Peringatan hari kesehatan jiwa dunia, pada awalnya diinisiasi oleh Wakil Sekretaris Jenderal World Federation For Mental Health (WFMH), Richard Hunter dan menjadi agenda tahunannya.Tanggal 10 Oktober 1992, menjadi sebuah momentum yang mengawali kesejarahan world mental health day.
Pada 10 Oktober 2019 ini, World Health Organization (WHO) mengangkat tema "suicide prevention" atau pencegahan bunuh diri. WHO merilis pernyataan, jika setiap 40 detik satu orang di dunia kehilangan nyawanya karena bunuh diri. Maka kemudian dicanangkan gerakan "working together to prevent suiciede, 40 second of actions".
Melalui hari kesehatan jiwa Dunia, mengingatkan kita bahwa, mengakhiri hidup dengan cara pintas bisa terjadi pada siapa pun, tanpa mengenal latar belakang sosial maupun kelompok usia.
Kasus-kasus bunuh diri, ternyata memiliki data yang cukup mencengangkan. Jepang menjadi salah satu contoh kongkret, tingginya angka bunuh diri, sebagai negara maju.
Mereka memilih mengakhiri hidup dengan cara gantung diri, menenggak racun, dan menembak diri sendiri, serta menjatuhkan diri dari gedung bertingkat. Salah satu penyebab bunuh diri yang paling umum adalah depresi.
Hal ini berkaitan erat dengan kesehatan mental seseorang. Oleh karenanya, WHO mengimbau pemerintah di seluruh dunia membuat kebijakan guna membantu warganya mengatasi stres. Dengan begitu, akses untuk melakukan percobaan bunuh diri bisa diturunkan, untuk kemudian dapat dicegah.
Aksi-aksi itu bisa dilakukan di ranah privat, misalnya dengan mengajak berbicara teman yang menderita gangguan mental. Bisa juga dilakukan secara publik, misalnya melalui sebuah iklan layanan kesehatan mental di media, dlsb.
Bentuk aksi yang lain juga bisa dilakukan sesuai dengan profesi kita masing-masing. Misalnya, profesi kewirausahaan. Dimana pengangguran dari tahun ke tahun terus melonjak, hal tersebut ber-impact pada ketidakbahagiaan kebutuhan primer, sekunder, sampai tersier.
Orang yang menganggur, sangat rentan mengalami luka batin. Sebab, misalnya di Indonesia, orang menganggur adalah aib masyarakat. Tekanan batin secara sosial, jelas-jelas dapat kapanpun menghinggapi perasaan kaum pengangguran.
Sebagai orang awam, terkadang kita hanya bisa sekedar menjadi pemerhati, tanpa sanggup membersamai. Orang-orang yang ada disekeliling, bukan tanpa problema. Bisa jadi, pintu segala macam konflik itu ditutup rapat oleh pemiliknya. Hanya saja, tidak selalu setiap orang mau untuk membagikan, apa yang kita sebut sebagai derita psikologis.
Tentu, subconscious yang autentik akan kemanusiaan, tidak akan mampu menatap wajah-wajah tersisih oleh dunya la tarham. Tidak akan siap, untuk kemudian melihat sorot mata dhu'afa, apalagi warna mimik mustad'afin.
Humanisasi, liberasi, dan transendensi, jelas menjadi paradigma kehidupan yang melekat, khususnya bagi mereka yang rindu akan kepulangan kehadirat ilahi robbi.
Orang-orang yang memiliki nalar subconscious autentik, bukan sekedar akan memanusiakan manusia, tidak hanya akan sampai memberi power pembebasan an sich, akan tetapi basis terdalamnya adalah keimanan terhadap yang Maha. Itulah sejatinya prophetic awareness.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 10 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment