Skip to main content

Apa Ada Angin di Surakarta (9)

Kali ini (kita) tengah berada di komplek padat penduduk, dimana semua orang menetap didalam surga yang dirindukan.

Rumah memiliki simbol agung, dalam kesejarahan manusia. Selain sebagai tempat rebahan, rumah juga menjadi semacam titik temu, dimana rindu dan saling berkait.

Walaupun saat ini (kita) tengah berada di "rumah-rumah", tetap saja (kita) masih ber-lokasi diantara Solo-Yogya. Sebuah daratan di Bumi, yang menyimpan berjuta-juta peristiwa bermakna. 

Disinilah (kita) mulai merangkai kata, untuk kemudian mengabadikan makna. Sembari menatap awan yang didominasi corak biru, pertanda hujan masih jauh dari harap.

(Kita) yang masih tuna ketersalingan believe, sementara hanya mampu berputar-putar dalam benak masing-masing.

(Kita) yang masih dirundung rasa sakit, saat sekarang ini tengah mencoba dan berupaya, untuk siuman dan bangkit.

(Kita) yang kerap tak sengaja melukai, kini on the way merayap kepermukaan cita yang senyap. Sunyi hanyalah bunyi yang sembunyi, seperti hati (kita) yang lambat-laun menguat.

(Kita) yang acapkali terbawa arus, kini mulai menemukan pattern yang sustainable, dengan zaman wa makan.

(Kita) adalah diksi yang masih bertanda kurung, menandai kondisi yang masih konotatif. Akan tetapi, tidak pernah akan mundur, walau jalanan kadangkala tidak sesuai alur.

(Kita) yang masih dalam bayang-bayang semu, sama-sama menaruh titik tuju dan titik temu. Soal akan bertuju tepat, dan soal akan bertitik akurat, itu soal lain. Yang jelas dan yang penting, adalah (kita) ini "sama-sama".

Apa Ada Angin di Surakata, adalah frasa yang memberi meta-makna, sekaligus trigger bagi batin, untuk beranjak keluar dari comfort zone yang menyita banyak waktu.

(Kita) yakin dan bersepakat, untuk tidak melalui dan melewati jalanan yang pernah dijalani. Kalaupun jalanan itu terpaksa terlalui, maka itu hanya untuk refresh memori, bukan terhanyut dalam realita nostaligia.

Perlahan tapi pasti, (kita) "terus berjalan" melewati perjalanan panjang semesta yang romantic nan mesra. Dan, (kita) tidak lupa, bahwa angin di Surakarta, selalu ada, untuk mendekap hangat, setiap harinya.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 30 Oktober 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-