Skip to main content

Perempatan Iblis-Malaikat

Argumentasi atas pemaknaan Qodo dan Qodar, amat ciamik sudah dilakukan oleh tokoh pembaharu Islam sekaliber Djamaludin Al-Afghani. Konsep dialog Socrates, logika Aristoteles, pun pada modernitas yang dimulai dari Descartes.

Saling tambal-sulam konsepsi antar tokoh, sudah berjalan ratusan abad. Sedemikian hebatnya gagasan, tak terpelikan dari pertikaian psikis yang melelahkan, bahkan pertumpahan darah yang mengerikan.

Dalam tiap-tiap rentang jalan yang dilalui manusia, mesti selalu mengada kesejarahannya. Tinta kelam atau tinta emas, menjadi option pertaruhan yang abadi. Bahkan, perebutan bergaining position adalah semacam achievment yang mutlak terjadi.

Dalam tulisan ini, saya tidak sedang bertaruh ide di meja ring tinju. Tidak berharap menang-kalah, tinggi-rendah, mulia-hina, dst., hanya ber-motiv sekadar menyederhanakan problem kemanusiaan an sich, yang mungkin saja bisa menjadi bagian solusi atas berbagai macam realitas kekinian.

Dalam kitab suci orang Islam, kita mengenal konsep Fujur dan Taqwa. Disana, terdapat persambungan yang representatif dengan dua makhluk Tuhan bernama, Iblis dan Malaikat. Keduanya mewakili kutub tegang dan keras. Sejenis arah selatan dan utara.

Ketegangan dua kutub itu, selalu ada dalam relung terdalam jiwa manusia. Opsi besar ataupun kecil, keduanya sama-sama penyumbang tetap potensialitas.

Diksi potensi, jelas mengandung makna belum terjadi. Masih fiksi, dan belum menjadi faktual. Bersikap dan bertindaklah yang membuktikan, bila itu fiksi atau fakta. Walaupun antara fiksi dan fakta, keduanya sama-sama nyata.

Saya kemudian memilih judul besar "Perempatan Iblis-Malaikat", utamanya merupakan penjelamaan atas life is choise. Keputusan saat inilah, yang menentukan saat mendatang (causality). Adapun kita sama-sama mengerti, bahwa hidup tak melulu perihal sebab-akibat.

Tulisan ini sengaja ada untuk menjadi sebuah skema. Tidak menunjuk pada case ini atau itu. Seperti halnya pengertian kita atas skema, bahwa itu bukan berfungsi sebagaimana cara kerja pertanyaan dan jawaban. Tetapi, lebih kepada tugas pola dalam kegunaannya menjadi guide melihat dan menghadap fenomena.

Maka, sebagaimana "perempatan". Ia memiliki 4 (empat) jalan. Disana kita bisa memilih, pertama lurus kedepan, kedua belok kanan, ketiga belok kiri, dan keempat putar balik.

Hidup selalu menaruh perempatan, diatas meja pertimbangan. Tugas manusia, tidak lain adalah ber-ijtihad, akan kemana arah pilihan itu sampai. Jalan Iblis atau Malaikat. Yang jelas, kedua jalan subjek itu, nyatanya sama-sama makhluk Tuhan. Dan, kita (manusia), juga makhluk Tuhan.

***Banyumas, 8 April 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-