Seiring berjalannya waktu, ternyata aku masih menjadi orang yang amat sangat gagal melupakanmu. Terutama tentang semuanya, yang pernah dan sempat kita lewati.
Bagiku, dirimu adalah tetes embun di pagi hari, yang membasahi daun-daun itu. Cintamu menetes, sedang rindumu menyejuk kedalam palung hati.
Tulisanmu, candamu, senyumu, kini lenyap terbawa angin disini. Yaa, angin di Surakarta.
Ditengah riuh-rendahnya jalanan Solo-Yogya, lagi-lagi lintasan histori kita, tak pernah mampu kuhapus seketika.
Perihal semoga yang engkau katakan, kini lenyap. Lenyap dan menguap.
Apalagi yang harus aku lakukan. Apalagi yang seharusnya aku upayakan, untuk bisa melupakanmu seutuhnya. Seminimal-minimalnya, dapat mampu menepi diantara dahaga batin ini.
Sungguh, pelupuk matamu pernah aku nikmati, sebagai bagian dari kebersyukuranku atas kuasa ilahi, yang jelas itu adalah estetika sejati.
Tapi, entahlah...
Saat ini yang hanya bisa aku lakukan adalah, memandangi bayanganmu. Sembari memegangi gawai, yang pernah rutin menerima kabar romantic dari hatimu.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 9 Desember 2019.
Comments
Post a Comment