Apa Ada Angin di Surakarta
Ada canda dan tawa, yang terkelupas menjadi rasa. Perlaha, rasa itu riuh rendah menggores makna. Dengan begitu ringkasnya, waktu menyudahi perjumpaan. Sebuah jumpa, yang akan menjadi histori kita, yang awalnya hanyalah sekedar aku.
Semilir angin sore, beserta sederet percakapan yang menyayat sisi-sisi gelap, kemudiam berubah menjadi hidangan nikmat. Hidangan itu, ternyata bukan sajian kuliner sosialita, namun berjejer buah, yang barangkali akan dipetik bersama.
Dari canda sore, sampai canda senja. Sudah cukup panas rongga mulut, yang ketat melontarkan nostalgia. Bisa jadi, itu hanya milikmu, namun bagiku, itu milik kita.
Sekali lagi, kesan dan pesan, tentu menyelinap masuk diam-diam. Entah menjadi sekedar bumbu kehidupan, atau malah menjadi penentu keputusan. Yang jelas, tetap saja, kita, dan terkhusus diri ini, tidak serta merta ingin menyudahi. Hanya waktu, pada momen itu, yang memaksa peleraian keceriaan. Namun tidak, pada imajinasi yang terus menanti keberlajutan.
Sore itu, jelas memuat berbagai frasa dalam dada, yang membuncah menjadi kalimat tanya, "apakah ini semacam jeda, atas segala mana bahaya dalam cerita?". Ternyata bukan, lagi-lagi ini adalah kenyataan, yang belum bisa diterima menjadi idealita.
Senja yang singkat, beralih menuju malam yang pekat. Malam yang bukan hanya milik dia, tapi juga milik kita.
Aku menunggumu dalam resah, terkelupas dan berkelindan, bagai secangkir teh yang baru saja di seduh.
Kamu mengabariku, "tunggu dulu, aku akan kesitu". Dan ternyata, sesingkat itu dia datang dan melempar senyum lugu, pertanda perjalanan kita dimulai kembali. Dengan beragam rasa, serta berjenis-jenis interpretasi. Lontaran canda, cipratan suka duka, menumpuk dan menyatu, tak lagi sanggup dibendung.
Sesampainya dilokasi yang kita tuju, aku menatapmu dari belakang. Barangkali waktu itu, tidak ada subjektifas dalam benak, untuk mencoba memberi konklusi. Bahwa inikah hadiah alam yang dihadiahkan? Entahlah, keramaian orang cukup menghentikan refleksi imajinatif diri ini. Lagi pula, persepsi kemudian memberi sinyalemen, "aku ini siapa?"
Terlihat bersanding berbagai elemen-elemen bahan mentah cerita, yang sudah bisa dipastikan berjuta pula idiom yang mengatasnamakan term "bersama". Term itulah, yang menjadi modalitas berharga, untuk selanjutnya mencipta "suarga rasa".
Hidup ini kerap drama, dan berimbuh dramatis. Apalagi, yang kita dan orang-orang saksikan pada malam itu adalah pertunjukkan drama "sayembara putri mahkota". Tentu saja, berselingan rasa dan makna dalam dada berupa pertanyaan, "inikah yang disebut sebagai duka lara, yang selanjutnya menjemput bahagia?"
Ada banyak pertanyaan, juga semacam kesimpulan sementara, yang cukup membuat kerut wajah membara. Kemudian muncul tiba-tiba, sejumlah tanya yang bergabung sengkuyung, tentang "apa yang tersembunyi, dibalik bening dua matamu".
Mungkin, dan barangkali ini hanya simbolitas belaka, antara "sayembara meta makna", atau semacam konsorsium perhelatan akbar cerita, beserta energi fiksional, yang mudah-mudahan tidak menemui sesal. Sudahlah, lagi pula "apa ada, angin di Surakarta"?
Wallohu a'lam.
Sukoharjo, 13 Oktober 2019.
Comments
Post a Comment