Bukan barang yang mudah untuk mampu menerima keadaan sulit, seperti 4 (empat) pekan akhir-akhir ini. Situasi dan kondisi sulit, secara sederhana bisa dibagi menjadi 2 (dua) wilayah besar, yaitu kelangsungan harian dan proyeksi masa depan.
Pertama, kelangsungan harian. Hal tersebut, bisa kita maknai sebagai kebutuhan "mainstream" manusia seluruhnya, ialah primer (sandang, pangan, papan). Apabila yang pertama ini mengalami gangguan, maka sudah bisa dipastikan semua hal yang melingkupinya pun ikut terganggu, termasuk 'proyeksi kedepan'.
Untuk yang pertama tadi (baca: kelangsungan harian), sangatlah sensitif dalam kehidupan sosial kita, Indonesia. Orang bisa apatis terhadap 'nyinyiran medsos', tetapi tidak dapat menafikan rasa laparnya. Orang mampu berbeda soal pilihan presiden, namun akan satu suara perihal urgensitas pangan.
Kedua, proyeksi kedepan. Ini sebenarnya bisa di iris kedalam 2 (dua) konteks, ialah ruang dunia dan ruang akhirat. Walaupun sejatinya kedua hal tersebut berkelindan, namun titik tekan pembahasannya lebih ke ruang dunia.
Ruang dunia yang saat ini kita labuhi ini, memberikan berderet masalah beserta solusinya sekaligus. Lockdown yang tengah berkabung ini, adalah masalah beserta solusinya sekaligus. Dalam menghadapi masalah, orang berfikir dan bertindak sesuai kemampuannya.
Kemampuan atau kapasitas orang, jelas berbeda antara satu dengan yang lainnya. Titik perbedaan per-orangnya, umumnya terdapat pada sikapnya. Bahasa familiarnya, 'bagaimana mensikapinya', yang menonjol.
Bagaimanapun, lockdown ini 'pengap'. Sistem pernafasan 'terganggu' akibat masker. Estetika wajah terhalang pandang. Kemewahan 'kongkow sans' di bredel. Romantisme 'traweh' terputus 'distancing', walau di desa saya, pak kyai 'mbalelo' untuk tetap traweh dan jum'atan, etc., dan pastinya proyeksi kedepan mengalami 'bongkar pasang' seluruh jenis kemungkinan, untuk tidak mengatakan 'gulung tikar harapan'.
Dari semua itu, saya bersyukur kepada Alloh yang sempat mencipratkan pengetahuannya melalui Emile Durkheim. Yang mana, Durkheim mengatakan bahwa; manusia bisa bertahan hidup, bukan sekadar sebab pangan saja, melainkan juga 'sentimen sosial'.
Apa yang dikatakan Durkheim tersebut terbukti, misalnya untuk menjelaskan; bagaimana relasi antara US-RRT, dengan RI. Kita memiliki argumen masing-masing atas 'siapa yang menjadi variable independent atas "bencana" CORONA ini'.
Diatas perdebatan 'atas siapanya', yang menyedihkan bagi saya adalah, RI selalu mengambil peran untuk terseok-seok dalam tangis dan luka.
Mungkin, tidak berlebihan jika kita dan seluruhnya, sedang menempuh ujian berat bernama 'keikhlasan menjadi manusia', atau lebih presisi jika bernama 'keikhlasan menjadi Indonesia'. Toh, tidak ada tawar-menawar sebelumnya, akan lahir melalui Ibu siapa.
***Banyumas, 24 April 2020.
Comments
Post a Comment