Skip to main content

Gulungan Kolom

Pertengahan 2017, saya pernah sangat 'bernafsu' mengumpulkan kliping koran pada kolom opini. Sejauh yang saya ingat, dalam beberapa hari, ada ratusan lembar yang terkumpul. Wajar saja, karena saya cukup rajin datang ke gudang salah satu balai desa di Purbalingga, sembari KKN.

Satu koran, terdapat satu kolom opini. Disana, saya rajin membawa gunting kecil milik Pak Kades. Semata-mata untuk menggunting khusus di kolom opini saja. Ratusan lembar kliping itu, saya gulung setiap harinya. Ada yang sudah di baca, ada yang sekadar di tumpuk dulu. 

Gulungan kliping itu, kini masih ada di Solo. Sengaja dulu saya bawa dari Purwokerto, sebagai penambah referensi hidup. Sebab, penulis kolom opini itu, beragam profesi. Walaupun, mayoritas adalah produk sekolah mainstream kita.

Syahdan, sudah sejak lama saya ingin memiliki perpustakaan sendiri di depan rumah. Dan berharap, kolom opini tadi bisa menjadi salah satu jenis koleksinya. Termasuk majalah-majalah sastra yang sempat saya beli, yang kini berserakan entah dimana. Semoga, kapan-kapan bisa terbeli dan terhimpun kembali.

Mungkin, dalam bayangan umum, memiliki perpustakaan itu tidak se seksi punya usaha restoran, ritel, dll., yang terlihat menghasilkan profit besar, termasuk menampung tenaga kerja. Maka tidak munafik, saya pun berharap memilikinya, suatu saat nanti.

Tetapi, jika saya renungkan, akan jauh lebih bermakna, apabila saya meninggalkan jejak warisan perpustakaan, dari pada warisan restoran.

Namun, restoran dan perpustakaan ini, masing-masing bisa memiliki simbol 'kesombongan', misalnya restoran bersimbol kekayaan, sedang perpustakaan itu simbol kepintaran. 

Bahwa keduanya (baca: resto dan perpus) bisa menjadi kebaikan, itu semua tergantung personal pemiliknya. Yang jelas, potensi untuk baik dan buruk, memiliki muatan yang seimbang. Apalagi, jika ditambah kepopuleran dan kekuasaan, tentu 'kuda-kuda' nya harus lebih kuat.

***Banyumas, 29 April 2020.





Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-