Pada saat-saat tertentu, apa yang sempat kita anggap sebagai kebenaran, sanngat mungkin untuk kemudian berubah. Kebenaran dalam hal ini, bisa berkaitan dengan apapun. Baik dalam konteks keagamaan, maupun kemanusiaan.
Kenapa kebenaran bisa berubah? Sebab, manusia secara jiwa dan raga , akan terus menerus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal tersebut, secara otomatis akan merubah pola hidup (pikiran, perasaan, dan tindakan).
Sebagai contoh, kebenaran dalam konteks keagamaan, adalah kewajiban menegakkan sholat. Tidak sedikit orang yang pernah kita temui saat masih anak-anak, sangat rajin sholat, bahkan ada yang ber-ustadz/ah di Pesantren. Namun, saat dewasa, ia justru tidak menegakkan sholat.
Contoh berikutnya, ialah dalam konteks kemasyarakatan. Banyak kita temui, orang yang dulunya sangat akrab, oleh berjalanya waktu malah justru bermusuhan.
Itulah, sepercik dari banyaknya contoh nyata dari perubahan. Maka tidak heran, jika terdapat adagium yang mengatakan bahwa "yang pasti dari kehidupan adalah perubahan".
Menyadari akan kepastian adanya perubahan, dapat memberikan pemahaman kepada kita, bahwa tidak ada yang mesti di risaukan teramat dalam. Pun, tidak mesti, dibangga-banggakan terlampau melambung.
Semua yang ada dalam hidup ini, konteks keagamaan dan kemasyarakatan, adalah dua sisi mata uang, alias tidak bisa dipisah-pisahkan, karena itu sudah meng-integral. Seperti halnya, kata dan makna, antara "pasti" dan "ubah".
Dengan selalu menyadari, apa yang sudah kita bahas bersama diatas, seminimal-minimalnya, kita dapat menghadirkan harmoni, baik dalam kata, maupun behavior.
Kemudian, semaksimal-maksimalnya, kita dapat untuk sadar penuh, akan ketidakmampuan kita, terhadap hidup yang serba uncertainty ini, dengan selalu memunculkan diksi "sandaran hati", dalam benak dan gerak.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 2 Desember 2019.
Comments
Post a Comment