Ketika memilih untuk menempuh jalanan diberbagai Kota/Kabupaten di Negeri ini, (walaupun belum seluruhnya dapat dikunjungi), maka saya mendapati sebuah "keseimbangan", yang didalamnya terdapat sisi negatif dan positif.
Sisi positif-negatif itu, saya ukur menggunakan kaca mata pemahaman Agama yang saya miliki.
Yang positif misalnya, antusiame masyarakat menunaikan ibadah sholat berjama'ah di masjid, dlsb.
Sedang yang negatif misalnya, perdagangan minuman keras dan sekaliber gemerlap kenikmatan dunia sesaat yang merusak lainnya, dlsb.
Kata "keseimbangan", sengaja saya beri tanda petik, sebab makna seimbang sendiri, umumnya dipahami sebagai dua sisi aktifitas kehidupan yang berlawanan namun bersandingan.
Keseimbangan populisnya dimaknai sebagai harmoni dalam realitas masyarakat, sekalipun itu dapat merugikan pada sisi lainnya.
Manusia yang acuh akan perubahan menuju kebaikan, memaknai realitas "keseimbangan" diatas, menjadi sunnatulloh an sich.
Sedang manusia yang peduli akan perubahan menuju kebaikan, akan memberi makna yang berbeda. Mereka akan melakukan identifikasi masalah, menyusun strategi solutif, serta memandang realitas menjadi bidang pengabdiannya sebagai misi kekhalifahan.
Terkadang, kita bisa jadi, berada pada bagian yang acuh, pun terkadang ada pada posisi yang peduli.
Untuk bisa menjadi bagian yang acuh, tidaklah sulit. Cukup lakukan apa yang kamu sukai, selesai.
Tapi, untuk bisa menjadi bagian yang peduli, ini tidaklah mudah. Karena pada posisi peduli, kita mau tidak mau, harus berupaya melakukan sesuatu yang kita benci dan menahan sesuatu yang kita sukai.
Suka dan benci diatas, dalam arti yang berkaitan dengan egosentris-egosektoral, dan subjektifisme unfaedah.
Untuk menjadi manusia jenis "peduli", kita bisa belajar dengan Cokroaminoto, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, dst.
Sedang, untuk menjadi manusia jenis "acuh", kita tidak perlu belajar dengan siapapun.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 5 Desember 2019.
Comments
Post a Comment