Ketika suhu tubuh negeri sedang panas, Paijo tetap dalam kondisi dingin. Barangkali karena ada fokusan lain yang sedang ia geluti. Beberapa kawan karib Paijo sering mempertanyakan sikap dinginya. Misalnya Sidul, yang kerap mengajukan pertanyaan politis kepada Paijo. Sidul tidaklah bersalah, ia mungkin saja hanya ingin me-recheck seberapa kuat Paijo memiliki pisau analisa untuk melihat realitas. Namun sungguh na’as, Paijo merespon pertanyaan politis Sidul dengan sikap yang dingin, dan cenderung memberikan energi “bodo amat”.
Paijo yang konon memiliki suhu psikologis yang kharismatik, banyak digandrungi oleh teman-temannya. Retorikanya terlatih, maklum dia itu mantan kontestan pidato tingkat RT, dan juga alumni guru les public speaking. Bukan hanya soal kepandaian berbicara, Paijo juga cukup expert dalam bidang kecakapan bahasa tulis. Naras-narasinya beberapa kali dimuat di media, baik cetak maupun elektronik. Tidak hanya sampai disitu, Paijo juga memiliki track record politik yang cukup mumpuni, terbukti ia beberapa kali dipercaya untuk menjadi kanalisator pertemuan-pertemuan komplek. Sebuah pencapaian yang jarang dialami oleh teman sebayanya.
Kalau berbicara soal politik misalnya, Paijo cukup menghela nafas sambil meneduhkan suasana dengan tersenyum kecil, sembari mengungkapkan argumen “ini kan yang dicari hanya kekayaan dan popularitas, jadi ya sulit di relai kalau ada konflik, coba kalau yang dicari itu kebahagiaan”. Teman sebaya Paijo jelas-jelas tidak semuanya sepakat dengan pernyataannya, malah ada yang sampai menuduh kalau Paijo ini apatis.
Lahir dilingkungan yang multikultural, membuat Paijo sangat moderat. Ia tidak sama sekali menilai orang lain berdasarkan identitas parpol, ormas, atau yang sejenisnya. Paijo hanya memperhatikan sisi personalitas, dalam artian ia cukup melihat dan menilai orang dari kejujuran dan ketulusan. Tidak peduli apa dan siapa afiliasinya, tidak menggubris apa dan siapa rujukannya.
“Ditengah benturan identitas, nampaknya lingkungan kita butuh orang seperti Paijo”, ungkap salah satu sesepuh. “betul itu, kita membutuhkan orang yang bijak, dan yang paling penting, ia dapat diterima oleh semua lapisan elemen sosial”, imbuh salah seorang politisi tingkat regional.
Mendengar percakapan antara sesepuh dan politisi tingkat regional diatas, Paijo hanya mengelus dada. Bisa jadi Paijo takut, kalau-kalau pada akhirnya ia akan kehilangan dirinya sendiri. Maksudnya, bisa jadi ia akan tidak menjadi dirinya yang sejati. Sebab, seringkali perbedaan politik itu berujung pada pecah-belah dan konflik interest. Padahal Paijo hanya mencita-citakan, kerukunan dan kegembiraan.
Sebelum kita cepat-cepat mencari siapa yang tepat menjadi pemimpin, agaknya kita perlu duduk bersama untuk menentukan apa yang mau kita dapatkan, kemana arah angin yang akan kita tuju, dan titik klimaks apa yang kita harapkan, serta organ-organ apa saja yang compatible untuk dijadikan media. Barulah kita tentukan, siapa yang pas menjadi pucuk koordinasinya.
Namun perlu di ingat, bahwa kepuasan atas kekayaan, ketenaran, dan jabatan, merupakan sebuah ilusi yang sustainable, dalam arti tidak akan habis-habis diinginkan. Maka jalan satu-satunya untuk meredam gejolak itu, adalah bersiap sedia untuk menyodorkan penerimaan. Dalam arti, penerimaan terhadap kekalahan, untuk sama-sama menemukan virtue fastabiqul khoirot, yaitu melepaskan diri dari segala bentuk keinginan dan emosi, demi terlaksananya perlombaan atas kebaikan, bukan kebenaran, apalagi kekayaan dan ketenaran.
Wallohu a’lam.
Surakarta, 3 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment