Skip to main content

Posts

Showing posts from 2021

Mengalami Diri (18)

Sampai pada tataran yang lebih estetis, sesungguhnya kita ini tengah mengalami keterlemparan yang teratur. Semacam tingkat paradoksal sekaligus absurditas yang memusar, diantara kecemasan dan dengan keyakinan. Sekalipun tidak dicerna sedemikian rupa, toh ujung-ujungnya akan menemukan sendiri apa yang sama-sama kita sebut sebagai terminal diri. Disana, ada yang berlalu-lalang bersama tas kecil berisi recehan uang. Terdapat pula yang melamunkan romansa terwujudnya impian. Dan nantinya, semua akan berhenti di jawaban ke kebaruan pertanyaan. Manusia sama-sama memilih pola yang ia yakini tepat, tanpa pretensi memprimerkan yang barangkali masih sekunder. Apalagi, manusia memang terlekat dengan sisi situasional yang lebih dinamis ketimbang wilayah personal yang relatif statis. Syahdan, mayoritas diantara kita terkapar lemas oleh pandemi yang belum juga usai. Beberapa lainnya, menikmati wabah ini sebagai afirmasi kelicikan ekonomis hingga politis. Silahkan saja, toh semuanya akan sampai juga p...

Lewat Halaman Hati (25)

Hari-hari, tak berpenghuni. Menitipkan pesan, kepadaku. Lihatlah, engkau seperti mayat orang Afrika Tanpa nama, bukan siapa-siapa Dengarlah, disana ada yang lupa Tentang dirinya, atas arahnya Segeralah, menemuinya. Beranjaklah, merangkulnya ***Banyumas, 30 November 2021.

Mengalami Diri (17)

Klausul: "Apapun yang tidak sesuai, pasti tidaklah baik"; menjadi pengalaman pahit akhir-akhir ini. Dari mengenyam produktif menjadi boros, dari kasuistik potensi beralih ke impotensi, dari mendulang peluang malah terperosok bangkrut. Memang tidaklah sanggup dipungkiri, bahwa mengkonversi ide menjadi entitas kreatif merupakan jalan menggiurkan bagi seorang "pembangkang" seperti saya. Terlempar dari keramaian, menyusup ke ruang sepi tak berpenghuni. Untungnya, ditengah pergulatan putus asa masih ada semacam katarsis untuk merilis rasa, "November Rain" salah satunya. Ia bukan sekadar lagu, tetapi endapan hidup. Sejenis pendulum makna yang terdeskripsi sangat padat, minimal bagi saya. Entah bagiamana mekanismenya, hampir selalu kebetulan menjadi sahabat karib yang menyelimuti pengalaman batin seseorang. Batin yang ceria ataupun suram, sama-sama meneteskan benih jangkar untuk mengalami apapun saja kedepannya. Syahdan, mungkin bagi sebagian orang Viktor Frankl ...

Mengalami Diri (16)

Menghela nafas di tengah kegamangan, agaknya menjadi tema sentral dalam menapaki waktu akhir-akhir ini. Andaian atas "kegamangan", memberi sinyal tersendiri bagi pegangan yang beranjak tak adekuat. Mencari ulang yang adekuat itu, bukanlah hal yang ringan. Apalagi alih-alih menemukan yang dituju, kadangkala yang ditemukan justru distraksi baru. Entah kenikmatan yang sama sekali baru, atau tujuan lama yang bersemi kembali. Situasi gamang, kerap lebih membahayakan jika dibiarkan. Semacam gusar yang menggelayut diam, lambat laun meledak tak tentu tempat dan kapan. Barangkali, sesekali kita menjumpainya dalam rasa lelah tak berujung disaat istirahat sudah dirasa cukup. Juga rasa yang tak semenarik biasanya, lebih ke hambar. Pencarian tidak ringan atas yang adekuat itu, kerapkali membingungkan pertautan isi hati dan kepala. Dilema tak berujung, pun kerumitan yang terlampau kompleks. Akibatnya, komplikasi hubungan jiwa dan raga menjadi kabut penutup. Berjuang untuk keluar dari zona ...

Mengalami Diri (14)

September 2021, nyaris selesai. Memberi penanda pada produktivitas saya dalam menulis, mengalami penurunan. Beberapa alasan yang mendasarinya ialah, perubahan aktivitas. Namun, pokok penyangkalannya yakni "kepahaman diri bahwa diri ini belum sepenuhnya paham." Pada sebagain kasus, "mengetahui bahwa saya tidak tahu" itu bagus. Bahkan, ilmu tertua di dunia (baca: filsafat), mengatakan demikian. Konon Socrates, "puncak pengetahuan adalah tidak tahu". Pemahaman akan hal tersebut, begitu penting. Tetapi, agaknya penting pula untuk selalu mengalami elaborasi dan evaluasi, menyesuaikan berkembangnya diri. Mengetahui bahwa diri tidak tahu, semoga kita sudah paham akan hal itu. Bahwa sangat berbeda, namun sangat tipis dengan apa itu kealpaan pengetahuan. Mudah-mudahan semua saling mengerti, mana yang konotasi dan mana yang denotasi. Nun, pada akhirnya 'kuda-kuda' mengerti bahwa diri tidak mengerti ini, pada sisi lainnya berkemungkinan mengalami kekacauan. H...

Sebuah Ingatan Ilmuwan Tarkam

Catatan Pengantar Di umur yang sudah melintasi seperempat abad, agaknya saya merasa perlu untuk "sedikit" mengumpulkan beberapa ikhwal endapan fenomenologis yang saya punya.  Saya memberi andaian, sejatinya apa yang sejauh ini saya miliki, bukanlah sesuatu yang "layak" untuk diketahui orang lain. Sebab, rasa-rasanya tak penting-penting amat, apapun saja yang saya alami dan miliki, adalah figur berharga bagi Panjenengan semua. Ini, buku ini, tak lain hanyalah tulisan dari manusia yang kalah berkali-kali; sesosok manusia yang telah membuktikan dirinya, bahwa sandangan "sia-sia" adalah gelar prestisius dan kemewahan durjana, yang mungkin sempat ada di pagelaran sejarah.

Sejenis Pengantar

Siapa yang mengenal saya? Apakah mereka; keluarga, sahabat, teman, tetangga, bakhan pasangan. Semuanya atau yang sejenisnya, apakah benar-benar mengenal makhluk bernama saya?  Barangkali, pertanyaan diatas terkesan klise. Seolah-olah semacam lamunan lewat kemudian pergi, tak bernilai apapun, jauh dari kata bermakna. Sia-sia belaka. Syahdan, sesekali agaknya "perlu" untuk sejenak coba kita tempatkan yang terkesan klise itu, pada titik tekan sejenis perenungan.  Ya, "barangkali yang mungkin", betapa "jangan-jangan" sering dan kerap orang-orang justru "diam-diam" mempertanyakan ikhwal tersebut itu. Saat ia sendiri, pada keheningan dan keramaian yang menjelma sepi, saat ketika yang lain tertidur di dini hari. Banyumas, 18 Agustus 2021.

Mengalami Diri (13)

Pada pertengahan tahun 2021, tapal batas masa telah memasuki  pendulum menuju akhir. Manusia masih manusia, tumbuhan dan hewan pun demikian. Menjalani peran, sekaligus bergantian peran. Perubahan memang niscaya, sekalipun kita sama-sama kerap membencinya. Sebab, tak ada yang rela meninggalkan kemapanan, terlebih jika rentang perjalanannya justru merosot tak menuai kata membaik. Stagnasi dihindari, apalagi degradasi. Bagi mereka yang menganggap "dunia" tak "penting-penting amat", pasti lebih berbiasa melakoni kebobrokan. Berbeda dengan mereka, yang meletakannya pada titik "segalanya". Lagi-lagi, kita diingatkan akan "permainan makna". Dalam artian, apapun saja tak mungkin berdiri dalam ruang kosong. Senang itu makna, sedih pun demikian. Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan hampa; tak merasakan senang ataupun sedih? Secara kategoris, hampa tidaklah termasuk dalam makna, sekalipun bisa diklaim juga, bahwa itu masuk pula dalam makna.   Mau percaya y...

Catatan Untuk Dirimu

mengada, bukan kehendak tak pernah berhak memiliki, kemudian hilang awan menjadi hujan hanya gerimis, hujan barang sebentar lembab menjerembab coret saja kenangan, bilas tanpa menyisihkan busa-busa dosa anggap lah, tak pernah ada saya saya tak ada pernah ***Banyumas, 31 Juli 2021.

Mengalami Diri (12)

Jika hanya karena kesepian engkau kemudian mencari keramaian, maka sudah bisa dipastikan; apabila telah hinggap ramai di batinmu, engkau mencari yang sepi. Tak berkesudahan, siklus rutin tanpa arti; kecuali sekadar loncat kesana-sini. Juli yang menatap di akhir ini, betapa sudah kita terbebas dari kungkungan informasi; melewati batas-batas pendahulunya, acapkali justru kelewat batas sewajarnya.  Pandemi, menjadi isu sentral masyarakat kita; trending topic di jagat jiwa manusia Indonesia. Tak lebih memprihatinkan dari keragu-raguan bertindak, terlampau pelik untuk sekadar mengudar rasa; indecisivesness garis lugu. Pasti, tidaklah berlebihan jika lewat pageblug fenomenologis ini, kita semacam terjerembab pada kedengkian sosiologis; terutama pada mereka yang tak tahu rumongso, nir-simpati, apalagi level proporsi empati. Survive hanya pada pangan, tidaklah mampu menutup kebencian atas pengkhianatan terhadap filosofi "sama rasa". Rasa itu pusat, biang keladi dari pikiran; percikan...

Mengalami Diri (11)

Juli, memasuki langkah keduanya. Kita, dan saya terutama, telah melewati dan mengalami sekaligus dari Juni, didalam Juni. Adapun perihal baik dan buruk, mesti bersanding dialektis. Sama, dalam derajat dikotomis, namun berbeda secara kemauan memberi perspektif. Betapapun pedihnya realitas paceklik yang tengah sebagian besar manusia mengalami, tetap saja terkandung bagian-bagian manis. Walaupun, yang manis itu adalah menikmati resapan-resapan dari kepahitan. Memilih berdamai, sekalipun perang tak pernah usai. Konon, kepedihan hanyalah bias kognitif atas peristiwa yang belum kita kuasai. Ketika sakit dipikirkan sebagai sakit, maka sakitlah. Namun, bias tersebut tidak selalu tepat. Misalnya, jika itu terjadi pada tuna makna, mereka yang tak punya kesadaran arti; meaningless. Kembali lagi, kita terpaksa mengingat ulang atas makna-makna yang telah terlewati. Dari naik-turunnya hidup, hingga stagnasi yang kerap mensabotase nurani; hopeless. Syahdan, setengah jalan ditahun ini, pasti telah sem...

reinkarnasi

apa yang bisa aku rasa rasa yang bagaimana  mati mati mati mengada kenapa kenapa bagiamana hidup hidup hidup sebelumnya sesudahnya sejatinya ***Cilacap, 15 Juni 2021.

Mengalami Diri (10)

 Juni, telah melintas di hari ke lima. Mengajak refleksitas pikiran pada rentang jalan yang terlewati, dimana up 'n down, agaknya cukup mematangkan aksioma hidup ini. Konon, komparasi tidaklah sehat untuk meninjau prestis. Kemajuan atau kemunduran, mungkin belum sepenuhnya kita akui dengan pertumbuhan diri, melainkan ia dan mereka telah sampai mana, sedangkan saya sudah berada pada titik yang mana. Barangkali, semacam kodrat godaan duniawi yang hanya berlaku menjadi alat uji. Dahulu, katakanlah 10 tahun yang lalu, manusia menganggap dirinya berhasil, jika dan hanya ketika ia sanggup memenuhi kebutuhan primer, dalam lingkup kecil. Tetapi saat ini, tentu berbeda sama sekali, yang mana hal tersebut di reinforce oleh perluasan jangkauan penglihatan dan pendengaran akses digital. Hingga, yang mungkin sebenarnya telah cukup, sontak merasa kurang. Syahdan, ruang-ruang kepedulian untuk mengaca; membaca ulang sejarah diri, perlu sesekali di agendakan. Bukan sekadar menjadi trend mental heal...

Mengalami Diri (9)

Syahdan, wacana tentang kedirian hampir selalu menarik perhatian setiap orang. Sekalipun, lahirnya akar social science lebih belakangan lahir ketimbang hulu natural science, sejak Socrates membawanya. Namun, agaknya tumbuh kembang atas pengamatan kedirian tak lekang oleh zaman, membumi antar generasi. Banyak sekali method, untuk kemudian mendekati apa dan bagaimana kedirian ini. Mulai dari percakapan awam, hingga melibatkan refleksi yang menyeluruh dan radikal. Tetapi satu hal, garis bawah selalu hinggap pada "diri", yang tidak stagnan.  Aspek-aspek yang terus berkelindan dalam kedirian ini, tak terelakan dari tiga prinsip dasar; biologis, sosiologis, serta psikologis. Diluar tiga hal tersebut, hanya termasuk pengayaan an sich; semacam ruang kosong atas rentang jalan perjalanan diri itu sendiri. Pada akhirnya, kepahaman atas dinamika diri yang terjadi dibalik perilaku diri tersebut, menegaskan kembali bahwa kuasa atas diri seperti bagaimana yang akan menjadi persona, nyaris m...

Dalam Jalan

Selayaknya hidup, Hidup selayaknya.  Tak layak hidup, Langkah yang ber-riak; dangkal di ingat, terlampau permukan di makna Sia-sia hidup, Jikalau hidup hanya hidup Tak banyak di cerna, Hanya hidup sewajarnya di tutup Moral moral moral Bukan, Oral oral oral Hingga, Tak lagi hingga Sekalipun, Hingga pun berbatas ***Cilacap, 16 Mei 2021.

Mengalami Diri (8)

Setelah sekian lama tanpa coretan di blog pribadi, agaknya kelelahan menuangkan ide dalam eksisten aksara, menuai sedikit kelegaan. Misalnya, atas arogansi truth claim; merasa benar. Pun, oleh karena pengalaman dan pengetahuan dalam diri yang kelewat krasan tak di uji. Rentang jalan terlalui begitu saja, ada makna yang dipetik, ada pula kesia-siaan yang melulu tak berbekas. Adakalanya pula, yang bermakna dan yang sia-sia, bergandeng kelindan akrab bersamaan. Terik siang, gelap malam, sunyi sore, sejuk pagi, menjadi hidangan tak terhindari dari adi kodrati yang Maha. Kita, titipan tak sepenuhnya sadar atas yang di titipi menjadi kosong dan hampa, oleh karena bias konstruksi akal berfikir.  Lalu, bagaimana dengan ia? Mereka yang mungkin sangat sedikir tersentuh oleh wacana elitis, misalnya konsepsi "sebelum cahaya", atau semacam format "ode to my family", hingga keluasan yang memadat pada "bohemian rhapsody". Barangkali, seisi alam hendak mengisi dari ruang-...

Lewat Halaman Hati (23)

semacam terlempar dari gelanggang, sebelum bertanding  perang kebatinan namun, waktu terus berjalan. siapa yang tau, sampai kapan tak ada cerita, bagi mereka yang berbicara; pada kediaman yang paling menggelisah berpasangan hanya kerumunan, tak ada nilai dari seberang lantang, menyelundup sampai tak berjarak konon, sekadar monoton monolog monolog luka tak sembuh seketika tanpanya, akankah kita pergi kesana nirwana,  tanpa definisi kebebalan, tak abadi keterbukaan, tak selamanya ***Banyumas, 24 April 2021.

Lewat Halaman Hati (22)

pada hari sore pada jalan, tak sempat sepi selebihnya, aku titipkan semuanya aku sandar genapkan apa mau di kata kepulangan  yang bagaimana kebelakang kedepan  sama saja menghadap membelakang ujungnya sama duduk duduk renung merenung lebih ke, melamun lamun sekalipun masih resah sajak ini, pastilah menyejarah pada wajahmu pada wajahmu pada wajahmu ***Banyumas, 24 April 2021.

Selepas Kepergianmu (1)

selepas kepergianmu, semua berontak diam. kau, gubah segalanya dari makna tersembunyi, pada ruang sempit tak berpenghuni selepas kepergianmu, arti terlempar dari kata. pun, bunga memenggal ronta  dari kilas berbekas luka, ke kediaman, masa silam  penuh cita apalah arti,  dari ini. jika bukan kau, pemberi api lalu, apakah kita sempat bersepakat,  untuk melupa  kemudian, bagaimana jika puncak impian, berlalu membiru pejam, pejam, pejam mata, telinga, rasa duduk, diam, hening ***Banyumas, 22 April 2021.

Belum Genap Manusia (11)

Masih ia cari bentuk paling sempurna, dari kekacauan batin yang menganga. Ia, tak berhentinya menempuh, untuk sekadar sanggup bercengkrama dengan wajah menatap teduh. Sesekali, ia berjumpa pada angin yang meratap, menyela langkah lunglainya. Belum genap manusia, masih dikejarnya. Sekali lagi, hanya ia yang mengalami, begitu panjang rentang kepedihan. Meskipun, canda tawa hampir selalu ia jumpa, tetapi itu hanyalah sekadar romansa. Mudah hinggap, seketika lenyap. Tak ubahnya waktu, berlalu menyandarkan senyuman pilu. Mereka, bersembunyi dibalik haru, menyejarah bak samudera Hindia-Walanda. Semua penuh, rahasia-rahasia tak tersentuh. Batin yang sunyi, jiwa yang terlampau senyap, nasib perempuan Sumatera yang ia sasar sebagai pertautan spiritual sastrawi. Hinggap disanubarinya, empati ber-emansipasi. Walau, tak ada ruang untuk sekadar menyelinap, membebas-leburkan batin-batin berlumuran jeritan. Syahdan, tali-temali pancang tindakan, ia susun sebagai titipan. Sekadar, menemani jerih payah...

Aspal Berhati (2)

terlempar, terjerembab. termehek, oleh lalu-lalang nasib biarkan, ia daki lembah disana. toh, pundak batinnya perkasa di langit yang masih sama, padanya. murung memaksa, padat merayap dari Solo, sampai ke sini. masih, belum juga dimana, kemana. oleh siapa, untuk siapa ***Cilacap, 21 April 2021.

Belum Genap Manusia (10)

Masih diambang gamang, sesekali apa yang menjadi titipan mendadak berontak. Tak sekali dua kali, bahkan semacam mengelindan dari ujung penantian ke lembah pemberhentian. Syahdan, keheningan yang diam dan berjalan, memaku pangku tangan menggali demi menemui, selat terjal bernama jiwa tenang. Meskipun, dinamika tak terhindari, dari denyut nadi kehendak melampaui. Hingga, rasa cemas mengalun mesra, membersamai keimanan arus bawah. Dari gelap, menuju gelap. Dari terang, ke terang kembali. Apapun saja, memang menyita korban dan pengorbanan. Sekalipun, kehilangan mesti memulai wedaran ejawantah yang bernyawa kebaruan. Belum genap manusia, lagi-lagi merupakan asa menempuh rentang jalan. Misteri mina dzulumati ila nur, seyogyanya tidak lepas dari yang adekuat disana-sini. Nun, kehendak bebas, batasan ruang gerak, kelapangan waktu, dan semua probabilitas nasib, mengabari jiwa-jiwa yang haus, akan kepasrahan ambisi. ***Banyumas, 19 April 2021.

Belum Genap Manusia (9)

Tidak ada yang kentara dari mimik wajahnya, ketakutan atau keberanian, sekalipun wajah dalam sudut pandang tertentu merupakan jembatan untuk sampai pada sisi lain kedalaman jiwa. Tatkala yang ia pengangi adalah peluang dan potensi, beserta probabilitas yang mengelilinginya, ia sama sekali tak bergeming sedikitpun dari upaya "duduk-duduk", menerungi rentang jalan, ber-refleksi ditengah nasib terus berjalan. Apapun saja, adalah pengalaman menghidupi untuk hidup, hidup untuk menghidupi. Dari kerumunan ia diam, dari kesunyian ia berteriak-teriak. Sendiri dalam kebersamaan, bersama dalam kesendirian. Syahdan, sekitaran hanyalah cipratan dari kuasa yang Maha. Ia pun sama, sekadar karunia yang tumbuh dari "mungkin" ketidaktahuan pengetahuan. Terlempar dalam senyap, mewedar dirinya sendiri dalam riuh-rendah peradaban. Belum genap manusia, hanyalah permukaan ditengah kedalaman. Pembuka dari isi-isi yang memaknai makna, penutup dari pembuka-pembuka selanjutnya. Bukankah, gena...

Aspal Berhati (1)

mengamati, lebih ke menanti. seutas tali, milik pelebar nyali ada apa disana, tak kunjung mengada. ia, diam memungkas kelihatan, sepi menyelam batinnya. pun, mengejek nasibnya kesana, tak ada. kesini, tak jua ditemui bagaimana, nanti. esok hari, milik buah hati berpasangan, melampaui adikodrati. mengalami, lebih sekadar menjalani ***Cilacap, 8 April 2021.

Belum Genap Manusia (8)

Selebihnya, memang tak lepas dari sekurangnya. Ketika manusia mengadakan dirinya, tidak lantas kemudian mereka ada dengan sendirinya. Hal ini, tidak sekadar menegaskan atas apa yang sama-sama kita sebut sebagai kausa prima. Sebenarnya, terlalu banyak hal yang sepertinya memungkinkan untuk diganggu gugat. Terlebih, atas segala hal yang menyangkut eksistensi kemungkinan. Akan kemana roda berjalan, disitulah letak perputaran. Melingkar naik diturun, pun turun dinaik. Waktu memang konstan, tetapi kesunyian rasa waktulah yang relatif.  Syahdan, ketika manusia beranjak dari satu kondisi ke kondisi berikutnya, cepat atau lambat, dengan persiapan atau asal-asalan, tetap saja ia akan sampai pada adikodrati kausal, dengan catatan terkendali dan penuh kesiapan, atau serampangan dan cenderung amburadul. Konon, keterkaitan relasi pergumulan sosial akan sangat menumbuhkan energi. Dilain pihak, oleh sebab keterkaitan relasilah manusia terpaksa sakit parah, luaran dan kedalamannya. Hingga, tanpa k...

Belum Genap Manusia (7)

Jangkar atas nama "kemungkinan", selalu hinggap dalam rentang perjalanan. Manusia lah, yang notabene memiliki akses "langsung" untuk ber-kendali atas alam kemungkinan tersebut. Maka, dualitas kiri dan kanan, tidak mungkin akan menyisakan pemberhentian. Adalah wajar, bila keraguan dan keyakinan bercokol kelindan pada tiap-tiap pra-putusan. Hal yang barangkali sama-sama ditemukan, ialah justifikasi atas apapun saja, yang menjadi kehendak itu sendiri. Memilih untuk sebegitu sumbu pendek pada pihak ekosistem sosial, hanya akan membebalkan keluasan. Sebagai pengayaan, sesama manusia yang terlampau gampang memberi label, hanya akan mempersempit ruang tumbuh-kembang kebudayaan. Tentu, budaya yang dimaksud disini ialah kebersamaan menjalin imunitas kebijaksanaan, dalam luaran kebermanfaatan. Sisi lain dari ini, yaitu perihal kompatibilitas ruang dan waktu, dengan kesiapan mental masing-masing dari kita. Tidaklah elok, bila standarisasi atas diri dipatenkan ketika sedang ata...

melintas di zaman (2)

tentang hati yang terpaksa patah, oleh harap yang tak juga menemui singkap ada apa gerangan? mengapa semua begitu sempit di kata tak berkesudahan aku mencarinya nama-nama, tempat-tempat, sisi pandang yang padat dan adekuat tak lama berselang memang, jangkar waktu dan perikesudahan demi apa lagi semua terjadi, perjalanan memaksa berlari lelah, bersambung di gelisah marah, bergulat di kediaman sekalipun tertawa apa adanya, itu hanya nyanyian sejenak dari panjang haluan kemarau ada apa kemaluan? tak ada malu di muka pengandaian sisi lain menjadi api, kemana lagi ditempuh perih-perih hujan tak lagi mewah bila penantian hanya menjadi perasaan ***Banyumas, 28 Maret 2021.

Melintas di zaman (1)

Keriuhan, sama sekali tidak mampu dilepas begitu saja dari ketenangan. Keduanya berhukum simultan, sesekali kelewat integral. Memisah-misahkan diantar lini dari entitas tersebut, hanya akan menuntut batin menyelami watak transaksional. Kelebihan atas kapasitas informasi yang mau tidak mau harus ditelan tiap harinya, acapkali menuntut kepekaan diri untuk menimbang, memberlakukan seapadanya tanpa pretensi membumbui makna. Hal ini tidaklah mudah, sekalipun manusia kerap melatih dirinya, tetap saja maknawiyah tetap terseret, walau secuil-cuil. Perubahan dunia atas pandemi, memaksa semua aspek mengalami kegamangan. Lingkup spekulatif, diam-diam menjadi rahasia umum untuk sengaja diberlakukan. Kanan ataupun kiri oke, terlebih semua tengah menempuh adaptasi yang tidak ringan. Syahdan, tertawa dan kesedihan jauh panggang di makna, sekadar pasti di nyata.  ***Banyumas, 28 Maret 2021.

(28) Lagi ngapain;

  malam, menempuh selasa. apa, mau di kata sunyi, menepi sendiri. letih, memasti katakan, kalimat-kalimat patahmu. pun, repihan atas adanya apa, hendak diucap. apa, hendak ditangkap rasanya, masih. rasa-rasanya, tetap ini, terkait waktu. penebusan, atas jeda ***Cilacap, 22 Maret 2021.

(21) Lewat Halaman Hati

  lahir, terlahirkan. lahir, dilahirkan semenjaknya, apa adanya. setelahnya, ada apanya realita, ke seharusnya. semestinya, menemui makna tak ada sesat, sekadar sasar-sasar. mudah, dipersulit apa, dibawa. kemana, memuainya ***Cilacap, 22 Maret 2021.

(20) Lewat Halaman Hati

cemas,  mengetengah. diantara,  pendulum kata-kata bias, masih meraja. oposisi biner,  menjadi terpaksa konon, aku bukanlah utama. begitupun,  kau dan mereka mustahil,  sanggup dicerna. sesat pikir,  mengada-ada aku,  bukanlah aku. pun kau,  bukanlah kau sekadar,  jelmaan. mengalir,  di sekitaran merasa,  menabula. kepolosan, tercoret warna ***Banyumas, 21 Maret 2021.

(19) Lewat Halaman Hati

demi waktu yang beriring binasa, ku alunkan rindu ditengah badai curiga demi waktu yang beriring binasa, sekadar do'a menjelma rangka-rangka demi waktu yang beriring binasa, tentang apapun saja yang bagaimana kepada pagi-pagi, siang-siang, sore-sore, malam-malam, seisi ruang-ruang ***Banyumas, 21 Maret 2021.

(27) Lagi ngapain;

terbagi, ke sisi. adalah, aku dan ia melintas, angan di awan. melampaui, bukit bernadi meski demikian, mereka menerka. ada apa, bagaimana hati, menempuh jujurnya. sengkarut, ditepikannya selasa, masih menjadi. menuju sapa, kita menanti bersama ***Banyumas, 20 Maret 2021.

(26) Lagi ngapain;

pendulum, kiri di kanan. kanan, di kiri kembali lalu, berlalang. rutinitas, berkilas-kilas disini, dikini. triki, didepan dilalu wajahmu, dalam langit kepala. menunda, kesana-sana seperti, pada sore biasanya. berbeda, di rindunya ***Banyumas, 19 Maret 2021.

(25) Lagi ngapain;

tepat, diantara pekat. ada dan tiada, semacam lumat memilih,  menginjak sepi. mengadu dadu, diambang ragu kita, menyimpan saja. hingga, selasa pagi menyangga panik, barang sebentar. tenang, mungkin tak abadi bagaimana, sekadarnya. untuk apa, sewajarnya kekasih, kans terkasih. berpasangan, menjelma ruang ***Cilacap, 17 Maret

Mengalami Diri (7)

Pada setiap detiknya, dunia dengan segala macam warnanya  senantiasa mengalami perubahan. Cepat atau lambat, signifikan atau sekadar permukaan. Sebagai manusia yang membaca, barangkali kita kerap kelimpungam diatasnya. Dalam aturan main, yang serba holistik, bertalian dengan waktu dan ruang. Pertanyaan awal disusul dengan jawaban awal. Jawaban awal diikuti oleh pertanyaan kedua, begitu seterusnya. Irama dialogis semacam ini, mengalir beriring-kelindan dengan segala jenis terminal keraguan dan yakin sekaligus.  Berangkat dari alam jalan yang terkesan kisruh dan harmoni itu, jiwa kerap mengalami kelelahan, pun kenikmatan mencari dan menemukan, secara sepaket.  Sungguh, hanya mereka yang melebarkan sayap-sayap keluasan cara pandang, yang akan menuai sisi-sisi permata yang dapat dijadikan pijakan, untuk menembus skat-skat misterius yang disodorkan rentang kegamangan kodrat hidup dan peri-kehidupan. Syahdan, kebebalan cara berfikir, seringkali muncul oleh karena ketidakmauan m...

ANTOLOGI "Sajak Kembang Wangi"

ANTOLOGI Sajak Kembang Wangi Oleh ; #Dnfithr {Dhani Fitriyani} #Tonyfa {Alan Fatoni} #A.A.K {Ahmad Abdul Khaq} #dRR {Dimas Rahman Rizqian} #AR {Emha Nailul Author} #GetaranSenja {Devi Lestari} #ZH.I {ZulHaji Ismail} #siNU {Silfi Nahdiatul Ummah} Spesial celoteh #Dolop \M/ {Ali Antoni} ----- "Sederet kalimat mengalir begitu saja bersama liuk pena mungil yang sedari tadi ia pegang. Tak begitu sadar ternyata dia sudah duduk di bangku itu lebih dari satu jam lamanya. Waktu yang cukup lama bagi mereka yang menunggu, namun teramat singkat baginya yang tengah mengulang deretan kisah yang terjalin dalam kurun waktu tahunan." Aku tak yakin betul kau masih mengingatku, atau sekedar mengingat namaku. Pun begitu, ingatan tentangmu selalu menarik untuk diulang-ulang kembali tanpa menyisakan rasa bosan. Tentang namamu, cara berpakaianmu, cara berjalanmu, makanan kesukaanmu, dan hal-hal tidak penting lainnya menjadi amat penting jika itu bermuara padamu. (Dhani Fitriyani) ****** Seraya mata...

Pendulum Ingatan (3)

Pada ratapan mana lagi, kita tuang resah disini? Makna tak ubahnya gelombang, mudah datang mudah pergi, sesekali pasang sesekali surut. Aku tak butuh simpati atas segalanya, sekadar sejauh mana intensi itu mengada, selaku cerapan mediasi untuk menempuh yang esensi. Walaupun pasti, ragu tetap menggayuti. Barangkali, nafasku mengecap lelah untuk eksis, oleh apa yang aku kejar dan ikuti. Konon, pengorbanan adalah jalan, tetapi sejauh kapan? Sampai dimana, letak jalani? Mengapa sebegininya, cinta? Apakah engkau mengerti, betapa hati terlampaui pelik bila harus kusasarkan padamu. Terutama, pada gerombolan bising, melambai-lambai disana. Nun, sekalipun tak berkedip mata merantau di sunyi, aku tetaplah aku, dan kau tetaplah kau.  Syahdan, kita sama-sama bertanya apa, mengapa, untuk apa semuanya. Hingga, bugenvil dihalaman ini, kau pinta sebagai prasasti, dari batas ruang terjal itu.  ***Banyumas, 14 Maret 2021.

Pendulum Ingatan (2)

 Menatap ringan diatas gelas-gelas plastik, sedikit menipu hati yang kembali menuai harap. Apapun saja, mengaliri hunian ramai disini. Atas nama derita dan juang, mereka menemui keberanian melampaui. Letih tak terhindarkan, kusut menampar-nampar. Namun, asa masih terbungkus rapih, selayang pandang membumbui detik jalan yang tak sepenuhnya lapang. Meski begitu, tak ada yang tega menyalahkan kenapa, dimasa silam. Kangen begitu dingin, kalut pada deruan gerimis malam ini. Hingga, para pejalan kaki tak tergoda untuk menoleh pada belakang, utamanya pada sisi lain pengkhianatan.  Konon, disini sempat ada kesiapan, untuk berterus terang pada fase nyaman. Sekadar tinggal, tanpa ada ketetapan batin pada sementara. Seluruhnya, memilih sebagai prasasti, tempat tatapan menuai memori. Syahdan, semua mengalami berkala, tak secepat harapan, tak selambat kekhawatiran. Sungguh lengang dalam pantauan, cukup padat di kenang. ***Purwokerto, 9 Maret 2021.

Pendulum Ingatan (1)

Pada batas yang masih menjadi ruang, sesekali waktu tak bergeming dari relatifitasnya. Bahkan, pendulum bernama ingatan, justru lebih dominan dari makna tindakan. Kita, sesekali termenung oleh ragu, tanpa disengaja dan terrencana sebenarnya. Hingga, bias yang terbilas oleh kata-kata, termakan habis oleh kehendak berkuasa. Ini tentang siapa dan apa, atau semacam kebelumsiapan menerima atas resiko pedih yang mengarah luka. Sekalipun semua telah kering sepenuhnya, ternyata ketidakmauan mengulang nestapa, adalah perjuangan menempuh dewasa. Kemarilah, semua masih bisa kita bicarakan. Seluruhnya, masih mampu kita urai, membersamai daun-daun jatuh. Meski, keadaan masih mengeluh, mengikis haru yang pernah sama-sama kita cipta. Kekasih, kau pernah menaruh hati sedalam angan kepadanya, aku pun demikian. Syahdan, palingan mana lagi yang akan kita tempuh. Saat-saat jenuh, adalah musuh. Pada waktu tertentu, memburai keluh, kehabisan kalimat untuk sekadar mengusir lusuh. ***Purwokerto, 8 Maret 2021.

terkasih

atas nama hati yang lama sepi, aku titipkan sajak ini kepadamu istriku,  untuk suatu hari kau tuturkan kepada anak kita. bahwa, tak ada niatku menyengsarakan hidup, selayaknya hidup tak berniat menyengsarakanku  atas nama penglihatan kosong disini, aku sampaikan sajak ini kepadamu istriku. sungguh, apapun saja yang sempat kau tatap begitu kosong, sejatinya terkandung oleh Dzat yang tak pernah kosong atas nama nafas yang terlampau sepi, aku sodorkan kalimat di sajak ini, kekasih. bila nanti, jalan begitu lengang kau dapati, datangilah Ia sang pemilik melampaui, bergegaslah untuk sampai, pada pihak yang menjadi terkasih, peluklah anak kita, ajaklah ia menyelami cakrawala yang membentang, selami ia seperti engkau menyelamiku, selayaknya engkau menyelami takdir, secekupnya engkau menerimanya sebagai buah hati pemilik zamannya ***Banyumas, 8 Maret 2021. 

(18) Lewat Halaman Hati

pada akhir yang sementara, segala yang terlewat akan teringat. dari beberapa, atau semuanya pada akhir yang sementara, penggalan tercecer pada separuh. aku tak penuh, begitu pun kau pada akhir yang sementara, tubuhku terlumat tanah. tak ada lagi imaji, sekadar titipan yang belum pasti ***Banyumas, 8 Maret 2021. 

Mengalami Diri (6)

Adakalanya, segalam macam yang kita ketahui, memerlukan pembiaran terlebih dahulu. Semacam memberikan jeda, untuk yang diketahui tersebut terendap, untuk kemudian sewaktu-waktu diketengahkan kembali. Barangkali, selama ini manusia terlalu terburu-buru untuk memikirkan segala hal, padahal tidak semua yang terketahui, kemudian langsung harus dieksekusi kedalam alam pikir. Seperti tubuh yang butuh rehat, pikiran pun demikian. Tubuh yang manusia miliki ini, punya keterbatasan, seperti hal nya indera yang diistirahatkan dalam kesehariannya. Konon, mengistirahatkan pikiran jauh lebih sulit ketimbang mengistirahatkan tubuh. Bahkan, acapkali antara tubuh dan pikiran, kerap terjadi tarik-menarik dan berlaku nir-sinergis. Disinilah, prinsip semuanya memerlukan latihan, penting disadari kembali. Tubuh di olahragakan, sedang pikiran di olahpikirkan. Keduanya memerlukan intonasi, beserta irama dan temporalitasnya.  Syahdan, peluang atas pemahaman baru dalam setiap harinya, akan selalu ada. Seba...

Mengalami Diri (5)

Untuk sampai pada mengalami irama hidup berprinsip "maraton", diperlukan pemahaman yang universal, radikal, sekaligus reflektif. Poin atas pemahaman tersebut, memberikan peluang yang lebih besar untuk menyadari kebutuhan bertumbuh. Maraton sebagai sisi paradoksal dari sprin, mengandaikan rentang jalan hidup yang panjang dan lebar. Subjek dan objek yang memiliki ketahanan, akan dengan sendirinya menggeser kegemilangan apapun yang bersifat kesementaraan. Kemudian, poin yang melingkupi secara integral pada prinsip maraton tersebut; pertama soal universalitas. Menaruh arti, keluasan jangkar pandang, yang kemudian akan membawa ke arah kedewasaan sudut pandang, sekaligus menjernihkan resolusi pandang. Lalu kedua, tentang radikalitas. Bermakna melintas jauh ke titik-titik akar yang melatarbelakangi segala hal (first principle). Misalnya, manusia memilih menu makan, maka first principle-nya adalah soal lapar (biologis), etc. Dan ketiga, perihal reflektifitas. Term ini, membumbui sika...

(24) Lagi ngapain;

za, aku tak mampu menuliskan apapun seolah semua beku, padat mengucap namamu za, aku larut pada waktu pada kita ucap beserta pembuktiannya za, apakah engkau mengerti soal ini, patah yang melumat segalanya tapi kau lah permata Tuhan, yang sempat tertahan itu ***Purwokerto, 3 Maret 2021.

Mengalami Diri (4)

Nun, kerapuhan atas keterangan dunia, sangat mungkin untuk memberi ruang pada eksplorasi. Namun, perlu manusia berikan garis bawah pada tabiat akal, yang memiliki fungsi memecah-pilah. Fungsi memecah, berkaitan erat dengan abstraksi detaling. Sedang fungsi pilah, bertalian erat dengan konsepsi menamai objek. Keduanya, sama-sama memberi ruang pertumbuhan, sekalipun potensi terpeleset mesti selalu ada. Kegamangan dan ketegasan atas segala hal, bahkan menjadi sisi integral dari keterangan dan kerapuhan dunia. Manusia, sebagai pelaku dan pengamat sekaligus, seringkali kerepotan mengalami dualitas peran tersebut. Namun, keluasan atas dualitas tersebut, telah banyak membantu mengawal perjalanan. Hingga pada akhirnya, pemahaman atas yang esensi dunia, menjadi jembatan filter yang ampuh bagi sang agen bernama manusia. Misalnya dalam makanan, rasa manis, pahit, asin, etc., hanya perihal pemenuhan kebutuhan alamiah jasad. Syahdan, menyadari dan menerima seapadanya pengalaman, merupakan modalitas...

Mengalami Diri (3)

Bulan pun berganti, beberapa babagan hidup mengalami perkembangan. Ada yang berkembang memburuk, terdapat pula perkembangan membaik, pun didalamnya masih ada yang "krasan" mengalami pengulangan.  Sebagai pelaku dari masing-masing episodenya, manusia kadangkala memilih mengelak dari apapun saja yang menjadi senyatanya. Barangkali, alamiahnya, kalau-kalau mengakui seapadanya yang nyata, kerapkali menyiksa batin pelakunya itu sendiri. Konsep atas "naik-turun", suasana hati memang sangat mudah untuk diterima sebagai konsep an sich. Namun, harus diakui bersama, bahwa mengalaminya secara "tak berjarak", merupakan wujud pergandengan antara penderitaan, sekaligus kenikmatan tersendiri, yang benar-benar teramat privat dan sunyi. Pancang jalan atas titik-titik pengalaman, menjadi salah satu kajian menarik bagi para pegiat fenomenologis. Hingga, betapa berharganya arsip-arsip berbentuk ingatan itu, dimediakan keranah metodologis. Sebab, premisnya sederhana; yang memb...

Mengalami Diri (2)

Untuk sampai pada titik sadar dalam menjalani hidup, nyatanya bukanlah hal yang mudah. Manusia diterpa oleh keadaan yang ragam tekanannya, kemudian rela menerpa dirinya sendiri, demi pertumbuhan batin beserta lahiriyahnya. Ketika manusia sadar atas hidupnya, pelan-pelan ia akan secara alamiah untuk sadar pula akan apa yang dimaksud dengan kesungguhan hidup. Misalnya, dari mana ia ada dan akan kemana ia ada.  Apakah tentang perjanjian eksistensial dengan Tuhannya, apakah perihal berbalas budi kepada ibu-bapaknya, apakah tentang bagaimana menjalin relasi dengan teman sebaya, tentang menemukan kekasih idamannya, atau sekedar menjaga alam nabati dan tata krama dengan hewan, pun pada makhluk ghoib seperti jin dan malaikat? Agaknya, segala jenis yang manusia ketahui, tidak kemudian mereka benar-benar pahami. Bahkan, untuk sampai pada level "bahwa ia paham atas apa yang tak ia pahami", padahal ia sebagai dirinya sendiri, tengah mengalami. Syahdan, barangkali kiat arif menghadapi dir...

(17) Lewat Halaman Hati

teramat banyak, kata tak terucap. apalagi, sekadar tatap mata menetap hingga kesedihan mendalam, kerap ku simpan. hanya karena, takut engkau larut sebegininya garis Tuhan menggayung seisi jiwa. sesekali, berkabung sekilas tersanjung air mata menetes, tak berarti ada sesal disini. hati ini barangkali, tak ada arti di beri. untuk menjadi tanpa sia-sia hening pada dada, menetes tangis. tersampai,  dalam-dalam ***Banyumas, 26 Februari 2021.

(16) Lewat Halaman Hati

masih melantun di tanya. membelenggu,  diantara titik-titiknya aku masih merindui-Nya, perihal terjadi, atas nama apa saja perasaan meronta-ronta pikiran mengulasnya terbang ke ufuk sana mengerti, tapi tak bertepi menanti namun lagi-lagi kembali ditempat ini, dahulu ku jajaki mimpi apapun itu, ku lalui mengapa kembali, bila permulaan sudah menjeruji kenapa begini, mengarti jatuh di sunyi nafasku menanti. keteguhan hati, mengarungi disini, lemah berbisik. disini, lelah mengusik demi abadi, sorot mata melukis nurani ***Banyumas, 25 Februari 2021.

(15) Lewat Halaman Hati

aku terbunuh,  diantara kita. tersisih,  ke belukar dada mereka,  berbiasa. mengapa,  disini berbeda apakah perihal luka, liang duka yang belum kering sepenuhnya lagi, ku coba isi. lanskap nafasnya,  di hati atas nama cinta tak bertepi, kuasa belum terjadi. berpihak,  ke janji ***Banyumas, 24 Februari 2021.

(14) Lewat Halaman Hati

ketika wajah merpati terbang, ia menatapnya diam. menghujam di malam, tanpa kaitan rembulan jangan salahkan ia, tak menolehmu di angan. merpati tumbuh, tak hirau belaian namun sayangkan, ia di kelaparan. tapi sayangkan, berkepak tak seimbang ***Banyumas, 22 Februari 2021.

(13) Lewat Halaman Hati

sungai-sungai disana, masih bersantai gemuruh. ikan tak kelihatan, memisah gaduh anggun daun pisang, tenang. tak ada lagi, sorak-sorai kelam dari mana,  terbitnya gelap. kemana, hadirnya terang yang hadir di penampakan, yang luput ke penantian. warnaku, jauh panggang dari arang ***Banyumas, 22 Februari 2021.

(8) Lewat Halaman Hati

terurai, satu demi satu gelapnya. menepi, sampai disini apapun saja, bukan kita pelakunya. kau, lebih dari sekadar batasan pilu semestinya, memang bukan aku kan? ucapmu parasmu,  menipu. menjatuhkannya, ke liang temaram  ***Banyumas, 21 Februari 2021.

(23) Lagi ngapain;

siapapun saja pasti mengakuinya. Tutur lembut dari wajahnya, menjangkit di hati   siapapun saja pasti mengakuinya. Kekhasan jiwa lugu, terpaku di khusyuk   siapapun saja, pasti mengakuinya. seperti pekat disini, mengikat tak bersyarat   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

(6) Lewat Halaman Hati

berhari mengalami, nihil dari sini. nihil dari apa,  garisnya   kelapangan,  menjadi delusi. apa artinya menjadi,  ini itu apa saja   terengah, lewat kapar sesak. kemana,  ia   atas nama hidup seluruhnya, sungguh dekat di gamang. asa,  kuasa   ***Banyumas, 16 Februari 2021

Menemui Diri (2)

Pada saat-saat dimana kejujuran menjadi barang mahal, kadangkala kita terpaksa berkompromi dengan kobohongan. Korupsi terus menerus ada, penipuan berkedok hadiah pun masih kerap sama-sama kita jumpai, etc. Mungkin, tidak banyak kebohongan yang kita lakukan terhadap orang lain, pun tidak pula menjamur kebohongan yang dilakukan orang lain terhadap kita. Akan tetapi sadarkah, bahwa sangat mungkin kebohongan itu justru lebih banyak kita suguhkan kepada diri sendiri? Berusaha untuk bertindak jujur, terutama kepada diri sendiri, bukanlah perkara yang sederhana. Acapkali, kita tersiksa oleh karena itu semua. Bahkan, rela melakukannya sekedar demi mengamankan yang tak semestinya diamankan. Melakukan satu kebohongan, akan diikuti oleh kebohongan berikutnya. Begitu juga sebaliknya; bertindak jujur pasti akan menuai kejujuran berikutnya. Begitulah, prinsip kausalitas yang berlaku. Meskipun lagi-lagi, butuh pembiasaan untuk merealisasikannya. Syahdan, jalan terjal menemui diri, tidak selamanya sed...

Menemui Diri (1)

Februari 2021 sudah nyaris berlalu, beberapa resolusi yang dicatat, pelan-pelan terlaksana. Barangkali, tak sepenuhnya maksimal menjadi hasil, tetapi itu kita sama-sama mengerti, bahwa keberanian menjalani, adalah kemewahan hidup tersendiri. Ditengah pandemi yang kondisinya tetap mengalami naik-turun ini, pasti membuat perasaan kita mengikuti. Senang karena keluarga kita masih sehat, sedih sebab aktifitas masih terbatasi. Bersyukur pada saat-saat seperti ini, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dari situasi seperti sekarang ini, dimana lalu lintas digital pesat berjalan, seringkali kita kemudian larut didalamnya. Fitur dan media sosial menjamur, pertukaran informasi tak terbendung, siapapun berhak berbagi melalui akun pribadinya masing-masing. Larut didalamnya, adalah kewajaran, tetapi memilih untuk tidak larut, juga adalah kewajaran. Memilih untuk tidak larut dalam media sosial, tidak kemudian kita akan kehilangan teman, relasi, pamor, dan lain sebagainya. Justru, diri kita sanga...

(5) Lewat Halaman Hati

banyak yang harus kita redam dalam-dalam. terlebih, bila bukan yang tertepat untuk di singkap aku masih tercecer diantaranya. sekalipun,  hanya secuil kail sementara, kita masih meraba. atas arah,   melambung rekah atas gundah kau cukupkan. aku, pun ini bukan ego siapa bagaimana. hanya keyakinan, pasti keyakinan ***Banyumas, 13 Februari 2021.

(21) Lagi ngapain;

aku masih menyimpanmu, di sela tangga lagu. bernyanyi lirih, bersama abu aku hendak kemana, wajahmu ada disana. pada riuh sabda langit, mengulik meta selamat atas kita, garis waktu milik-Nya. mengusir fana, menjahit cinta ***Banyumas, 13 Februari 2021.

(20) Lagi ngapain;

langit kelabu, kabar duka, masih menjadi tema kau berdiri diseberang,  ku harap, kau  bertahan tak ada pelangi, mendung, raung menggelantung  pun,  rintik hujan pelan, melantun  rapih tersusun nada- nada pertemuan, nada-nada perpisahan, hitam lebam  badai,  mengetengah, mendera memesan ini padamu melati susut, mawar tersuri, menepi hanyut menanti tumbuhnya, tak mudah, tertatih menyimpang  ke lengang benarkah ini terjadi, atau sekadar imaji, laku halusinasi aku yang memilihmu, dan kau, memau menau sayang, sayang sayang, sayang sayang ***Purwokerto, 12 Februari 2021.

(19) Lagi ngapain;

kau sempat mengabadikan ganesha di galeri, mengingatnya sebagai buah dari perjalanan aku, mengkhawatirkan itu. perihal terjaga, dari abu-abu sepertinya,  kau tak hirau. waspada menjagamu, katamu kau bergeming eksplanasi, mengatasnamakan eksplorasi, mengulik yang jati aku nemilikimu, meski belum utuh itu. kau boleh begitu, asal bersamaku ***Banyumas, 11 Februari 2021.

(4) Lewat Halaman Hati

lemah, berlimpah disini. mercusuar, tak ada lagi gema, barisan suara yang berkaca, ada satu yang hendak loncat kemana, lalunya semua. hilang, menatap seharusnya pergi, temukan diri. pada kesetiaan, mengatap di harapan ***Banyumas, 11 Februari 2021.

(18) Lagi ngapain;

ada yang hening, di sela tanya. ketika halus, kau bersuara cukuplah hening, menjadi lama. saat lambat, ku geluti cerita dari mana ini semua, aku bertanya. dari hati, jawabnya aku tak tau soal hati, lintasku. perhatikan sebabnya, lintasmu kita,  menjelma suara. kita,  menyahut di nada.  aku,  masih. dan kau,  pun ***Banyumas, 11 Februari 2021.

(17) Lagi ngapain;

mataku,  ingin kesana. menatapnya,  amat lama mauku,  berkata di sisi. menyelinap jari jemari, menggenggamnya mengucap, apa yang terjadi. perihal,  seutas tali gagal ku, tak berarti. hancurku,  tak bermakna lagi pagi dan malam berganti. menyeberangi gelisah, mesti ku lakui ketika kau berkata lewat mata,  duduk disebelahku, bernyali bertahan selawasnya ***Banyumas, 10 Februari 2021.

(16) Lagi ngapain;

kaku,  lesu membisu. terkecualinya, aku ternyata,  letih mengulangi. jiwaku, tengah disana jarum jam masih sama, lewat tengah malam adanya, hening. riuhnya, di kepala jika, sesekali tak menemui maka, aku pun sama hingga, konteksnya terberi. aku simpan, dalam-dalam merapat, memadat,  disini ***Banyumas, 10 Februari 2021.

Mengalami Diri (1)

Beberapa orang, pasti tak sanggup menyadari sepenuhnya, atas apapun saja yang tengah mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan. Paling maksimal, barangkali memahaminya secara sepihak, terpisah oleh waktu, ataupun menunggu konfirmasi dan validasi dari pihak lain. Premis ini sangat boleh untuk di uji, diabaikan, ataupun dipercayai. Toh, riset terkait hal ini sudah sangat banyak dibahas.   Pengetahuan atas kesadaran diri yang berkembang “lambat”, membuat beragam metode bermunculan, yang mana tujuannya adalah, sama-sama mengejar atas seminimal-minimalnya, menjawab pertanyaan kapan dan bagaimana seseorang tersebut benar-benar “sadar”. Misalnya, apakah waktu siang lebih sadar dari pada malam, atau sebaliknya.   Demikian esensialnya kesadaran, serta pengetahuan atas ketidaktahuan akan hal tersebut, sedikit demi sedikit mampu melebarkan pengkondisian diri pada ruang bernama “jeda”. Jeda itu, barangkali semacam “keluar” dari “arus”, dan sementara memposisikan diri sebagai pengamat ...

(3) Lewat Halaman Hati

perangai mana lagi, menjadi pijakan membasuh kering. dimana, ia bertanya pada atap-atap kosong, diseberanginya rintik daun laban disana. kenapa, begini masih saja, kegamangan sebagai tema. mengapa, kita pada hujan sore ini, diatas meja paling belakang. mengulas semua, yang tak seharusnya harapannya sia, berputar di altar. bagaimana, ia ***Banyumas, 9 Februari 2021.