Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2019

Apa Ada Angin di Surakarta (45)

Apalagi yang lebih indah, dari mengalami sekelebat kabar darimu. Barangkali ada, namun itu hanya bias makna belaka. Sebab, hadirmu disini, dengan amat nyata menyerupa. Apa Ada angin di Surakarta, dan apa ada angin di Yogyakarta. Yang datang dan pergi, menyisir sepi yang terlampaui. Lalu, apakah gerangan hatimu disana, yang coba aku sentuh tak berkesudahan ini. Uh.. Betapa teganya jarak yang membentang. Ia sesekali bahkan menyiksa dengan sengaja, tentang arti temu yang belum terpenuhi. Perihal rindu yang mendahaga sedemikan rupa ini. Mungkin engkau menaruh tanda tanya, pada sapa yang aku hidangkan. Pastinya, engkau juga menerka-nerka, kepada senyum yang tersaji malam ini. Dan tentunya, kita sama-sama tengah membungkus kisah, dalam rentang waktu dan jarak disini. Hahaha... Gerak dan gerikmu, nyatanya cukup menyita masa kiniku. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 30 Desember 2019.

Pelaminan Kemarau

Barangkali, apa-apa yang pernah kita sebut sebagai pencapaian, adalah bukan pencapaian. Apa-apa yang sempat kita duga sebagai solusi, mungkin itu hanyalah ilusi semata. Dan, apa-apa yang pernah teralami dan terlewat dalam hidup ini, itu bisa jadi, hanyalah fatamorgana kehidupan yang penuh dengan intrik dan tipuan. "Hahaha..tertawa badut dihadapan muka". Mereka para badut, tengah menertawai siklus yang terjadi. Mereka dengan amat jelas, tengah menjalani sebuah tragedi. Dan mereka, tidak sama sekali sadar, jika apa-apa yang pernah menjadi kebangaan, kini runtuh oleh ulahnya sendiri. "Badalah!", ucap Simad dalam batin terdalamnya. Ketika dengan amat nyata dihadapan, adalah nada-nada tanpa irama. Sebuah pertunjukkan drama, penuh dengan puisi menjelang mati. Ah..skema tanpa tanda koma, membersamai tiap-tiap fenomena. Mungkin, ini semacam visualisasi dari apa yang pernah diselipkan oleh Umbu, tentang "pelaminan kemarau". Wallohu a'lam. Suk...

Apa Ada Angin di Surakarta (44)

Situasi yang penuh kesemrawutan, sebenarnya hampir selalu ada dalam setiap kesejarahan manusia. Baik itu dalam rentang panjang maupun pendek. Titik kulminasi pun, sejatinya rutin menghinggapi tiap-tiap penggalan kisah perjalanan. Dalam satu aspek, maupun secara holistis. Deburan ombak di laut lepas, suara gemuruh gunung, tetes embun diatas daun, dengan amat nyata, tanpa henti-hentinya menandai heterogenitas gejalanya. Aku, kita, dan mereka, beserta seluruh lapisan rahasianya, menyatu sampai ke kedalaman yang unlimited. Tak terkecuali, pada semua hal yang sempat ter-sengaja. Namun selebihnya, akan lebih laten lagi, jika apapun itu, kita sodorkan saja pada sejauh jangkauan langit itu. Toh, seluruhnya hanya akan mengalami kesemuan achivement an sich. Padahal, yang kerapkali tak disadari, adalah angin di sini. Yang dengan begitu faktual, membersamai tanpa tepi. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 28 Desember 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (43)

Hanya lampu kedai yang ternyata lebih paham sepertinya, akan sebuah jalan yang terbaik. Tirai jendela yang telah sekian lama tertutup, kini perlahan membuka misterinya.  Tanda titik, beralih menuju komanya. Mungkin, masih ada sisa dibalik lembaran tikar itu. Namun, hal tersebut bukanlah hambatan yang berarti. Omong-omongan, nantinya akan menjadi teks deskripsi. Butiran-butiran rahasia, akan tersingkap seiring sejalan. Pun, pada cita yang dulunya membeku, akan mencair dengan sendirinya, mengikuti ritme alam yang ada. Yang tidak akan pernah tertinggal disini, adalah angin Surakarta, beserta seluruh perangkat-perangkatnya. Barangkali, apa-apa yang pernah terselip, nantinya akan menuai oasenya. Dan pada akhirnya, akan melebur ke seluruh penjuru jiwa. Terutama, jiwa yang selama ini memendam akan sebuah pertanyaan, "apa ada angin di Surakarta. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 28 Desember 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (42)

Tak lagi tahan langit disini, untuk menumpahkan beban beratnya. Sayup-sayup, rintik-rintik, kemudian menetes diatas alunan simphony semesta. Engkau pastinya lebih mengerti, bahwa nada yang sempat tersaji, kini telah lenyap terhapus genangan hujan disini. Apalagi, waktu itu adalah saat-saat paling menyebalkan dalam hidup, yaitu saat berpisah denganmu disana. Tanda koma semulanya, kini telah menjadi tanda titik. Dimana semua yang pernah terencana, hancur sudah. Sesaat setelah engkau memutuskan untuk berpindah hati. Entahlah, akan menjadi apa dan bagaimana hati ini. Seonggok rasa yang terbingkai bunga-bunga ditepi jalan, barangkali sekadar menjadi panorama paling menyedihkam, ditengah terpaan angin di Surakarta. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 25 Desember 2019.

Tidak Akan Menjadi Siapa-Siapa

Simad adalah salah satu dari sekian opsi, yang muncul kepermukaan panggung bursa 2020. Ia bukanlah manusia yang bisa dibilang istimewa, namun ada satu keunggulan yang ia miliki, mungkin. Yaitu riwayat kehidupan "tanpa masalah". Simad bisa diterima dimana saja. Sebab, ia tidak pernah sekalipun menolak siapa saja. Dimanapun, dan sejauh kapanpun itu. Tidak perlu khawatir, apalagi takut. Karena dengan amat nyata, bahwa seorang manusia bernama Simad itu, tidak akan menjadi siapa-siapa. Orientasi hidup yang ia miliki, begitu "rendah". Simad hanya ingin kehidupan yang tidak sia-sia. Simad bukanlah sosok pembunuh, ia hanyalah manusia yang sekadar "numpang" sinau bareng. Walaupun, berkali-kali ia sempat dibunuh, dan kemudian terbunuh. Namun, hal tersebut adalah tindakan yang bullshit. Karena Simad, semacam memiliki nyawa seribu, alias bisa "nylungsumi" kapan saja dan dimana saja. Barangkali, di kosmos raya ini, ada banyak manusia semacam ...

Apa Ada Angin di Surakarta (41)

Bukan sesuatu yang mudah, apabila yang kita hadapi adalah hal yang sebenarnya bukan menjadi keinginan. Apa yang telah dialami, bukanlah bagian dari rencana.  Dalam rentang kehidupan yang serba uncertainty ini, kerap kali kita dihadapkan dengan segala hal yang sulit dalam sekejap diterima begitu saja. Maka tak heran, jika kemudian muncul frasa "bahwa pengalaman adalah guru paling kejam, bukan sekadar guru terbaik an sich". Mungkin, apabila peta kehidupan belum disusun sedemikian rupa, serta pola yang sistemik belum juga dicipta, sepertinya tidak terlalu menjadi soal, apabila yang menjadi krenteng ati, kemudian tak ter-ijabahi. Namun, jika semua itu (peta dan pola), telah tersusun, namun tak terwujud, disitulah kita kembali mengingat salah satu entitas "sabar". Innalloha ma'a shobirin, lebih sering terngiang dalam suasana duka yang menimpa.  Entah, apalah daya manusia. Ia hanya ciptaan semata. Ia hanya mengikuti alur penguasa semesta. Ia hanya...

Di Balik yang Seharusnya, Di Hadapan yang Senyatanya.

Sebenarnya, untuk membahas soal kebahagiaan, saya menyadari dengan sepenuhnya, bahwa kapasitas yang saya miliki, belumlah bisa dibilang mencukupi. Akan tetapi, ada hal yang selalu mendorong diri saya, untuk kemudian tetap berusaha mencari, semenimal-minimalnya semacam menemui konsepsi, apa yang bisa nantinya kita sebut sebagai kebahagiaan. Berangkat dari experience saya yang masih minimal ini, terdapat penggalan-penggalan kisah yang mungkin dapat dijadikan kesadaran baru, akan konsepsi bahagia itu. Jadi, siang lalu, saat saya tengah duduk sendiri, ada salah seorang pria datang. Rupanya, pria tadi sedang bekerja di sebuah perusahaan daring nasional. Dinamika yang ada didunia pekerjaannya, jelas terpancar dan terrangkum dari raut wajahnya. Realitas hidup yang selalu menuai kisah suka dan duka. Kadang pahit, kadang pula manis. Berkelindan bagai dua sisi mata uang. Namun, yang namanya sifat alamiah pada diri manusia, adalah menutupi rasa sedihnya, dengan “berkelakar mesra”. Walau...

Apa Ada Angin di Surakarta (40)

Seandainya pagi bisa dipercepat, mungkin saja cerita kita akan lebih memiliki makna.  Sebab, embun-embun yang menetes, jauh lebih sanggup memberi kabar indah, jika dibanding pekatnya malam. Liak-liuk perjalanan hidup yang amat dinamis ini, seolah mampu mewakili beribu perasaan yang tak sempat diungkap.  Apalagi, sore itu kita tak sengaja bertemu. Maksudku bukan kita, tapi mata kita. Ah, malangnya daun-daun itu. Mereka hanya bisa menatap, tanpa mampu berucap. Mereka hanya sanggup membersamai, tanpa bisa melengkapi. Namun satu hal.  Bahwa dibalik bening dua matamu, nyatanya sampai detik ini pun, tak ada sekelumit pun abstraksi. Mungkin karena, angin di Surakarta tak mau menjadi pihak ketiga diantara nafas kita. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 21 Desember 2019.

Apa Ada Angin di Surakarta (39)

Kondisi pergantian musim antara panas dan pengujan, semacam memberikan sentuhan virus untuk hadir dalam setiap tubuh. Imunitas tubuh di uji, seberapa kuat untuk menghadapi. Paling pol ya, ngrekes. Saat-saat seperti ini, psikis terasa kemrungsung. Memberi simpulan nyata, bahwa terdapat relationship antara mind and body. Iya, kemrungsung. Arep mbahas apa juga bingung. Hahaha, jep. Sing jelas, angin di Surakarta, tidak sedang membual perihal rinduku padamu. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 19 Desember 2019.

Setel Gaya Manual

Keragaman latar belakang kebudayaan pada setiap individu, memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap gaya hidup, serta pensikapannya. Background yang tumbuh dan berkembang pada individu tersebut, tidak lantas bersifat konstan. Hal tersebut, memberi sebuah simpulan, bahwa untuk urusan psikis memang sangatlah dinamis. Soal sikap, semua tergantung pada konteks apa yang tengah berlangsung. Manusia selalu elastis dalam menghadapinya.  Naik-turun suasana jiwa manusia, sejatinya merupakan hal yang amat lumrah. Terkadang kita bisa melihat, manusia yang amat ramah di satu sisi, dan juga kita pun sanggup menatap manusia yang amat marah di sisi lainnya. Dua sisi yang berlawanan, antara ramah dan marah itu, pun kerap diborong oleh satu individu dalam per-waktunya. Yang jelas, semua tetap sama, yaitu berakar dari pensikapan yang memiliki bumbu latar belakang kebudayaannya. Berniat untuk menghilangkan sikap marah yang memiliki kandungan negatif pada manusia, adalah pe...

Timur Masih Hangat

Musim penghujan yang tengah mendera Republik kita ini, menyimpan penggalan kisahnya tersendiri. Dari politik nasional, isu ekonomi global, sampai asmara ABG yang kasmaran. Memang, musim hujan bukanlah satu-satunya momentum yang mesra. Namun, dibalik musim yang terkesan dingin ini, menjadi satu dari sekian musim yang acapkali menuai "drama". Masing-masing dari aktifisme masyarakat, barangkali terhambat. Namun, sisi lainnya justru moncer. Kita bisa melihatnya dari hal kecil, misalnya pedagang es, mie ayam, dslb., yang kerap berbanding terbalik, menuai laba di musim pengujan ini. Dalam rentang perjalanan hidup masing-masing kita, pasti ada satu atau dua momen yang kemudian cukup menyita perhatian. Sebagai "budak aplikasi", akhir-akhir ini saya lebih banyak berkesempatan untuk bertatap wajah dengan ragam warna kebudayaan, sampai keagamaan. Dari perjumpaan kebudayaan itu, ada satu yang amat menggelitik benak untuk selanjutnya di "takhaduts bin...

Baluangan Gede Pun, Tertawa Lepas!

Riuh-rendah terdengar dari mulut manis balungan kere. Katanya, ia terheran-heran melihat putusan kebijakan dari sang boss. Dimana, pemberlakuan promo untuk usahanya, seharusnya sudah selesai. Namun, nyatanya hal tersebut belumlah usai. Mungkin, mass berlaku promo diperpanjang! "Kita ini, setiap ada order masuk, kepotong 40% totalnya", ungkap pegawai resto pinggiran itu, disertai wajah kecewanya. "Badalah, modar kue!", respon saya seketika. Injak-menginjak masih saja manjadi hobby paling menggiurkan, bagi balungan gede, barangkali.  Ah, ketuhanan yang maha esa, milik siapa gerangan?!! Wallohu a'lam. Sukoharjo, 16 Desember 2019 .

Warisan DNA: Dilema Andil yang Menggelitik.

Ada yang cukup "menggelitik", dari mukadimah Juguran Syafaat, yang mengangkat tema "Warisan DNA", pada 14 Desember 2019 lalu. Dalam mukadimah tersebut, dibahas tentang persoalan "andil". Andil disini, menyoal tentang subjek dan objek perubahan dalam kehidupan masyarakat.  Disana pula, dikatakan bahwa manusia acapkali mengeluh atas perubahan yang terjadi (yang tidak dikehendaki). Maupun, perubahan yang telah di desain, namun tidak mendapatkan hasil yang sesuai. Jika pembaca sekalian berkenan lebih lengkap mengetahui isinya, bisa dilihat di wesite resmi juguransyafaat.com atau caknun.com. Berangkat dari mukadimah tersebut, nampaknya kita (masing-masing), dapat mengkontekstual-kontekstualkan dengan aktifitas yang sedang kita hadapi. Yang mana, segala macam dan jenis perubahan itu, tidak dapat kita hindari. Dalam artian, tak dapat dilepaskan begitu saja, dari apa yang kita lakukan, maupun yang tidak kita lakukan. Jadi, mau melakukan ataupu...

Apa Ada Angin di Surakarta (38)

Badan yang "terpaksa" berjibaku dengan keadaan, pada akhirnya harus tumbang. Jadwal yang telah terpapar, kemudian mesti terlewat. Untung saja, belum musnah seluruhnya. Masih terdapat penggalan yang mampu untuk dihadiri. Sesaat setelah pintu kelas dimasuki, mata menatap keseluruh ruangan yang telah sesak dipadati para "mahasiWa" senior. Namun, ada sisa kursi kosong dibelakang, yang kemudian aku singgahi. Waktu kegiatan dalam kelas yang tinggal beberapa menit itu, menarik perhatianmu kala itu. Engkau menyapa dengan hangat, "Jam segini kok baru masuk?". Sontak aku menimpalinya dengan berbisik, "iya..mau absen saja". Selang beberapa saat, ketika riuh-rendah kelas saling bersaut, tiba-tiba dirimu menyapaku kembali, sambil menyipratkan senyuman. "Kamu, smoker n' author, ya?". Seketika, aku meresponnya dengan melontarkan kalimat, "bau nya jelas banget yah", sambil nyengir kuda. Waktu itu, engkau hanya tersenyum...

Tertolong Histori Sediakala

Entah apa yang ada dalam isi benak orang-orang cerdas itu. Mereka (sebagaian dari mereka), menghubungi saya via Vcall. Kita kemudian terhubung dalam satu dimensi visual jarak jauh. Ada yang di Yogya, Kediri, Purwokerto. Sedang saya, tengah berada di salah satu sudut Surakarta. Mereka itu, adalah sahabat karib saya. Teman sekelas saya ketika menempuh studi, di salah satu Kampus milik Negara. Mereka, sahabat saya itu, mungkin sekadar meneteskan rindu yang cukup lama terpendam. Wajar saja, kita sudah berpisah 2 tahunan. Setelah sama-sama mengarungi kehidupan, bersama lika-liku buku dan perpustakaan, 4 tahunan lamanya. Diantara sahabat-sahabat saya itu, terbilang moncer dari segi akademik. Bagaimana tidak, salah satu dari mereka adalah jebolan terbaik kampus awal tahun 2018. Pun, ada yang pernah menjabat menteri kabinet kampus. Juga, salah satu dari mereka, merupakan nahkoda organisasi tertua. Tidak banyak frasa yang kita cuapkan waktu itu, yang jelas kelakar khas gen Z, m...

Tersapu Debu Jalanan

Untuk bisa menuangkan segala rasa dan pikiran kedalam sebuah tulisan, terkadang menuai banyak sekali kesulitan. Tidak mudah, adalah kata yang kerap muncul. Tak mampu dipaksakan, merupakan simpulan yang acapkali hadir. Kadang-kadang, satu kejadian menghasilkan satu jenis tulisan. Kadang merupakan kompilasi, atau malah hanya penggalan-penggalan peristiwa. Tidak terkecuali, pertimbangan privasi menjadi hal yang problematis. Sebab, muka akam ditaruh dimana, jika keambyaran relung hati, oleh orang lain sanggup diketahui. Ditengah dilema dan dinamika intrinsik yang melanda, terimakasih ku sampaikan kepada para musisi. Merekalah pahlawan yang lebih sering, mampu mewakili perasaan.  Nada, lirik, dan suaranya, sanggup memfasilitasi katarsis jiwa. Untuk kemudian melonggarkan otot-otot psikis yang tegang oleh ragamnya benturan kehidupan. Itu salah satu saja, masih banyak fasilitas yang terhampar untuk bisa dijadikan "tong sampah", bagi hati yang terus-menerus menuju...

Seloroh Nyampluk Rai

Mendapatkan "beban" menjadi kepala suku dalam biro human development, adalah pressure tersendiri.  Bagaimana tidak? Hampir seluruh gugatan mengenai kualitas dan kuantitas, dengan gamblang di "tuduhkan". Kalau bagus, dianggap normal-normal saja. Namun jika kebalikannya, lontaran cemooh "nyampluk rai". Yang namanya "suku", jelas mengandung dinamika-dinamaka. Pun, gesekan-gesekan tak terbendung. Dalam arti yang terlihat jelas, maupun yang masih unknown Dalam kondisi-kondisi semacam diatas, jeroning roso amat sumpeg untuk meroproduksi ide. Jeroning ndas, berat untuk memuncak kembali, menemukan kebringasan menjadi man of action. Antah berantah.... Agaknya, kita butuh kawah candradimuka, untuk meblejeti habis-habisan untuk menemukan kembali "diri" yang "diri". Wallohu a'lam. Sukoharjo, 12 Desember 2019.

Initial Noting: Berburu Pola. (3)

Setelah sebelumnya, kita patut sadar akan "keberadaan" pola. Kini selanjutnya, kita perlu sadar pula, bahwa pola yang kita "cicil" pemahamannya tersebut, tidak semudah yang dibayangkan/prediksi. Pola yang telah ditemukan itu, terdapat "jeglongan" nya masing-masing. Terdapat pula liak-liuk dinamika. Pun, ada banyak hal yang tak terduga sebelumnya, baik positif maupun negatifnya. Per-aktifitas punya konektifitas dengan probabilitas. Per-orang memiliki naik-turun suasana hatinya. Semua menyatu dalam perjalanan kesejarahan manusia, sepanjang masa. Dalam kenyataan tersebut diatas, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani dan senantiasa mewaspadai.  Untuk menjalani, kita butuh pola. Sedang untuk mewaspadai, kita juga butuh pola. Dalam artian, pola yang sudah sebelumnya, kita yakini memiliki margin of error paling minimum. Filosofi Jawa yang paling relevan berbicara pola, adalah "banter nguber apa, alon ngenteni apa...

Rhapsody Teriakala (1)

Dirimu hanya terdiam, sedang aku tengah ter-rajam oleh diammu itu.  Ah, tragedi apalagi ini! Rhapsody teriakala!? Apapun itu, yang jelas,ada keteduhan sesaat setelah wajahmu menghadap. Terdapat satu dari sekian keindahan yang terpancar, dari bening bola matamu. Sayang beribu sayang. Dihadapan banyak orang, aku hanya mampu memandangmu dari kedekatan, dan tak sekecap pun menyapamu dengan segenap kehangatan. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 9 Desember 2019 .

Apa Ada Angin di Surakarta (37)

Seiring berjalannya waktu, ternyata aku masih menjadi orang yang amat sangat gagal melupakanmu. Terutama tentang semuanya, yang pernah dan sempat kita lewati.  Bagiku, dirimu adalah tetes embun di pagi hari, yang membasahi daun-daun itu. Cintamu menetes, sedang rindumu menyejuk kedalam palung hati. Tulisanmu, candamu, senyumu, kini lenyap terbawa angin disini. Yaa, angin di Surakarta.  Ditengah riuh-rendahnya jalanan Solo-Yogya, lagi-lagi lintasan histori kita, tak pernah mampu kuhapus seketika. Perihal semoga yang engkau katakan, kini lenyap. Lenyap dan menguap.  Apalagi yang harus aku lakukan. Apalagi yang seharusnya aku upayakan, untuk bisa melupakanmu seutuhnya. Seminimal-minimalnya, dapat mampu menepi diantara dahaga batin ini. Sungguh, pelupuk matamu pernah aku nikmati, sebagai bagian dari kebersyukuranku atas kuasa ilahi, yang jelas itu adalah estetika sejati. Tapi, entahlah... Saat ini yang hanya bisa aku lakukan adalah, memandangi b...

Sedang, Bunga-Bunga Pun Berjatuhan. (7)

Entahlah... Dini hari yang penuh dengan sisi uji, menyodor dihadapan segala rasa. Engkau masih yang utama, diantara banyaknya bunga, yang bermekaran disini. Mengakar keseluruh sudut ruang benak. Menyudut kepelupuk mata yang kerap buta. Aku dan nafasku selalu mengucap rindu, senantiasa mengecap harapan untuk kepulangan yang membahagiakan.  Pergiku hanyalah untukmu, pulangku hanyalah untuk menemuimu. Menjemputmu bersama keluargaku. Memandangimu, dengan cinta sepenuhnya. Memelukmu, dalam balutan purnama. Sesaat ketika udara memekak, bunga-bunga pun berjatuhan. Katanya, tak kuat lagi menahan derita cacat tuna asmara. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 9 Desember 2019.

Menjaring Aksioma

Simbah (kita), tahun 2017 pernah menuliskan isi pikirannya dalam sebuah blog. Beliau bertutur, "Bukanlah hidup, kalau hanya sekadar mencari makan. Dalam setiap aktifitasnya, memberikan ruang dan waktu untuk berdzikir. Seharusnya setiap pekerjaan yang tengah ditempuh, dapat memberikan pembelajaran. Hendaknya, setiap fenomena mampu memberikan makna, demi kebaikan dan kemajuan lahir dan batin." Lebih dan kurangnya, begitu dawuh simbah. Kelihatannya, statement dari simbah diatas biasa-biasa saja. Sebab, hal tersebut sudah amat sering kita dengar dan ketahui sebelumnya. Namun, apakah kita sudah benar-benar melakukannya? Segala macam dan jenis aktifitas, jika berkaca pada diri saya sendiri, maka saya temui, lebih banyak yang saya lewati begitu saja, tanpa kemudian direfleksikan dan dievaluasi secara berkala. Alamiahnya memang, manusia akan bisa berrefleksi, hanya ketika mendapatkan something yang ia asumsikan sebagai hal yang benar-benar berkesan, atau segala hal yang ...

Apa Ada Angin di Surakarta (36)

Sayup-sayup kendaran bermotor masih terdengar, namun tidak semeriah seperti pada jam sibuk. Megah dan tingginya Stadion Manahan Solo, menyaksikan dengan bisu, perjalanan kebudayaan berjuta-juta anak manusia. Aktifitas yang lenggang disini, membawa benak pada pertemuan "itu". Sebuah temu yang pernah kita sama-sama sempatkan Sebuah temu yang sama-sama kita rindu dan kangenkan. Jarak yang membentang, jelas menjadi pukulan telak, untukku menikmati indahmu persis dihadapan.  Engkau dengan jelas tahu, bahwa tempat yang paling nyaman di kosmos raya ini, adalah saat dirimu dan diriku berhadapan. Ditengah sesaknya rindu yang menetes di dada, betapa bersyukurnya diriku, karena Angin di Surakarta ini, dengan lembut nan mesra, tetap setia membersamai jiwaku yang sakau akan sapa manjamu itu. Wallohu a'lam. Surakarta, 6 Desember 2019.

Ngobrolin Kepala

Riuh-rendah terdengar dari mulut-mulut anak muda. Nampaknya, mereka tengah memperbincangkan sangkan-paran komunitasnya. Kontennya cukup berat, adalah terkait pergantian pergantian kepala. Kepala memang barang vital, sebab ia penentu segala macam tindakan. Pada kepala, seluruh jenis keluhan ditampung, untuk kemudian diharapkan terdapat praksis-solutif. Anak-anak muda itu, saling memberi asumsi, hipotesis, argumen, beserta sederet konsekuensi. Peta politik mereka taruh diatas meja perdebatan. Tak terkecuali, kelebihan dan kekurangan dari kontestan. Mereka nampak serius, namun tetap santuy dengan selingan-selingan kelakarnya. Kali ini bukan kopi tubruk yang ada dihadapan, melainkan kecemasan akan terjadinya clash yang destruktif. Karena ini soal masa depan, ujar salah satu anak muda yang berpenampilan nyentrik. Suasana menjadi hangat-hangat sedap, sesaat setelah anak muda yang memakai kaos oblong berujar, "calon terkuat untuk jadi kepala hanya ada dua!" Kemu...

Apa Ada Angin di Surakarta (35)

Kali ini, gerimis hanya menciprat disela-sela jendela. Sedang kenang, tetaplah menggenang diantara ujung-ujung dedaunan. Sore ini, terlihat dari tatapmu, beribu makna yang masih utuh tersimpan. Adalah ketika, senja tak sedikitpun memperlihatkan jingganya. Andaikan waktu bisa dijeda sementara, maka ijinkanlah angin di Surakarta ini, membelai sudut bibirmu. Karena aku dan nafasku, selalu mengeja rindu ditepian Solo-Yogya. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 5 Desember 2019.

Beda Acuh-Beda Peduli, Sama-Sama Hidup.

Ketika memilih untuk menempuh jalanan diberbagai Kota/Kabupaten di Negeri ini, (walaupun belum seluruhnya dapat dikunjungi), maka saya mendapati sebuah "keseimbangan", yang didalamnya terdapat sisi negatif dan positif. Sisi positif-negatif itu, saya ukur menggunakan kaca mata pemahaman Agama yang saya miliki. Yang positif misalnya, antusiame masyarakat menunaikan ibadah sholat berjama'ah di masjid, dlsb. Sedang yang negatif misalnya, perdagangan minuman keras dan sekaliber gemerlap kenikmatan dunia sesaat yang merusak lainnya, dlsb. Kata "keseimbangan", sengaja saya beri tanda petik, sebab makna seimbang sendiri, umumnya dipahami sebagai dua sisi aktifitas kehidupan yang berlawanan namun bersandingan. Keseimbangan populisnya dimaknai sebagai harmoni dalam realitas masyarakat, sekalipun itu dapat merugikan pada sisi lainnya. Manusia yang acuh akan perubahan menuju kebaikan, memaknai realitas "keseimbangan" diatas, menjadi sunnat...

Initial Noting: Berburu Pola. (2)

Setelah sebelumnya kita mencoba berusaha memaparkan maksud dari berburu pola, kemudian muncul respon dari salah satu blog saya. Saya kutip percakapan singkat tersebut, secara verbatim berikut ini: [4/12 09.55 ] S: Ini tentang manajemen waktu mas ? [4/12 12.01 ] Dimas: lebih tepatnya memahami pola S. [4/12 12.02 ] Siti Nur Kholifah Klaten: Ko aku ndak paham yo mas 🙈 [4/12 12.07 ] Dimas Rahman Rizqian: intinya itu, kita mesti paham dengan benar, kapan waktu senang, sedih, istirahat, kerja, refreshing, dst., karena semua itu terpola. [4/12 12.15 ] S: Emg bisa ya mas kita menentukan kapan kita harus senang sedih? [4/12 14.24 ] Dimas: bukan menentukan, tapi mewaspadai pola, kenapa dan kapan sedih dan senang, dengan belajar dari yang sudah dialami sebelumnya. Itulah sedikit tek-tok saya dengan S. Berdasarkan tek-tok dengan S tersebut, kita dapat menarik initial noting dengan penekanan baru. Adalah terkait urgensi penalaran terhadap experience kita masing-masi...

Initial Noting: Berburu Pola.

Dalam hidup kita, masing-masing memiliki jatah waktu 24 jam dalam setiap harinya. Hal tersebut, tidak memandang usia, latar belakang gen, maupun jabatan sosial. 24 jam tersebut, terbagi dalam 12 jam waktu siang, dan 12 jam waktu petang. Dalam range waktu tersebut, masing-masing memiliki aktifitasnya sendiri-sendiri, menyesuaikan jenis profesi sang pejalan waktu tersebut. Terkadang, ada yang beristirahat diwaktu siang, ada pula diwaktu petang. Umumnya manusia, memilih beristirahat diwaktu petang, namun ada pula yang terpaksa mengganti waktu istirahatnya menjadi siang hari. Manusia yang hidup dengan sejuta keragaman profesi, umur, dlsb., masing-masing memiliki kisah manis dan pahitnya sendiri-sendiri. Hal tersebut, memiliki impact terhadap rasa sedih, depresi, stres, sampai frustasi, jika yang tengah dihadapinya adalah kisah pahit, atau hal-hal lainnya yang tidak mengenakan. Sebaliknya, manusia akan merasakan gembira, senang, bahagia, sampai self esteem, ketika ia tengah dilanda k...

Initial Noting: Lomba Sengsara.

Memang tidaklah mudah, apabila kita menempatkan posisi "kebaikan", menjadi prioritas dalam kehidupan, diatas yang lainnya. Misalnya kekayaan, kepintaran, kepopuleran, maupun keturunan. Kita, secara alamiah, kerap salah tempat dalam berfikir, merasa, dan bertindak. Contohnya, ketika ada dua orang dihadapan kita, apakah akan lebih kita pandang terhormat salah seorang boss, atau driver ojol?  Walaupun label boss maupun driver tidaklah menjamin, namun agaknya kita jauh lebih alamiah untuk menaruh hormat pada seorang boss. Mengingat kembali, saat zaman penjajahan di Nusantara, terdapat segerombolan Bangsa Belanda yang mencari rempah. Bangsa Belanda tersebut, jauh lebih "nyaman" tinggal di Maluku, dari pada Jawa. Signifikansinya terdapat pada kekayaan rempahnya. Disatu sisi hikmah dibalik itu, misionaris Kristen tidak se hegemonik di Maluku, ketimbang di Jawa. Dari pola sejarah tersebut, kita bisa melihat dengan nyata, bahwa kekayaan jauh lebih menggiurka...

Initial Noting: Ubah-Pasti.

Pada saat-saat tertentu, apa yang sempat kita anggap sebagai kebenaran, sanngat mungkin untuk kemudian berubah. Kebenaran dalam hal ini, bisa berkaitan dengan apapun. Baik dalam konteks keagamaan, maupun kemanusiaan. Kenapa kebenaran bisa berubah? Sebab, manusia secara jiwa dan raga , akan terus menerus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal tersebut, secara otomatis akan merubah pola hidup (pikiran, perasaan, dan tindakan). Sebagai contoh, kebenaran dalam konteks keagamaan, adalah kewajiban menegakkan sholat. Tidak sedikit orang yang pernah kita temui saat masih anak-anak, sangat rajin sholat, bahkan ada yang ber-ustadz/ah di Pesantren. Namun, saat dewasa, ia justru tidak menegakkan sholat.  Contoh berikutnya, ialah dalam konteks kemasyarakatan. Banyak kita temui, orang yang dulunya sangat akrab, oleh berjalanya waktu malah justru bermusuhan.  Itulah, sepercik dari banyaknya contoh nyata dari perubahan. Maka tidak heran, jika terdapat adagium yang mengat...

Rhapsody Gulita (5)

Hancur tak beraturan, seperti itulah ketika wajahmu hadir dihadapan. Membuat sekujur tubuh kaku dan ngilu. Seolah-olah, ada gertak yang tercipta, dari kesemuan kedua bola matamu itu.  Jelas, kata pun tak sekilas mendetak. Bagai jantung yang tersayat pedang tajam, lumpuh berserakan. Tak tertahan, tak terkecualikan. Barangkali, engkau tak sadar, bahwa dihadapanmu, ada sosok yang terlumpuhkan. Ada sosok yang telah engkau taklukan, hanya dengan sepercik celup senyumanmu. Apalagi, sesaat sebelum engkau meninggalkan lampu-lampu di kedai ini, engkau tertawa kecil, sedang aku pun tersungkur jatuh dalam imajiner paling menderita. Wallohu a'lam. Sukoharjo, 1 Desember 2019.