Skip to main content

Apa Ada Angin di Surakarta (2)

Apa ada angin di Surakarta (2)

Secangkir kopi hitam, beserta sedikit taburan gula putih, memberikan secercah warna imajinatif bagi jiwa. Asbak putung rokok, sengaja kita lampirkan untuk menjaga debu-debu tembakau yang terhisap. Tidak lupa, korek gas merah membersamai derap langkah setiap pelampiasan sepi. Musik blues terkadang menjadi semacam pelengkap penderitaan, bagi malam-malam yang seksi.

"Sudah setengah sepuluh saja", kata koki kedai sambil tersenyum manis disebelahku. Rupanya ada waktu yang kemudian, seakan "mbanteri" keadaan. Juga rupanya, ada balutan serius dari wajah salah satu pengunjung, yang dengan kuat memegangi pena di jemarinya, ditemani buku dan kertas kosong siap tergores.

Terdengar dari arah kanan bagian belakang saya, canda-canda mesra dari sepasang kekasih yang kasmarannya sedang membuncah. Handphone yang mereka pegang, masih menjadi penghalang maksimalitas kemesraan tatapan mata bagi keduanya. 

Dari arah belakang punggungku, nampak anak kecil lucu disamping Ibu nya yang memakai jilbab coklat. Anak kecil dan Ibu itu, memberi percikan memori pada rumah. Sebuah rumah yang pasti menyimpan berjuta kisah kasih percintaan, atas nama kerinduan.

Musik blues, selembar kertas tugas kuliah, sepasang kekasih, lingkaran Ibu dan anak, serta kopi yang tinggal satu sruputan, menjadi nafas perjalanan bagi diriku yang masih bodoh perihal ber-cinta, dan masih aja munafik perihal me-rindu.

Ah, ini hanya common sense dada, yang lunak akan hembusan dinginnya angin malam. Tercabik oleh harapan, akan sebuah perjumpaan. Tersayat mengelupas sampai nadi-nadi darah. Beku, membisu, lalu layu berguguran. Terpapas wajah manis, gadis desa jelita.

Apa ada angin di Surakarta?

Menjadi tanya, yang tersudut gerimis raya di jalanan. Menyambut janji, yang tak ter-ingkari. Bukankah kita ada untuk kita? atau kita yang hanya untukmu, bukan untukku? Mungkin pula, adalah kita yang masih terlalu kecut, untuk sampai pada sebuah konklusi makna.

Bertalian dengan angin di Surakarta, sayangnya wajahmu masih melintasi imaji yang reflektif ini. Membuat sekujur tubuh kedinginan, merindu sebuah pelukan perhatian. Lalu, angin macam apa ini?

Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 20 Oktober 2019.





Comments

Popular posts from this blog

Menari Bersama Sigmund Freud

  Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, dengan rahmat dan karunia-Nya buku Menari Bersama Sigmund Freud, dapat penulis susun dan sajikan ke hadapan pembaca sekalian. Shalawat dan salam semoga senantiasa terus terpanjat kepada Rasulullah Muhammad SAW, mudah-mudahan kita semua dapat konsisten belajar dan meneladaninya. Selamat datang dalam perjalanan sastra psikologi yang unik dan mendalam, yang dituangkan dalam buku berjudul "Menari Bersama Sigmund Freud". Dalam karya ini,  Rendi Brutu bersama sejumlah penulis hebat mengajak pembaca meresapi ke dalam labirin kompleks jiwa manusia, mengeksplorasi alam bawah sadar, dan mengurai konflik psikologis yang menyertainya. Buku ini menjadi wadah bagi ekspresi batin para penulis, masing-masing menggali tema yang mendalam dan memaparkan keping-keping kehidupan psikologis. Kita akan disuguhkan oleh kumpulan puisi yang memukau, setiap baitnya seperti jendela yang membuka pandangan pada dunia tak terlihat di dalam diri kita. Berangkat ...

(22) Lagi ngapain;

Aku butuh abadi denganmu. Melukis malam dengan kasih, mengenyam sepi tanpa letih   Aku butuh abadi denganmu. Menyusuri tepian sawah, mengamatinya sebagai berkah   Aku butuh abadi denganmu. Terhubung sepanjang siang, terkait sepanjang malam   ***Banyumas, 20 Februari 2021.

Oase Utopia (2)

  Oase masih tersembunyi, Dalam tiap bait ini. Dunia berubah warna, menghamparkan keindahan yang terusir jauh.   Ada di mana ia, dalam waktu yang bagaimana. Apakah rasanya, kapan terjadinya. Sejumput utopia, kehilangan dirinya. Memangku prasangka, dipendam di sana. Keresahan tetap memadat, Membawa ragu tersusun rapi. Hati siapa direla, Sekadar menemani ditepi bunga. -Purwokerto, 14 Juli 2023-