Skip to main content

Eskalasi Benturan Kebudayaan

Siapa yang menyangka, kalau-kalau Sartiman di takdirkan lahir di tanah Jawa. Siapa juga yang menduga, jika Deni di nasibkan hidup dan besar di tanah Nusa Tenggara. Soal dimana orang lahir, bukanlah sesuatu yang masuk dalam list planning. Belum pernah saya rasa, kita temui orang yang kemudian men-setting perihal kelahiran. Namun soal perjalanan hati, siapa yang tahu.

Bisa jadi karena soal ekonomi yang belum sejahtera, konflik suku, dlsb., orang kemudian berpindah tempat tinggal. Barangkali melalui program pemerintah, baik itu transmigrasi, bedul desa, atau hanya imigrasi, atau urbanisasi.

Perpindahan secara geografis, kemudian bertalian erat dengan perubahan kebudayaan. Dalam kebudayaan ada akulturasi dan kontak budaya. Bisa itu karena terpaksa, atau yang kerap ada ialah kecocokan antar budaya. 

Pertemuan kebudayaan, sangat mungkin untuk menciptakan integrasi budaya. Kebudayaan yang telah berkelindan satu sama lain, sangat memungkinkan untuk bisa menghadirkan kekuatan (power). Kekuatan disini punya sisi psikologis, sosiologis, geografis, teknologis, ekonomis, demografis, sampai politis.

Kasus pertentangan antar kebudayaan akhir-akhir ini kita jumpai lagi. Dulu berada di sebelah utara Jawa, sekarang ini ada disebelah timur Jawa. Kalau ditelisik, tentu konflik tersebut berangkat dari sisi yang multidimensional, dan sekaligus kompleks.

Dalam kajian psikologi lintas budaya, kita mengenal etik dan emik. Etik memiliki arti kebudayaan bersifat universal. Sedangkan emik, memiliki pengertian kebudayaan bersifat khusus. Secara akademis, penelitian menunjukkan bahwa, sudut emik lebih banyak, dari pada sudut etik. Maka dengan hal tersebut, clash of cultural kerap terjadi. Sebab, emik dalam masyarakat kita sangat melekat, bahkan sampai mendarah daging.

Islam dalam konteks kebudayaan, memberikan sebuah arahan, bahwa manusia diciptakan berbangsa dan bersuku-suku, tujuannya antara lain untuk saling kenal-mengenal satu sama lain. Kenal merupakan basis untul kemudian memahami dalam bingkai ketersalingan. Kalau sudah paham, maka benturan kebudayaan akan bisa dihindari seminimal mungkin.

Persoalan klasiknya seringkali berangkat dari sebuah kecemburuan sosial. Cemburu disini, bisa dari soal kuasa, wanita, sampai harta benda. Jika sudah cemburu, orang akan marah. Apabila sudah marah tentu akan muncul violence, bisa secara verbal maupun non verbal. Maka caci maki dan bunuh membunuh sulit dihindari.

Dalam rangka mengatasi segala macam konflik, khususnya yang terjadi dalam cakupan besar antar masyarakat, maka dibutuhkan sebuah konsensus. Piagam madinah, oleh sejarawan dikatakan sebagai produk undang-undang tertua di dunia. 

Muhammad SAW, yang pada waktu itu tampil sebagai panglima, hanya berhenti sampai upaya memberikan fasilitas permusyawaratan. Sedang dalam hal konten pembahasannya, seluruh komponen masyarakat terlibat dan di libatkan. Equality before the law, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi secara kebudayaan.

Pola benturan yang terjadi, sebenarnya sudah diketahui, tinggal stake holder kita nantikan nalar sehatnya untul kemudian tidak hanya urun angan, tapi turun tangan, dalam rangka meredam konflik, untuk sama-sama menuju masyarakat yang bermartabat.

Ditengah eskalasi benturan kebudayaan, tidak boleh bosan-bosannya kita, kepada siapapun saja, dalam wilayah apapun itu, dalam garis kuasa bagaimanapun juga, untuk kemudian selalu memberikan sinyalemen perdamaian. Bukan hanya pada retorika an sich, tapi pada makna keadilan dan kemanusiaan yang sesungguhnya.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 4 Oktober 2019.




Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-