Sebenarnya,
untuk membahas soal kebahagiaan, saya menyadari dengan sepenuhnya, bahwa
kapasitas yang saya miliki, belumlah bisa dibilang mencukupi. Akan tetapi, ada
hal yang selalu mendorong diri saya, untuk kemudian tetap berusaha mencari,
semenimal-minimalnya semacam menemui konsepsi, apa yang bisa nantinya kita sebut
sebagai kebahagiaan.
Berangkat dari
experience saya yang masih minimal ini, terdapat penggalan-penggalan kisah yang
mungkin dapat dijadikan kesadaran baru, akan konsepsi bahagia itu.
Jadi, siang lalu,
saat saya tengah duduk sendiri, ada salah seorang pria datang. Rupanya, pria
tadi sedang bekerja di sebuah perusahaan daring nasional. Dinamika yang ada
didunia pekerjaannya, jelas terpancar dan terrangkum dari raut wajahnya.
Realitas hidup yang selalu menuai kisah suka dan duka. Kadang pahit, kadang
pula manis. Berkelindan bagai dua sisi mata uang. Namun, yang namanya sifat
alamiah pada diri manusia, adalah menutupi rasa sedihnya, dengan “berkelakar
mesra”. Walaupun sebenarnya, dalam benak terdalamnya, terdapat rasa pedih yang
teramat dalam, tak terukur.
Menutupi
kesedihan dengan berkelakar mesra, hemat saya merupakan keahlian orang
Indonesia, terutama orang Jawa. Tertawa diatas kepedihan, terbahak-bahak
ditengah luka. Serta, menertawai kegalauannya sendiri, menjadi semacam hobby,
juga semacam passion.
Dari penggalan
kisah diatas, saya mencoba menarik sisi konseptual mengenai kebahagiaan. Yang
mana, ketika pria diatas tengah menutupi luka menjadi tawa, apakah itu hanya
bisa dinamakan kamuflase an sich? Apakah kamuflase tentang sedih dan senang,
merupakan kekurangan, atau justru malah kelebihan? lalu, dimana letak sebuah
kebahagiaan?
Apabila disini
kita sebut kebahagiaan adalah ketenangan yang bersifat jangka panjang (walaupun
ini masih subjektif pada masing-masi diri), bagaimana dengan kecemasan yang
silih berganti hadir, menyesuaikan keadaan yang ada? Kapan waktu yang paling
akurat, untuk menerka-nerka labelling akan kebahagiaan tadi?
Sungguh, dari “sedikit”
pertanyaan diatas, memberi petunjuk dan kesimpulan kepada kita, bahwa terdapat
limitasi pengetahuan dan teknologi kebuduyaan, pada diri masing-masing kita. Paling
poll, hanya sekadar memprediksi an sich.
Memperbincangkan
perihal kebahagiaan, merupakan hal yang amat subjektif. Sebab, tolok ukur
kebahagiaan pada setiap individu betul-betul fenomonologis. Sederhananya, kita
bisa menilai orang yang sedang tersenyum. Sekilas, orang yang tersenyum tadi itu tengah bahagia. Akan tetapi,
itu belumlah benar. Minimalnya, kebenaran itu dapat diketahui dengan bertanya
kepada orang yang sedang tersenyum tadi. Apakah benar sedang bahagia, atau jangan-jangan
hanya kamufalse untuk menutupi kesedihannya.
Cara yang memungkinkan untuk melacak kebahagiaan, adalah
dengan kita memberikan space, untuk ber-quality time. Dalam arti, menepikan
diri dari keramaian, untuk semaksimal-maksimalnya menenangkan diri. Kondisi yang
tenang (kondusif), akan membawa diri kita pada suasana yang mendukung, dalam
rangka menghadirkan nalar yang jernih. Nalar yang jernih itulah, instrument
ampuh untuk sesegera mungkin melacak kebahagiaan.
Ditengah kompleksitas kehidupan modern dengan segala
hiruk-pikuk dan riuh-rendahnya, terkadang masing-masing kita agaknya kesulitan
dalam memberikan space, untuk mampu ber-quality time, seperti yang telah saya
sampaikan diatas.
Barangkali, dengan method “ngalah”, kita dapat sedikit
demi sedikit menuju kesana (baca: ber-quality time). Ngalah itu semacam
melepaskan apa-apa yang sebenarnya belum kita dapatkan, itulah keinginan. Sayangnya,
masing-masing dari kita, masih kesulitan untuk membedakan, mana yang keinginan
dan mana yang kebutuhan.
Tarik-menarik antara keinginan dan kebutuhan, kerap
kali berada pada taraf definisi saja. Pun, sesekali kita meng-claim itu sebagai
kebutuhan, padahal sebenarnya itu merupakan keinginan. Pada saat-saat njlimet
seperti itulah, kita butuh sandaran hati. Hanya dengan itu, kita bisa berlaku “seperti
seharusnya”, bukan “seperti senyatanya”.
Syahdan, bahwasanya kebahagiaan itu, berusaha untuk
tetap pada jalur “yang seharusnya”, walaupun “yang senyatanya”, mesti kerap
jungkir-balik dan berdarah-darah. Tidak mudah memang.
Akan tetapi, yang kemudian menjadi suntikan power adalah, menyadari dengan telaten, akan mutiara dibalik yang seharusnya, dan siap sedia untuk waspada, pada di hadapan yang senyatanya.
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 22 Desember 2019.
Comments
Post a Comment