Rentetan perjalanan
mengantarkan pada sebuah temu yang berujung pilu. Jadi, waktu itu aku melihatmu
tanpa pernah aku tahu sebelumnya, tentang siapa dirimu. Aku yang merindukan
pelukan kasih sayang, luluh lantah dalam imajinasiku sendiri. Tentang kecantikan
parasmu, yang menyita setiap waktuku.
Tentu ada masa yang
menunda, untuk sampai pada kesimpulan kenalan. Sampai pada akhirnya, aku
mengetahui namamu, dan sederet kisah kecil tentangmu. Sebuah kisah yang
tentunya menjadi benih-benih bekal perjalanan, yang aku duga sebelumnya akan
menjadi semacam sinar kegembiraan.
Waktu yang memang
terus berjalan, pada saatnya menembus masuk kesempatan. Adalah kesempatanku
yang dengan riang menyambut suara lembutmu. Bak, suara embun pagi yang menetes
lembut, membasahi daun-daun pagi.
Lagi-lagi, waktu
yang memaksa bertemu. Dan aku bayangkan sebelumnya, bahwa itu adalah rasa yang
mulai bertumbuh menjadi kisah indah. Akan tetapi, bayangkan terlalu berambisi. Kau
hanya menemuiku untuk memberikan sebuah benda, yang katamu “ini buat
kenang-kenangan”. Dan benar, itu hanyalah sebuah kenang yang pastinya, akan
mengiringi derap tangis mataku berlinang. Sebuah simbol, bahwa kau akan
mengakhiri cerita.
Kau pada akhirnya
kau berterus terang, saat waktu yang tidak memungkinkanku untuk menerima itu
semua. Saat harapan menjadi sebuah langit-langit kebahagiaan, kau menikamku
dengan kalimat, “aku sudah menjadi miliknya”.
Ini hanya soal
waktu saja, barangkali, yang dengan tega membersamai. Yap, hanya membersamai. Siapa
yang bilang aku ini tidak apa-apa? Siapa yang dengan berani mengatakan, aku ini
biasa saja? Lalu, untuk apa kau dengan lancar menyelinap ke jantung terdalam
perasaan. Sedangkan aku, tersisih dan tersingkir dari kenyataan. Melihat kalimat-kalimat
gamblang perpisahan, yang kau balut dengan ribuan makna “akan ada yang lebih
baik dariku”.
Harapanku memang
kejam, yang tentunya menembus kedalam perasaan. Sedangkan dirimu? Dirimu melenyap
dalam senyapnya kerinduan yang aku pupuk sebagai benih-benih kebahagiaan. Berkali-kali,
ternyata ini benar-benar bukan kita, akan tetapi hanya aku. Hanya aku yang
merindu, bukan dirimu.
Meja-meja,
kursi-kursi, gelas-gelas, dan sederet cerita perjalanan, berjejer membisu
menyaksikan ceritaku. Sebuah cerita yang hanya diriku yang menikmati, dan hanya
diriku yang mengecap getirnya bertepuk sebelah tangan. Namun, entahlah, lagi
pula dirimu hanyalah senapan angin yang tidak sama sekali mengharapkan amunisi.
Burung yang sama sekali tidak ingin berpulang ke sarang. Lampu-lampu yang tak
lagi bercahaya, seperti malam-malam sebelumya. Kegentingan yang jelas-jelas
tidak merindui kedamaian. Dan, cinta yang memuja luka.
Memang ini hanya
tentang “aku”. Aku yang terpukul kaku, bersama sentilan-sentilan gagu. Semacam rasa
yang telah hambar berulang, yang tak lagi mengenal sedikitpun kalimat-kalimat
kenang. Seyogyanya, cerita-cerita, canda-canda, dan berbagai hal yang sempat
menjadi bunga, harus di kubur di pemakaman massa rasa.
Berjuta-juta nada
“seandainya”, kini lenyap sudah. Lengkap sudah, bersama kedalaman fatamorgana. Aku
memang lemah dalam soal ini, apalagi jika sudah menembus sampai relung. Kau hadir,
itu bukan salahmu. Kau datang itu bukan salahmu. Aku yang salah!.
Aku yang salah. Hanya,
aku yang salah sangka. Hanya aku yang terlalu berlebih, mengartikan sebuah
perjumpaan. Hanya aku yang berlebih, memaknai sebuah perjalanan.
Dan, semua hancur
berkeping, menyesak telak, sesaat kau mengatakan melalui hatimu, bahwa “aku
bukanlah pilihanmu”.
Wallohu a’lam.
Sukoharjo, 19
Oktober 2019.
Comments
Post a Comment