., hanya ber-motiv sekadar menyederhanakan problem kemanusiaan an sich, yang mungkin saja bisa menjadi bagian solusi atas berbagai macam realitas kekinian. Dalam kitab suci orang Islam, kita m...

Meregang Tanya

Ketegangan macam apa, yang kini meregang kuat. Sampai-sampai, jemari tak elak dari getar dan gusar. Tetapi, satu hal yang sejatinya aku pahami. Bahwa, betapa pelik rintihan hatimu kala itu. Aku yakin, walaupun mungkin tidak dengan engkau. Yakni, perihal kita yang sempat jauh menepi. Disana, aku terus mencari... Sedang engkau, memilih berdiam diri barangkali. Kita sama-sama pernah mengerti, tentang langit biru yang bernyanyi. Sama-sama menyempatkan menunggu, walau letih jelas memangku. Dan, kita pun pernah sadar, akan kemenyatuan dua hati yang tulus mencintai. Disini, aku masih ingat katamu. Misalnya, terkait makna bersama yang sudah tergenggam pulas. Walaupun, aku belum bisa sepenuhnya memahami, apakah engkau masih membingkai lukisan setia kata itu. Adinda, wajahmu masih membayangi benak ini. Sedang, masa depan perlahan meronta menyebut namamu, kemudian ia bertanya... Apakah hatimu masih disini... Apakah hatimu masih ada, untuk hati yang dahul...

Yang Menumpuk Sia

Betatapun pedihnya, waktu hidup terus berjalan. Waktu tidak mengenal permisi, dan amat jelas nihil ma'ruf dari apa yang tengah terjadi.  Apapun masalahnya, waktu sama sekali tidak acuh. Apalagi sampai membingkai rentang jalan sedemikian santun, itu impossible. Entah, nafas semacam kehilangan dirinya sendiri. Padahal, teramat sering usaha menemukannya ditempuh. Terseok-seok masa, untuk kemudian tersungkur jatuh, dan lalu buta, akan kemana arah pulang. Saya, dan mungkin kita sempat mengalami. Betapa dunya la tarham benar-benar hadir sebagai tamu tak terduga. Maka, yang terjadi hanyalah kalah, dan tak ada satupun manusia yang memahaminya, apalagi mencoba bertindak menolong. Apapun sudah ditempuh, bagaimanapun telah dicoba, sekalipun harga diri kerap di pertaruhkan. Tetapi, ephemera semesta yang kuasa atas itu semua. Dan, waktu terus berjalan. Sekalipun kita memilih untuk berhenti dari peredaran. Pada akhirnya, yang engkau tahu hanyalah engkau tidak benar-benar tah...

Taqdir Cemburu

Terik mencekik peluh. Sedang, gemanya meronta tak meneduh. Keras, membetak langit samudera. Pikirku tak lagi berkoma. Rasaku tak sanggup membuka. Geram raga, sungguh berat di jeda. Tapi, satu hal yang tak dapat digali. Adalah keluasan kita, yang memadat di sela-sela sudut antara. Dan disana, diatas segalanya, kau-aku mencari,  Ruang tetap, yang sempat menghalau hembusan pelik. Namun, nyatanya kita sama. Sama-sama menghujat temu. Sama-sama dirundung halu. ***Banyumas, 4 April 2020.

Gagal Mengingat

Betapa rusak jiwa dan raga. Utamanya, pada sisi-sisi tak nampak. Sungguh, teramat mengerak nan menganga. Nyatanya, bukan hanya sepihak. Namun, sudah merepotkan perlbagai. Kalut, carut, menyebar keseluruhan. Syukur, ada-ada saja yang mau tetap peduli. Walau dadanya, amat sesak menahan guratan masa lampau. Apalagi, goresnya bukan hanya sekali dua kali. Terimakasih antropologia . . . Jendela maafmu, masih dan tetap berada. Meski lupa, tak luput dari lubang tanda tanya. ***Banyumas, 4 April 2020.

Jangan Lupa Menderita

Hidup selalu dihadapkan pada soal pertaruhan, antara ini atau itu. Ini dan itu, adalah perumpamaan dari pilihan-pilihan. Setiap harinya, manusia pasti melewatinya. Dari mulai pilihan kecil dan besar. Mulai nanti makan apa, sampai profesi apa di waktu mendatang, dan seterusnya. Ketika situasi normal (saat sebelum negara Corona menyerang), manusia bertaruh akan masa depannya, menimbangnya dengan presisi ala kadarnya, untuk kemudian dijalani semampu-mampunya. Namun, kini semua berubah sama sekali radikal adanya. #WorkFromHome #JanganMudikDulu #StayAtHome #DirumahAja, adalah sekaliber hastag yang ramai dijagat maya manusia +62 ini. Kalau mau dibilang "normal" jelas tidak. Nyatanya, kejiwaan terguncang, dan tentunya mentalitas ikut #LockDown. Meski, sekadar dipaksa #PhysicalDistancing #SocialDistancing, bahkan mungkin saja #RinduDistancing. Kota sepi, desa apalagi. Pasar sunyi, mol-mol jangan ditanya lagi. Hiburan malam mendadak senyap, sedang kerumunan anak-anak muda...