Seandainya mampu dirubah, pasti aku kan
memintamu untuk sama sekali tidak hadir dalam perjalananku. Sebuah perjalanan
panjang dan melelahkan, yang disertai beraneka ragam kecemasan.
Cemas yang di kemas, dalam sentuhan-sentuhan
nafas kerinduan. Namun, rindu itu hanya milik yang satu, yaitu aku, bukan kita.
Sedangkan kau, hanya terdiam membisu, menatap wajahku yang lesu, oleh harapanku
sendiri.
Aku memang gelandangan cinta, yang berkelana
menyusuri hati-hati yang terluka. Oleh karena harapan, yang mengecap dan
membentang. Berkelana melewati rimbunan derita, yang sama sekali tidak tersentuh
bahagia pada akhirnya.
Lagi-lagi, kau hanya terdiam tanpa suara
sekecap pun. Padahal, kau jelas-jelas menatap rasa dihadapanmu, yang dengan terang
benderang menaruh harap yang sekejapmenyelinap.
Apalagi yang harus aku sampaikan kepadamu?. Bertahun-tahun
sudah kita jalani, namun sejatinya hanya aku yang menjalani, bukan kita. Entahlah,
kau yang dengan mudahnya berpindah hati. Dari hatiku yang kau senyapkan, menuju
hatinya yang kau nantikan.
Kalau memang ini yang kau harapkan, seharusnya
kau bisa katakan terus terang sebelumnya, tanpa harus terlebih dulu menggores
luka atas nama cinta kita. Oh..sudahlah, kau memang hadir bukan sebagai takdir,
melainkan sekedar mengisi catatan pilu yang sembilu.
Menyaksikan berpuluh wajah orang, kemudian imajinasiku
hanya terkapar, menyaksikan apa yang seharusnya tidak sama sekali kau lakukan. Bunga-bunga
harapan tersungkur jatuh, tanpa ia tahu, oleh sebab apa ia luluh.
Dan, seandainya ada waktu untuk kembali, aku
akan memilih untuk menepi, dari berbagai misteri yang besar kemungkinan, akan
melukai kembali.
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 20 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment