Ada sebuah fase, atau stages, mungkin juga disebut masa, dimana apa-apa yang selama ini kita inginkan terhenti. Barangkali apa-apa tersebut telah dan sudah kita percayai sebagai sebuah tujuan, target, visi, goal, bahkan cita-cita, mandeg begitu saja.
Entah karena sulitnya "apa-apa" tersebut diatas, atau bisa jadi sebab bosan. Mungkin saja berlatar oleh asbab yang belum sepenuhnya mampu kita definisakan dan deskripsikan.
Apa-apa yang terhenti itu, oleh orang kemudian dicari sebutannya. Ada yang menyebut futur, ada yang menyebut krisis identitas, ada pula yang pula menamainya sebagai kehilangan orientasi. Sebutan dan penamaan untuk sebuah kondisi keterhentian gerak dan langkah perjalanan itu, tidaklah keliru.
Hidup ini, saya yakin tidak akan pernah lepas dari dua kondisi yang selalu "berlawanan". Adalah antara baik dan buruk, senang dan sedih, sepi dan ramai, gelisah dan tenang, hitam dan putih, dan segala macam sebutan yang memiliki nilai berlawanan lainnya.
Ketika saya mencoba mengorek pengalaman pribadi maupun orang disekitar, kemudian sedikit ditemukan bahwa, ada pola yang terjadi. Bahwa semua hal yang pernah kita jalani dan alami, memberikan makna dan kesadaran baru. Bisa itu berjenis sinonim makna, maupun antonim kesadaran.
Setiap orang memiliki batas kemampuan dalam melakukan reasoning, maupun praksis empiris. Disitulah, terjadi kebutuhan untuk mengambil jeda. Berhenti sejenak, untuk mengambil nafas jelas di butuhkan. Mengalokasikan waktu untuk jeda, berfungsi sebagai kuda-kuda batin.
Dalam tubuh kita, ada batin yang menyimpan berbagai informasi dan pengalaman. Di batin lah, segala problema kita save, baik disengaja maupun tidak disengaja. Memori jangka panjang, pun juga memori janga pendek.
Kemudian, saat orang mengalami kegabutan, mereka melakukan eksperimen. Ada yang mendapatkan solusi, dengan cara menuliskan apa yang benar-benar mereka butuhkan dan inginkan. Ada juga, yang pergi refreshing mencari udara segar. Pun ada yang hanya sekadar bertemu dengan orang-orang baru, untuk berbagi keadaan.
Yang jelas, keterhentian "apa-apa" itu, bagi saya bukanlah terhenti dalam arti yang sesungguhnya. Hanya saja, ada logos dan nilai empirik yang belum sampai kita bisa jabarkan. Hidup ini terus berjalan, sekaligus umur yang senantiasa berkurang, dari detik ke detik.
Hal yang terkait dengan tujuan hidup, oleh semua agama, parpol, ormas, dan segala macam dan jenis manusia di muka bumi ini, adalah ketenangan. Situasi dan kondisi substantif "tenang", mungkin hanya dapat diperoleh manakala irjingi ila robbiki rodhiatan mardhiyah.
Siklus warna kehidupan, betapapun enak dan pedihnya, tidak ada pilihan lain, selain tetap bertahan untuk terus berjalan, seberat apapun dan seringan apapun.
Sehebat-hebatnya rencana, se-reliable alat analisa apapun juga, tidak akan dapat benar-benar memberi kepastian. Maka hemat saya, ada kenikmatan sekaligus kesedihan dalam jiwa kita, saat kita memiliki keterbatasan kepastian.
Disitulah, kita diberikan space oleh kehidupan, agar supaya menemukan pangkal dari hidup ini. Pangkal dari segala pangkal. Ujung dari segala ujuang. Sumber dari segala sumber. Maha dari segala maha.
Harapannya tentu, tiket "keamanan" dapat sama-sama diperoleh, ditengah situasi tarik menarik antara baik dan buruk, seumur hidup. Dan, sangat mungkin, kalau-kalau "tiket keamanan" pangkal kehidupan, belum juga kita cicil biaya penebusannya.
Berangkat dari sadar akan keterbatasan kepastian, terlebih terkait tiket keamanan, maka seminimal-minimalnya, kita tidak sembrono dalam merasa, berfikir, dan bergerak.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 8 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment