Sebenarnya, aku lebih
sering geram kepada diriku sendiri.
Bagaimana mungkin aku
mengukir pelangi, jika aku sendiri buta warna.
Bagaimana mungkin aku
menahan laju hujan, bila aku sendiri kerap terbuai oleh derasnya.
Umur semakin tua, tak
jua aku temui cahaya.
Umur sedemikian melaju,
sedang aku terlampau lugu.
Bagaimana mungkin aku
membanggakan anak-cucu, sedang jalan seolah membujur kaku.
Tidakkah diri ini
sadar, bahwa nestapa terlanjur menggurita.
Memalukan saja!
Ah! Tak sepadan, bila semua
harus aku terjang.
Tak seimbang, jika
semua harus aku telan.
Sama sekali tak adil,
andaikan mata terpelalak bungkam.
Bagaimana mungkin!?
Bagaimana mungkin aku
menghadap, jika perangaiku masih berirama laknat.
Bagaimana mungkin aku
menghadap, bila cuaca berlogat tak siap.
Kau seharusnya begini!
Kau harusnya begitu!
Omong kosong, kau!
***Purwokerto, 19 April
2020.
Comments
Post a Comment