Seandainya pagi bisa dipercepat, mungkin saja cerita kita akan lebih memiliki makna.
Sebab, embun-embun yang menetes, jauh lebih sanggup memberi kabar indah, jika dibanding pekatnya malam.
Liak-liuk perjalanan hidup yang amat dinamis ini, seolah mampu mewakili beribu perasaan yang tak sempat diungkap.
Apalagi, sore itu kita tak sengaja bertemu. Maksudku bukan kita, tapi mata kita.
Ah, malangnya daun-daun itu. Mereka hanya bisa menatap, tanpa mampu berucap. Mereka hanya sanggup membersamai, tanpa bisa melengkapi.
Namun satu hal.
Bahwa dibalik bening dua matamu, nyatanya sampai detik ini pun, tak ada sekelumit pun abstraksi.
Mungkin karena, angin di Surakarta tak mau menjadi pihak ketiga diantara nafas kita.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 21 Desember 2019.
Comments
Post a Comment