Selagi masih ada space waktu, lebih baik (kita) bicarakan dengan tatap mata. Supaya, seminimal-minimalnya multi-interpretasi dapat dihindari.
Supaya (kita) mampu menerjemahkan dengan tepat, kerut wajah, kedipan mata, nafas yang keluar-masuk hidung, pipi yang berubah-ubah warna, gerak tangan yang tak beraturan, lekuk kaki yang grogi, dan segala macam ekspresi lainnya.
Tidak hanya soal perbincangan yang akan menghadirkan kejelasan, namun lebih dari itu. Adalah mencipta rentang history yang indah, serta menghadirkan kembali spirit juang untuk tetep survival.
Segala macam bias, bisa terjadi. Jikalau hanya berkutat pada impresi dan persepsi. Sebab disanalah, objektifitas (kita) kaburkan.
(Kita) yang tidak mampu melepaskan semua berkas cerita, terkadang kerap terlena oleh nostalgia.
Semua yang berkenaan dengan (kita), barangkali akan menjadi warna, bagi masa yang hingar-bingar penuh luka yang paling bahagia.
Apakah masih ada, untuk (kita) menyediakan ruang untuk berterusterang?
Menyempatkan segala isi dada untuk diungkap?
Agaknya, hanya angin di Surakarta, yang telah terbiasa dengan itu semua.
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 31 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment