Skip to main content

Apa Ada Angin di Surakarta (5)

Apa Ada Angin di Surakarta (5)

Sesaat setelah meja, kursi, dan lampu-lampu mulai membersamai malam, sesaat itulah bayanganmu kembali datang. Kedatangan yang tak diundang, sekaligus tak mampu diusir begitu saja. Karena mungkin, diam-diam terdapat kenikmatan yang meradang.

Gelas berisi air dingin, yang sedikit bertabur gula putih, memberi kemasan manis melewati rongga mulut. Pertanda, kalau sensitifitas masih ada.

Terlihat dengan jelas, warna-warni aktifitas orang. Yang jelas dihadapan, ada nenek tua yang mengipasi sate dagangannya, pertanda perekonomian cukup aman untuk hari esok.

Selipan-selipan keadaban publik, cukup menyita perhatian akhir-akhir ini. Apalagi oposan setia, pada akhirnya memutus tali setianya sendiri. Apakah ini sebuah pengkhiatan? Riuh-rendah kritik, sampai caci tak terhindari. Hidup ini pilihan kok, tidak memilihpun adalah pilihan.

Selagi masih dalam circle ke-1000, jelas dan pasti, tidak akan mampu merekahkan segala macam pertimbangan-pertimbangan. Kalaupun kebebasan ber-sentimen terbuka lebar, pun liberty ber-pendapat benar-benar free, masih saja, ada tembok goib yang membatasi.

Limitasi yang dimiliki setiap individu, sudah barang tentu tak terhindari. Kalaupun mau dipaksa, paling hanya akan mengeluarkan letupan-letupan angin lalu. Presisi circle akan sangat determinan, terhadap impact yang akan tercipta. Artinya ketepatan akan berbicara lebih banyak.

Apa ada angin di Surakarta? 
Bah!?!
"Kalau soal moral, seharusnya bukan sekedar oral", kata seorang anak muda ber-kaca mata. 

Berbiasalah dan berbahagialah, untukmu yang masih memendam segala jenis rasa. Sebab dihadapanmu, ada banyak project yang mengundang harapan. Berharap secara imajiner, untuk sesegera mungkin di-create, menjadi ambasador menomental.

Anginmu, sangat mungkin untuk berpindah kepemilikan. Bergegaslah, selagi masih ada ruang. Apalagi waktumu saat ini, tidaklah sebanyak malam kemarin. Sekali lagi berbiasalah.

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 24 Oktober 2019.







Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-