Memang tidaklah mudah, apabila kita menempatkan posisi "kebaikan", menjadi prioritas dalam kehidupan, diatas yang lainnya. Misalnya kekayaan, kepintaran, kepopuleran, maupun keturunan.
Kita, secara alamiah, kerap salah tempat dalam berfikir, merasa, dan bertindak. Contohnya, ketika ada dua orang dihadapan kita, apakah akan lebih kita pandang terhormat salah seorang boss, atau driver ojol?
Walaupun label boss maupun driver tidaklah menjamin, namun agaknya kita jauh lebih alamiah untuk menaruh hormat pada seorang boss.
Mengingat kembali, saat zaman penjajahan di Nusantara, terdapat segerombolan Bangsa Belanda yang mencari rempah. Bangsa Belanda tersebut, jauh lebih "nyaman" tinggal di Maluku, dari pada Jawa. Signifikansinya terdapat pada kekayaan rempahnya.
Disatu sisi hikmah dibalik itu, misionaris Kristen tidak se hegemonik di Maluku, ketimbang di Jawa. Dari pola sejarah tersebut, kita bisa melihat dengan nyata, bahwa kekayaan jauh lebih menggiurkan ketimbang "posisi" lainnya.
Kenapa orang kebanyakan lebih memilih kekayaan dari pada kebaikan? Jawabnya simpel, karena mereka tidak mau menderita.
Namun, ada satu hal yang lebih menderita, jika dibanding posisi menderitanya lapar dan haus, sebagai konotasi paling dekat dari kekayaan. Adalah kehilangan meaningfull, akan hidup ini, jika tanpa kebaikan.
Bisa kita crosscheck dalam pengalaman kita masing-masing, bahwa yang menjadi titik persaingan dan tempat yang paling diperebutkan adalah non kebaikan. Hal tersebut jelas, menjungkirbalikkan fakta kebudayaan Nusantara.
Kita bisa membuka kembali, naskah kesejarahan ketika Islam masuk ke Nusantara. Dimana pendekatan moral menempati posisi lebih tinggi, dibanding dengan approach perdagangan. Kita sama-sama paham, makna dibalik dagang dan moral.
Sedang per-hari ini, jelas-jelas kita bisa menyaksikan sendiri, bahwa indikator kesuksesan adalah "kaya", bukan seberapa orang itu mampu berbuat "baik".
Kita juga bisa menatap, betapa ironinya lembaga pendidikan kita, dimana nilai raport/IPK itu menjadi tolok ukur kesuksesan belajar seseorang. Sedang kebaikan, menempati posisi terakhir dari pada itu.
Hal-hal mengenai bobroknya positioning diatas, sayangnya tidak menjadi perhatian utama "Negara", sebagai penanggungjawab seluruh aktifitas kebijakan. Sebab, yang digaung-gaungkan adalah perihal non kebaikan. Walaupun, kita bisa melihat sendiri, bahwa elemen Negara, tidak semuanya melulu begitu.
Dengan realitas semacam ini, bukan saatnya lagi berpangku tangan menatap kejungkirbalikan budaya kita. Maka, saatnya melakukan investigasi kenyataan.
Investigasi kenyataan ini, menjadi background untuk kemudian menghadirkan reformulasi yang solutif, bagi diri, sesama dan sekitar.
Tentu, masing-masing kita perlu dengan sadar, untuk memahami, apa yang harus diperhatikan, apa yang perlu dipedulikan, dan apa yang wajib dirubah.
Masing-masing kita, memiliki limitasi. Sedang bersama limitasi, terdapat kompetensi.
Dengan kompetensi lah, kita bisa melakukan perubahan atas mlorotnya kebudayaan hari ini, pastinya dalam sudut dan kuasa kita masing-masing.
Sekali lagi, tidaklah mudah. Namun, bukan berarti impossible.
Semoga, kita tidak salah sangka atas perlombaan di Dunia ini. Yang mana, kaya selalu menjadi titik tuju dalam arus besar masyarakat kita. Padahal, sudah banyak sekali bukti, bahwa mengejar materi tidak akan ada garis finishnya, sama dengan lomba untuk sengsara.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 3 Desember 2019.
Comments
Post a Comment