Handoko yang memiliki keterbatasan ekonomi, pada akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal di “kamar bayaran”. Ia kemudian menetap sementara di salah satu rumah ibadah, yang dikelola oleh masyarakat setempat. Handoko adalah salah satu orang yang beruntung di desanya, yang mendapatkan kesempatan “sekolah”.
Di sekolahnya itu, Handoko cukup inten mengikuti jam pelajaran, juga lumayan mahir membersamai ekstrakulikuler. Sampai-sampai, Handoko ini sering mendapatkan kepercayaan untuk menjadi “suruhan” banyak orang. Itu karena keseriusannya dalam mengikutsertakan dirinya dalam pergumulan sosial.
Pada malam kemarin, seperti biasanya Handoko dan masyarakat setempat menjalankan ritualitas peribadatan. Namun sesaat sebelum Handoko mau masuk ke kamarnya, tiba-tiba Pak Sulaiman memanggilnya. “Mas Handoko, monggo ikut saya”, tutur Pak Sulaiman yang waktu itu sudah bersiap diatas motor maticnya. “Memangnya mau kemana yah Pak”, tanya Handoko dengan kepala menunduk tanda penghormatan kepada yang lebih senior. “Sudah ikut saja”, respon balik Pak Handoko. “oke Pak siap, saya kunci dulu kamarnya”, timpal Handoko sambil memegang sarungnya yang kedodoran. Mereka berdua pun melesat dengan pasti, menembus gang-gang sempit padatnya kota besar, dengan metode berboncengan satu motor.
Handoko yang pemalu, tidak sekecap pun mengucap se kata, apalagi se kalimat, walaupun itu sekadar basa-basi. Mungkin karena ia takut keliru bertutur, sebab bahasa milik Handoko dan Pak Sulaiman ada beberapa perbedaan. Namun dipertengahan jalan, Pak Sulaiman memberikan sapaan sambil mengendarai motornya, “sekarang lagi banyak demo yah...” ucap Pak Sulaiman. “iya Pak, tadi siang saya dapat informasi dari story wa ada demo di ibu kota”, respon Handoko sambil memegangi hape jadulnya.
Tidak berselang lama, pada akhirnya Pak Sulaiman menekan lampu sein ke kiri, lalu kemudian berhenti di kedai susu sapi murni. “Pakde, saya pesan roti bakar dua, sama susu nya tiga yah”, ucap Pak Sulaiman kepada penjual susu itu. “oke Pak siap”, respon penjual sambil memegang beberapa gelas dan satu serbet ditangan kirinya.
Sambil menunggu susu dan roti bakar dipersiapkan, Pak Sulaiman melontarkan tanya kepada Handoko, “mas, sepertinya Pak RT akan mengeluarkan Perppu kapeka yah”. Handoko tersenyum, lalu kemudian merespon, “saya sebenarnya sedang tidak mengikuti informasi dengan detail Pak, akan tetapi sepertinya akan begitu, soalnya Pak RT kita itu kan sekarang lagi dekat dengan pakar aturan, Prof. Emde.
Selang beberapa menit, susu dan roti bakar sudah dihidangkan dan siap untuk disantap-santap ria. Kemudian Pak Sulaiman bertanya kembali, “Mas Handoko tidak ikut demo?”. Sambil nyruput susu, Handoko nyengir dan menjawab, “saya lagi absen dulu Pak dari hal-hal yang begituan”.
Pak Handoko kemudian memperlihatkan percakapan di group wa miliknya, sambil menimpali “ini loh kelakukan oknum lembaga keamanan RT, mereka sekarang sudah berani dengan lembaga pertahanan RT”. Dalam percakapan di group wa tersebut terlihat oknum lembaga keamanan sedang mencekik salah satu anak sekolah yang sedang demonstrasi, entah dimana tempatnya, yang jelas itu seperti didepan kantor lembaga eksekusi RT. Handoko hanya termangu-mangu dan cukup getir melihat video pendek itu, sambil mengatakan “waduh. . .kok sampai bisa di video segala yah”.
Masyarakat komplek sekarang memang sedang cukup diresahkan dengan fenomena-fenomena elite, juga lumayan sedang “ditakut-takuti” oleh gejala konflik yang terjadi di wilayah komplek sebelah. Beberapa orang ada yang beranggapan bahwa RT kita sedang sakit, ada juga yang menyimpulkan bahwa RT kita sedang tidak baik-baik saja.
Mereka yang dulunya mendukung Pak RT, mengatakan bahwa ini bukan murni kesalahan RT. Namun sebaliknya, mereka yang dulunya tidak mendukung Pak RT menyatakan bahwa ini sangat dominan kegagalan kepengurusan RT. Ada pula yang memiliki sikap ekstrim, mereka mengatakan “ini salah sistem kelola”. Entahlah, yang jelas, malam yang hangat pada waktu itu, memberikan resapan momen yang romantis kepada pihak penjual dan pihak pembeli susu murni dan roti bakar. Riuh rendah kendaraan bermotor memberikan nafas, bahwa kehidupan masih berlangsung relatif normal.
Pak Sulaiman yang dulunya merupakan alumni lembaga pertahanan, sepertinya masih melekat dalam benaknya, tercermin dari susu murni dan roti yang ia pesan di sikatnya habis dalam hitungan detik. Berbeda dengan Handoko, yang mana ia ditakdirkan memiliki perut yang kecil dan gigi yang bermasalah, jadi susu murni dan roti bakarnya cukup lamban ia konsumsi.
Memang seyogyanya, RT kita memerlukan gigi yang kuat dan perut yang besar, jika memang percepatan dan efektifitas menjadi jangkar tujuan. Akan tetapi, gigi semacam itu nampaknya tidak bisa diterima, khususnya oleh mereka yang sengaja menikmati perut kuasa. Terlebih bagi mereka yang punya permasalahan dengan pikiran “ngeres”nya. Mereka mungkin punya semboyan, “satu-satunya jalan untuk mendapatkan gelar kehormatan, maka harus mengalahkan”.
Mengalahkan disini, bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga dalam koridor makan, minum, seksualitas, sampai urusan popularitas. Padahal, idiom “mengalahkan” tidak pernah diajarkan oleh sutradara kehidupan, dalam segala macam kesempatan pementasan. Yang pernah kalah punya kans untuk mengalahkan, sedang yang telah mengalahkan punya peluang untuk mempertahankan, yang memprihatinkan adalah mereka yang ter”kalah”kan.
Wallohu a’lam.
Surakarta, 2 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment