Simbah (kita), tahun 2017 pernah menuliskan isi pikirannya dalam sebuah blog. Beliau bertutur, "Bukanlah hidup, kalau hanya sekadar mencari makan. Dalam setiap aktifitasnya, memberikan ruang dan waktu untuk berdzikir. Seharusnya setiap pekerjaan yang tengah ditempuh, dapat memberikan pembelajaran. Hendaknya, setiap fenomena mampu memberikan makna, demi kebaikan dan kemajuan lahir dan batin." Lebih dan kurangnya, begitu dawuh simbah.
Kelihatannya, statement dari simbah diatas biasa-biasa saja. Sebab, hal tersebut sudah amat sering kita dengar dan ketahui sebelumnya. Namun, apakah kita sudah benar-benar melakukannya?
Segala macam dan jenis aktifitas, jika berkaca pada diri saya sendiri, maka saya temui, lebih banyak yang saya lewati begitu saja, tanpa kemudian direfleksikan dan dievaluasi secara berkala.
Alamiahnya memang, manusia akan bisa berrefleksi, hanya ketika mendapatkan something yang ia asumsikan sebagai hal yang benar-benar berkesan, atau segala hal yang dapat membuatnya terkejut, juga pada hal-hal yang memiliki sifat "lebih". Entah itu lebih senang, atau kebalikannya, ialah lebih sedih.
Ketika menempuh perjalanan dalam hidup ini, hal yang tak dapat kita hindari adalah persimpangan. Persimpangan adalah opsi, dimana kita harus memilih, antara belok ke kiri, ke kanan, lurus, mundur, atau berhenti.
Persimpangan jalan hidup, pun berkelindan dengan seluruh konsekuensinya. Yang menarik, manusia sendiri, ditaqdirkan memiliki limitasi terhadap masa depan. 1 detik yang akan datang pun, manusia tidak mampu menjamin secara total, apa yang akan terjadi.
Limitasi yang melakat pada diri setiap manusia, pada akhirnya memberikan ruang untuk "menyerah". Orang Jawa menyebutnya "ngalah". Menyerah/ngalah, oleh orang yang berfikir, tidak dipahami sebagai tindakan pasif, namun sebuah kesadaran yang aktif. Aktif disini, artinya tidak berdiam diri, namun terus berjalan, menyusun plan terbaik, lalu kemudian "ngalah" dengan seluruh jenis konsekuensinya.
Ketika sekilas dievaluasi, terlebih pada diri saya, tindakan menyerah dalam arti bersifat aktif ini, tidaklah semudah dibayangkan. Prosentase membuktikan, bahwa saya, dan barangkali kita, lebih sering memunculkan sambat. Intinya, tidak menerima begitu saja, apapun yang tengah dihadapi.
Namun, ketika kembali pada dawuh simbah dimuka, seminimal-minimalnya kita dapat terus berusaha, menggali makna dari pengalaman dan fenomena manusia. Makna dalam setiap fenomena dan pengalaman yang kita tempuh, apabila senantiasa diberikan refleksi dan evaluasi, maka sangat besar probabilitasnya, untuk kita lebih dewasa dalam mensikapi segala keadaan, dan kemudian beranjak dari dhulumati ila nur.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 6 Desember 2019.
Comments
Post a Comment