Kira-kira pada bulan Februari-Maret awal 2020 lalu, saya pernah mengalami sebuah kondisi yang sangat enak. Misalnya kalau menggunakan teori hierarchy need milik Abraham Maslow, maka semua tingkatan saya miliki.
Pada saat situasi itu, saya sempat pada titik pertanyaan yang cukup krusial: "Kok hidup ini enak benar, padahal dulu saya sering menderita", ada apa gerangan semesta?".
Akan tetapi, pertanyaan itu tidak kemudian saya seriusi untuk mendapatkan jawabannya. Walaupun, pertanyaan tadi jelas menggumpal di kepala dan hati saya.
Pada suatu ketika, kira-kira pertengahan Maret, tanpa diduga saya mengalami migrain dan nyeri pada separuh tubuh sebelah kiri. Setelah saya cek, ternyata sumber sakitnya ada di gigi. Kemudian saya bergumam, "ah sakit gigi biasa, wong skripsi saya saja tentang sakit gigi".
Tanpa memperdulikan sakit gigi itu, saya tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya; nulis catatan di blog, narik ojek, kuliah, dan nyicil-nyicil nimbrung shodaqoh di IMM, sesekali menggores sajak untuk adinda tercinta yang masih rahasia.
Sampai pada suatu ketika, sakit gigi semakin parah, yang kemudian memaksa saya mencari bantuan medis. Dokter pun memberi obat, dan resepnya pun saya amini. Namun, selang sepekan sakit gigi itu semakin tak terbendung. "What the hell?", rasan saya sambil ngojek.
Pada akhirnya, terpaksa saya datang kembali ke klinik gratisan milik UMS. maklum, dompet saya masih berstandar subsidi. Disanalah, kejutan terjadi. Dokter memberi semacam hipotesis, bahwa saya terkena gigi impaksi, dan harus menjalani uji laboratorium dulu agar diketahui pasti kebenarannya.
Setelah menerima kejutan dari dokter, saya pun sontak mengirim pesan WA kepada senior saya, yang kebetulan juga merupakan mahasiswa kedokteran gigi. Dan sejalan dengan dokter, senior saya pun menyarankan untuk uji laboratorium di Parahita Solo. Ya sudahlah, saya beriman kepada dua ahli gigi diatas.
Dan fix, bahwa uji laboratorium menunjukkan jika gigi saya positif impaksi. Rasa cemas tak terhindari, karena untuk menyembuhkannya, ilmu kedokteran gigi hanya berkata, "ini harus di operasi mas!".
Saran operasi membuat saya benar-benar tertampar, khususnya perihal biaya. Berbagai informasi saya kejar, demi memperoleh informasi yang paling murah biayanya. Dan, pada akhirnya atas saran keluarga membuat saya mudik dulu kerumah, Banyumas. Katanya, disana bisa lebih murah. Oke, saya turuti.
Momentum terparah sakitnya (berdiri pun tidak sanggup), saya alami berbarengan dengan dikeluarkannya status KLB Corona oleh walikota Solo, yang membuat lembaga formal seperti sekolah dan kampus di liburkan.
Sesampainya di Banyumas, saya dikabari oleh bapak: "kata dokter RSUD Banyumas (yang kebetulan tetangga), kamu harus di karantina 14 hari, karena kamu dari Solo yang merupakan zona merah Corona". Oke saya terima itu, sembari memegangi pipi sebelah kiri yang sakitnya alhamdulillah mereda, dan masyaa Alloh selang 2 hari di rumah, justru sakit itu sembuh. Bersyukur, tidak jadi operasi, yang selama 23 tahun hidup belum pernah mengalaminya, na'udzubillahi mindalik.
Syahdan, dari situasi yang agaknya drama itu, saya menuai simpul sederhana. Bahwa yang nampak tidak ada, belum tentu tidak ada. Bahwa yang terduga, bisa jadi tak terduga., etc.
Semakin mengafirmasi, kalau-kalau waspada itu, lebih dari sekadar mekanisme bertahan an sich. Wal tandzur nafsun ma qodamat lighod. Terhubung langsung dengan, konsep snap judgment dan rational judgment. Sprint atau marathon.
***Banyumas, 9 April 2020.
Comments
Post a Comment