Ruang psikologis macam apa, yang tega menghina diri mereka sendiri. Kalau menghina orang lain (walaupun tetap saja buruk), barangkali masih bisa kita tolerir secara akal sehat.
Menghina diri diatas, kita maksudkan sebagai upaya pembusukan bagi dirinya sendiri. Sebagai contoh misalnya, ada sekelompok orang (baca: karyawan restoran), yang dengan bangga mengatakan "kalau sepi begini enak yah".
Entah akal dan hati macam apa, yang dengan tega melukai hak-hak yang diimpikan banyak orang, ialah space pekerjaan.
Disatu sisi, kita perlu mengetahui, bahwa yang mengatakan tadi itu adalah orang-orang yang dahulunya terluka oleh keadaan. Mereka adalah orang-orang yang bukan hanya kalah, namun juga terkalahkan oleh sebab "kahanan".
Pada lain sisinya lagi, kita akan menemukan adanya rotasi balas-dendam, oleh karena sakit yang pernah dialami. Berputar dan melingkar layaknya bola, yang tak memiliki kesudahan.
Freud pernah mengatakan, bahwa manusia memiliki defense mechanism, yang salah satunya adalah sublimasi. Adalah suatu kondisi manusia mengubah atau mengganti impuls id dengan cara menyalurkan energi impuls tersebut pada perilaku yang diterima masyarakat.
Ekspresi-eskpresi kelompok pekerja diatas, yang jelas-jelas ngeneki itu, adalah sublimasinya dalam rangka diterima oleh rekan kerjanya.
Begitu juga yang pernah dikatakan oleh Durkheim, bahwa kekuatan sentimen sosial, kerap lebih memiliki power ketimbang religion.
Barangkali, orang-orang ngeneki macam diatas itu, bukan hanya terjadi dikalangan grass root yang nihil dan defisit sentuhan pendidikan formal, namun juga parahnya acapkali hinggap pada lapisan elite.
Itu semua soal morality yang porak poranda. Maka tak heran, jika term inna ma bu'itstu li utammima makarimal akhlaq, sudah ratusan tahun yang lalu terbit di muka Bumi raya.
Praktek aneksasi terhadap hak, nyatanya dilakukan secara kolaboratif oleh akar rumput dan elite. Tentu angin segarnya, tidak semua orang melakukan praktek aneksasi itu.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 30 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment